Sungguh aku terkejut mendengar perkataannya itu. Selama ini Dodi yang aku kenal adalah orang yang riang, toleran, dan penuh perhatian. Tetapi….malam ini……aku mendadak mendapati Dodi sebagai seorang…..mili…..ah, tidak. Aku tidak sampai hati menyebutnya. Sebab Dodi tentu tidak seperti itu.
“Dodi, apa-apaan ini ?” aku mencoba bertanya.
“Baiklah, aku pulang saja. Terima kasih atas semuanya,”
Tanpa menunggu jawabanku lagi, Dodi telah berlalu dari hadapanku. Aku tidak percaya yang aku alami di malam itu. Masa hanya karena perbedaan waktu awal puasa bisa jadi putus begini ? Atau memang ada yang banyak harus aku perbaiki tentang ke-Islamanku selama ini ? Atau mungkin ada rencana rahasia Dodi yang tidak aku ketahui ?
Penjelasannya baru aku ketahui ketika masa libur awal puasa yang tiga hari itu sudah berlalu, aku kembali masuk sekolah. Aku mendapatkan Dodi memang telah berubah. Dodi kini menjadi aktivis kegiatan rohani Islam. Dodi terlihat tekun dan menjadi begitu alim. Sementara itu teman-teman perempuannya di Rohis melihatku begitu sinis.
Aku sebenarnya tidak begitu perduli dengan ulah mereka. Namun lama kelamaan koq rasanya aku seperti telah divonis ehm…mungkin…..sebagai calon penghuni neraka kali ? Yah…memang sih penampilanku oke banget buat anak gaul. Aku akui kalau aku sexi, dan supel. Cowok mana yang tidak tertarik kepada ku ?
Bajuku selalu modis, gaya harajuku ! Di setiap pesta, rambutku selalu tampil dengan cat berbeda. Belum lagi, tas, sepatu, pernak-pernik lain, dan……….tidak kalah asyik adalah teman-temanku baik cowok maupun cewek yang semuanya gaul punya. Padahal aku tidak berbelanja barang-barang yang mewah. Aku memodifikasi sendiri dari berbagai bahan yang ada.
Hanya saja…….setelah putus dari Dodi, aku merasakan ada sesuatu yang menyakitkan hati. Entah ya, apakah memang itu bagian dari rencana rahasia Dodi ? Setelah putus dari aku, ternyata dia mendapatkan pacar baru, sesama aktivis Rohis. Oooooh…my God.
Untunglah tidak berapa lama ada acara keluarga di rumah ibunya mamah. Aku seakan mendapat tempat untuk menghibur diri. Karena keluarga kami tidak mempunyai mobil, sedangkan alat transportasi ke rumah mbah, demikian kami memanggil ibunya mamah, adalah kereta api, akhirnya aku, Angga, dan Agung naik kereta. Sedangkan papah dan mamah naik vespa antiknya papah.
Sayangnya selama perjalanan benar-benar tidak terasa nyaman. Bukan karena kereta Jabotabek yang memang terkenal tidak nyaman. Karena selalu penuh, padat, dan bising oleh ragam orang dan suara. Itu sih sudah biasa. Melainkan banyak terdengar suara orang berdebat tentang perbedaan awal puasa dan hari lebaran. Masing-masing bertahan dengan argumennya.
“Alaah…orang-orang pada banyak ngomong. Kayak puasanya pol aja !” terdengar suara sinis dari seorang ibu.