Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bila Anggi Punya Pacar (I)

15 November 2012   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:18 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lha emang musti begitu. Kenapa musti ribut-ribut ikut yang mana kalau mau  puasa dan lebaran ? Sehari-harinya kan orang-orang kalau sholat memakai waktu televisi ?” Angga menjawab ringan.

Aku terdiam. Sebenarnya masih belum mengerti. Cuma kali ini dalam hati aku berharap ada orang Islam Indonesia yang meraih nobel dalam bidang Fisika, khususnya membahas perhitungan astronomi penentuan awal dan akhir bulan secara mendetail di setiap jengkal bumi ini. Habis bosan kalau dari abad ke abad cuma meributkan tetek-bengek seperti itu !

Saat kami sampai di rumah, mamah, papah, dan Agung sudah tiba lebih dulu. Dari suara speaker di masjid dekat rumah, terdengar orang bertadarus. Kedengarannya mereka sedang membaca surah Yasin. Aku langsung saja tertarik untuk membaca dan mencari tahu arti ayat yang terdapat dalam surah Yasin. Ketika sampai di ayat ke 38 - 39, aku seakan menemukan hikmah bahwa setiap perhitungan awal dan akhir bulan sudah ditentukan sendiri oleh Sang Pencipta. Tinggal manusia itu sendiri yang harus mempelajarinya dengan ilmu. Bukan dengan debat kusir.

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.”

Aku pun telah masuk ke alam lain. Maksudnya alam mimpi. Karena memang seabrek kegiatan di bulan Puasa membuat mata jadi cepat minta ditutup. Aku pun bermimpi. Mimpi kalau aku sendiri yang meraih Nobel Fisika itu. Tapi…..kok yang memberikan hadiah adalah Mamah ? Sudah itu pakai mengguncang-guncang bahuku. Aduh, kok kasar sekali sih !

“Anggi ! Anggi, bangun ! Mau sahur gak ?!” mamah berseru di telingaku.

“Mau, mau, mana ada hadiahnya ?” aku gelagapan terbangun.

“Hadiah apa ? Tuh, hadiah memanaskan makanan untuk sahur !” mamah seterusnya menertawakan aku.

Aku pun terjaga. Ternyata………penghargaan itu masih menjadi impian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun