“Koq bisa begitu sih ?” tanyaku heran.
“Maksudnya ?” Dodi menatapku biasa saja.
“Koq bisa beda ?” aku mencoba bertanya.
“Kita kan orang Islam, kiblat orang Islam kan Ka’bah di Mekkah. Jadi seharusnya kita berpedoman pada waktu di Mekkah,” Dodi mencoba menjelaskan.
“Bukankah kita tinggal di Indonesia ?” aku bertanya lagi.
“Perbedaan jam antara Indonesia dan Mekkah tidak sama, Gi. Hanya lima jam. Masa untuk waktu puasa dan lebaran saja kita harus berbeda hari dengan yang di Mekkah,” tukas Dodi.
“Tapi..tapi, kan pemerintah kita sudah menentukan waktunya sendiri,” aku mencoba membantah.
“Itulah salahnya. Ini kan sebenarnya masalah politis. Mau tidak pemerintah kita menyadari bahwa mayoritas rakyatnya adalah Islam. Jadi untuk masalah ibadah harusnya mengacu pada kiblatnya umat Islam,” Dodi semakin berargumentasi.
“Iya sih,” aku mengalah karena memang tidak tahu.
“Jika begitu, kenapa musti ikut pemerintah ?” Dodi mencoba mempengaruhi.
“Ah, sudahlah. Itu masalah berat. Malam ini aku tidak ingin berdebat,” aku mengalihkan pembicaraan.