Pada waktu itu menurut ceritanya tiap daerah punya ciri khas sendiri tentang reyog, tarianya, tetabuhannya, perangkatnya. Pada waktu itu tiap daerah punya ego masing-masing merasa yang paling baik dan paling pakem. Setelah musyawarah panjang dan melelahkan bisa dibuat seragam, tarian sama, tabuhan sama, gamelan sama. Satu perangkat gamelan untuk seratus reyog dadak dan ratusan penari jathil, cerita mbah Tobron.
Kebanggaan juga disampaikan Mbah Bikan tokoh reyog lainnya. "Saya bangga sekali mas Rido Kurnianto peduli terhadap seni budaya asli Ponorogo dengan menerbitkan buku Sejarah Seni Reyog Ponorogo. Namun jangan berhenti harus dilengkapi disesuaikan dengan kondangnya reyog Ponorogo. Jika akan menerbitkan buku episode kedua, semoga mas Rido meningkatkan komunikasi dengan tokoh tua agar bisa menyajikan tulisan yang lebih lengkap," kata mbak Bikan yang mantan lurah Plunturan. Selama ini mbah Bikan terkenal sebagai tokoh sepuh reyog yang paling keras.
Menurutnya tidak masalah tapi rasanya bisa janggal. Hal ini mungkin yang ditakutkan oleh Dr. Nursilah dalam awal diskusi tentang keuntungan dan kerugian bila seorang peneliti meneliti dirinya sendiri akan bias. Memang tidak bisa dipungkiri sejarah mencatat reyog dan sejarah masuknya Islam di Ponorogo sangan kental. Terutama reyog versi Suryongalam.
Aplaus panjang ketika diskusi ditutup, apresiasi dan penghargaan luar biasa dari insan reyog serta pemerintah daerah atas terbitnya buku ini karena dianggap paling lengkap tentang reyog Ponorogo. Berharap buku ini menjadi bahan pembelajaran serta sumber tentang sejarah reyog dari masa-kemasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H