Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[MIRROR] Perempuan Ber-Egrang di Tengah Malam

13 Desember 2011   09:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lampu trafic light masih berwarna hijau sementara timer disudut tiang menunjukan angka 5 berarti 5 detik lagi lampu akan berubah menjadi merah, dan semuanya harus berhenti. Segera saya mengurangi kecepatan dan ambil jalur kiri, begitu juga mobil pik-up di samping kanan saya lampu rem-nya menyala pertanda si pengemudi akan menghentikan mobilnya.  Sejurus kemudian lampu benar-benar merah dari spion saya lihat dua perempuan berboncengan juga menghetikan motornya tepat dibelakang mobil pik up  tepatnya sebelah kiri bagian mobil.

Bruakk.......

Suara keras dari arah belakang seperti terdengar seperti orang menendang pintu dengan keras sekali.

Saya menoleh kebelakang dua perempuan tergelatak yang satu aspal-an sementara yang satunya masih menumpang mengakangi motor yang sudah terguling, sementara kaki satunya masih menyangkut pada bak belakang bagian belakang mobil pik up yang tertubruk mobil kijang di bagian belakangnya.

Segera saya menepikan motor dan mesin tetap saya nyalakan dengan harapan lampu motor saya bisa menerangi ke arah kejadian.

Kudekati perempuan yang tertelungkup di aspal-an, segera saya raba bagian lehernya dengan jari telunjuk dan jari tengah dan saya arahkan kesamping leher, saya tidak merasakan denyut nadi parotis dan saya tidak ada gerakan dada [pernafasan] pertanda kemungkinan perempuan ini sudah meninggal, lalu saya balik posisinya perempuan yang ada di hadapan dengan posisi terlentang, terlihat mukanya bersimbah darah dan batok kepalanya terlihat sampai bagian ubun-ubun. Saya berani pastikan perempuan ini sudah meninggal.

"Tolong hubungi 118 minta dikirim ambulan dan petugas.......!" teriak saya pada pengemudi pik up sambil saya menghampiri perempuan yang masih terlentang di atas motor yang sudah terguling.

"Diam ya mbak saya akan bantu sampeyan......jangan bergerak sendiri......" ucap saya lirih. Sementara itu kerumunan orang yang ingin melihat kecelakaan sudah semakin banyak. Saya lihat ke arah bawah [arah kaki] luka hampir putus di paha kanan diatas lutut, meski keaadaannya begitu si perempuan masih sadar, segera saya lepaskan sabuk [ikat pinggang] yang melilit di celana saya, lalu saya lingkarkan pada pahanya lalu saya tarik sampai terdengar krek...... berarti sabuk serutan yang saya ikatkan pada pahanya telah melilit dengan kuat, dengan harapan perdarahannya akan berhenti[sebagai torningquet], perempuan yang kedua ini langsung pinsan, saya segara menuju bagian kepala menjaga jalan nafas biar tak terjadi aspirasi [masuknya benda asing di saluran nafas, yang tersering muntahan]. Dengan menaikan dagu dengan kedua tangan saya berharap jalan nafas lancar [lurus],  raung ambulan semakin mendekat pada tempat kejadian lampu sirene yang berputar-putar ditambah suara sirenenya semakin membuat suasana semakin gaduh, begitu juga mobil patroli polisi sudah mendekat, dan  TKP-pun benar-benar ramai, dan Polisi kesulitan menghalau orang-orang yang mengerumuni saya. Dua petugas ambulan berlarian mendekat dengan membawa peralatan dan segera mengeluarkan isi kotak besar yang dibawanya.

“Mas....” ucap lirih petugas ambulan menyapa saya, saya jawab dengan anggukan, keduanya adalah rekan saya di Rumah Sakit tempat saya bekerja.

“Saya yang ngurus bagian atas [kepala ; mempertahankan saluran pernafasan], kamu bawah ya....” senada saya memerintah, dengan cekatan satunya menyiapkan infus dan menusukan jarum infus di lengan kanan, karena lengan kirinya  berada disisi terjauh.

"Ayo pak cepat angkat...” bentak saya pada dua polisi yang sedang asyik dengan radio gengamnya.

"Mas... kakinya kiwir-kiwir gimana ini...." kata Polisi muda yang disebelah kaki.

"Angkat saja........." teriak saya sambil mengawasi kaki yang masih menumpang di bak pik up dan memastikan agar kaki tidak tertinggal. Dua polisi tersebut muntah-muntah, dan yang berada disebelah kanan saya memuntahi bahu saya. Sementara teman saya memegangi botol infus sambil memberi komando berjalan, sedang satunya lagi memegangi tabung O2 tanggung dengan menentengnya.

Kereta dorong sudah di keluarkan dari dalam ambulan dan tepat berada di pintu belakang, dan dipegangi sopir.

Perempuan yang kepalanya ada di pelukan saya sudah mulai siuman, pucat dan dingin mungkin terlalu banyak darah yang keluar. "Sabar ya mbak ..... berdo’a Alloh..... Alloh.....Alloh.......” kata saya lirih pada perempuan yang mukanya hampir mepet dengan muka saya, si perempuan Cuma mengangguk dan mulutnya telihat bergerak teratur dengan desahan lirih, “Alloh....alloh.....Alloh.........Alloh..........”

