Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Bedah Buku "Seni Reyog Ponorogo"] Sejarah, Nilai, dan Dinamika dari Waktu ke Waktu

27 Januari 2018   05:32 Diperbarui: 27 Januari 2018   11:38 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada waktu itu menurut ceritanya tiap daerah punya ciri khas sendiri tentang reyog, tarianya, tetabuhannya, perangkatnya. Pada waktu itu tiap daerah punya ego masing-masing merasa yang paling baik dan paling pakem. Setelah musyawarah panjang dan melelahkan bisa dibuat seragam, tarian sama, tabuhan sama, gamelan sama. Satu perangkat gamelan untuk seratus reyog dadak dan ratusan penari jathil, cerita mbah Tobron.

Kebanggaan juga disampaikan Mbah Bikan tokoh reyog lainnya. "Saya bangga sekali mas Rido Kurnianto peduli terhadap seni budaya asli Ponorogo dengan menerbitkan buku Sejarah Seni Reyog Ponorogo. Namun jangan berhenti harus dilengkapi disesuaikan dengan kondangnya reyog Ponorogo. Jika akan menerbitkan buku episode kedua, semoga mas Rido meningkatkan komunikasi dengan tokoh tua agar bisa menyajikan tulisan yang lebih lengkap," kata mbak Bikan yang mantan lurah Plunturan. Selama ini mbah Bikan terkenal sebagai tokoh sepuh reyog yang paling keras.

Reyog obyogan kolosal
Reyog obyogan kolosal
Tanya jawab juga muncul dari mahasiswa serta undangan, salah satu yang menarik pernyataan dari pak Wahono guru SD dari wilayah barat. Ia menyatakan kalau dalam buku ini terkesan meng-Islamkan reyog. Banyak istilah reyog serta perangkat reyog yang dipaksa sinkron dengan Islam. 

Menurutnya tidak masalah tapi rasanya bisa janggal. Hal ini mungkin yang ditakutkan oleh Dr. Nursilah dalam awal diskusi tentang keuntungan dan kerugian bila seorang peneliti meneliti dirinya sendiri akan bias. Memang tidak bisa dipungkiri sejarah mencatat reyog dan sejarah masuknya Islam di Ponorogo sangan kental. Terutama reyog versi Suryongalam.

Aplaus panjang ketika diskusi ditutup, apresiasi dan penghargaan luar biasa dari insan reyog serta pemerintah daerah atas terbitnya buku ini karena dianggap paling lengkap tentang reyog Ponorogo. Berharap buku ini menjadi bahan pembelajaran serta sumber tentang sejarah reyog dari masa-kemasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun