“Gi, ini adalah masalah komitmen kita kepada Islam. Siapa yang hendak kamu jadikan imam untuk hari akhir nanti,” Dodi mendesakku.
“Aku tidak mengerti maksudmu,” aku memang benar-benar tidak mengerti.
“Kamu harus mengikuti apa yang aku lakukan. Kita berpuasa dan berlebaran seperti waktu yang di Mekkah, itu,” Dodi seperti menahan sabar.
“Ah tidak, aku mengikuti apa yang dilakukan oleh keluargaku disini,” aku agak malas menjawab.
“Keluargamu juga harus diberitahu,” Dodi semakin mendesakku.
“Keluargaku sudah mengetahui apa yang harus dilakukan dan mana yang tidak akan dilakukan, Dodi,” aku menekan kata-kataku.
“Berarti kamu belum meyakini Islam dengan sebenar-benarnya, Gi,” Dodi menelan getir.
“Aku bertambah tidak mengerti denganmu,” aku menahan jengkel.
“Gi, sekalian juga aku katakan. Bahwa aku ingin mengajakmu untuk ikut kegiatan Rohis, jika tidak…..,” Dodi menyimpan sesuatu.
“Jika tidak, mengapa ?” aku agak terkejut.
“Jika tidak, kita putus saja. Sebab aku ingin hidupku dalam Islam dilakukan secara kaffah. Tetapi tampaknya kamu tidak siap untuk itu,” Dodi menjawab tegas.