Sesampai di kereta dorong, segera dimasukan ke dalam ambulan, saya usap rambutnya lembut seakan ikut merasakan kesedihanya dan berharap dia tabah, meski mungkin yeri hebat dirasakannya.

Saya kembali ke perempuan yang pertama, dia masih terlentang dengan muka yang sudah ditutupi koran, dan empat polisi mengerumuninya.

“Yang ini sudah nggak bisa diselamatkan pak, tolong diurus....” ucap saya pada Polisi, sambil saya mendekat motor saya yang telah  dipinggirkan Polisi di tepi trotoar.

Segera saya menuju ke Rumah Sakit tempat saya bekerja, karena malam ini saya harus dinas malam.

Dalam perjalanan ke Rumah Sakit masih kuingat peristiwa tadi, dimana lampu hijau sudah mulai habis, mobil kijang melaju kencang dengan perkiraan masih kesampaian menyebarangi perempatan, namun jauh diperkiraanya mobil didepannya sudah berhenti dengan perkiraan sudah nggak nutut [kebagian waktu]. Dan terjadilah benturan seperti tadi karena remnya nggak bisa nahan lajunya.

Sesampai di Rumah Sakit segera saya berlari ke Kamar Operasi tempat saya bekerja, segara berganti pakai khas Ruang Operasi, segera menghapiri teman saya yang berada di dalam.

“Maaf saya terlambat......” ucap saya dari balik pintu kamar nomor 2.

[caption id="attachment_148488" align="aligncenter" width="504" caption="Operasi Amputasi"][/caption]

Dan segera saya cuci tangan dan segara mengenakan gaun operasi dan handscoend, segera saya menggantikan teman saya yang berada paling atas sebagai asisten.

“Sory di Tambak Bayan ada kecelakaan dan saya harus menolong...” ucap saya sekali lagi sambil tangan kanan menjepiti pembuluh darah yang terus mengucur, sementara tangan kiri terus menekan pembuluh darah lainnya untuk menunggu di hentikan perdarahannya. Sang operator [dokter bedah] hanya tersenyum. Dan setelah uterus kelihatan, segara menuju ke uterus dan dilakukan sayatan, dan saya mendorong perut berusaha mengeluarkan bayi dari dalam uterus.

“Owek.........owek.......” suara bayi memecah keheningan, segera saya jepit tali pusatnya dengan dua klem lalu teman saya sebagai intrumen memotong tali pusat, sementara sang operator memegang kedua kaki bayi dengan kepala terjungkir untuk diserahkan bagian perawat perinatologi. Setelah uterus selesai dijahit dan dilakukan jahitan retro, sang operator turun pamit ke kamar operasi sebelah karena di kamar nomor 1 sudah ada ibu hamil lainya yang menunggu untuk dikeluarkan bayinya. Saya cuci bagian dalam abdomen dengan cairan PZ untuk membersihkan sisa darah dan sisa air ketuban, lalu saya lakukan jahitan di peritoniun, berturut-turut otot, fasia, lemak dan kulit. Lalu saya tutup luka dengan kasa dan diplester. Saya lakukan VT untung mengeluarkan sisa darah yang ada di rongga vagina, dan mengeluarkan sisa-sisa kotoran lainya.

Belum juga saya kelar mengganti pakain pasien di hadapan saya, dari luar teriak, “Segera masuk ke OK nomor 3 mas...”

Segera saya melepas handsoend dan gaun operasi saya, dan melanjutkan cuci tangan dan segera menuju OK nomor 3, terlihat perempuan muda terlentang di meja operasi dan sudah di lakukan disifeksi memakai betadhin dan saflon alkohol, dan telah dipasang doek steril pada pasien. sayapun segera mengelap tangan saya dengan waslap steril dan segera memakai gaun operasi dan handscoen, dan memosisikan di bagian asisten.

Meja istrument didekatkan, alat-alat lainya dipastikan siap, bagian anaesthesi menyilahkan memulai, operator segera mengambil posisi.

“Kita lakukan amputasi 10 cm diatas lutut, karena kaki sudah tidak mungkin diselamatkan.” Kata operator sambil terus menyayat dan menggunting bagian paha di atas lutut pasien.

Dan masih saya lihat ikat pinggang yang melingkar di paha bawah atas lutut, persis seperti punya saya, namun sejanak kemudian saya lupa karena saya  fokus pada klem klem untuk menghentikan perdarahan. Dan operator terus saja melakukan pemotongan sampai lapis tulang yang patah untuk dirapikan dengan memakai gergaji dan knable, dan saya terus bekejaran dengan waktu untuk segera menghentikan perdarahan, dan sesekali pembuluh darah yang besar kami lakukan jahitan biar lebih kuat dan tidah beresiko berdarah lebih hebat. Jahitan demi lapis kami lakukan sampai rapi , lalu pasang sofratule dan kasa steril,  lalu saya pasang tensokrip pada daerah yang kami potong, pertanda operasi amputasi telah selesai. Dan saya segera turun melepas handscoend dan gaun operasi untuk segara pindah di OK sebelahnya lagi, dan bagian anaesthesi dan om loop merapikan dan membereskannya.

Entah empat atau lima operasi yang telah saya kerjakan, sekitar jam 2:30-an semuanya sudah kelar, teman-teman kru OK menuju Kantin belakang untuk makan dan ngopi, namun saya enggan karena capek bukan kepalang, saya memilih tidur di depan TV dan lampu saya kurangi nyalannya agar tidak silau ketika kami tidur, dan teman lainya asyik nongkrong di Kantin belakang.

Baru saja saya terlelap, pintu ruangan kami di ketuk dari luar, dalam hati kesal rasanya dan nggak biasa teman-teman ketuk pintu, selalu langsung masuk tidak pakai ketuk pintu segala, meski kantuk luar biasa namun harus berdiri sambil mengusap-usap mata biar melek saya bukakan pintu, belum sempat saya bertanya seorang perempuan berrok panjang dan ber-egrang berkata pada saya, “Mas... potongan kaki yang tadi mana.....?”

Segera saya menuju di meja yang mirip almari yang biasa untuk menaruh bahan-bahan sediaan laboratoriun [PA] dan juga biasa untuk menaruh penyakit yang diambul waktu operasi.  Saya  pilih potongan kaki yang masih ada ikat pinggangnya lalu saya bungkus pakai plastik kresek besar hitam doble 2 biar darah tidak bercecer di lantai, dan biar tidak kelihatan kalau yang saya bungkus tidak keliahatan kalau potongan tubuh manusia, dan hal ini lazim menjadi keseharian pekerjaan saya.

“Ini mbak....” sambil saya menyerahkan tas kresek, dan segera mengambil gagang pintu untuk menutup kembali, namun belum sempat saya menutup pintu, perempuan be-regrang tadi mengucap, “Terima kasih ikat pinggangnya ya mas....”

[caption id="attachment_148490" align="alignleft" width="339" caption="Egrang"][/caption]

Dan kulihat wanita itu berlalu membelakangi saya yang masih merada di depan pintu sebelah dalam. Saya masih bingung dengan ucapan perempuan barusan, dan perlahan perempuan tadi pergi dengan langkah yang gontai karena memakai egrang meninggalkan saya yang masih berdiri didepan pintu. Segera saya menutu pintu melanjutkan tidur, namun saya teringat ikat pinggang yang menempel di di potongan kakai tadi adalah milik saya, segara saya berlari lagi membuka pintu mengejar perempuan tadi, namun setelah pintu saya buka tidak saya dapatkan perempuan beregrang tadi di lorong panjang Kamar Operasi, dan rasanya tidak mungkin perempuan tadi secepat itu meninggalkan lorong panjang ini.

Lorong panjang masih saja sepi, hanya suara “Jegklek..... jeglek.......jeglek..............” suara egrang yang menapak lantai yang semakin lama semakin lirih terdengar dan sampai menghilang.

Pikiran saya kacau, bulu kuduk berdiri keringat dingin mulai mengucur membasahi badan saya, saya mulai ingat perempuan yang barusan mengambil potongan kaki adalah perempuan yang barusan dioperasi dan yang saya tolong di perempatan Tambak Bayan tadi.

[caption id="attachment_148980" align="aligncenter" width="504" caption="Lorong panjang"][/caption]

Segera saya mengangkat gagang telephone dan memencet nomor 813 nomor telephon Ruangan RR [pemulihan].

Begitu diangkat saya langsung bertanya, “Dik pasien yang barusan amputasi tadi bagaimana keadaanya?” Petugas ruangan RR menjawab, “Barusan meninggal 15 menit yang lalu mas, dan sekarang sudah dikirim ke Kamar Mayat.”

Saya langsung lemas, ternyata pasien yang barusan saya operasi tadi adalah perempuan yang saya tolong di trafic light perempatan Tambak Bayan ketika berangkat kerja tadi.

Segera saya ambil wudlu dan segera menggelar sajadah di depan TV dan segera melakukan Sholat Ghoib saya hadiahkan buat  perempuan barusan, dan saya lanjutkanTahlil sebisanya karena nggak hapal sampai hati saya mulai tenang, dan beberapa saat kemudian teman-teman yang dari kantin belakang sudah tiba di ruangan depan TV untuk tidur. Saya diam pura-pura tidur dan tidak akan cerita hal ini pada teman se team saya.

“Selamat jalan perempuan ber-egrang, semoga pulang ke Rahmatulloh”

Catatan; Sampeyan = kamu (bahasa Jawa) Handscoen = sarung tangan Aspirasi = masuknya benda asing pada saluran nafas Disinfeksi = prosedur pembersihan tempat yang akan dilakukan operasi, membuat steriil Kiwir-kiwir = hampir putus (bahasa Jawa) PA =  Patologi Anatomis (sediaan bahan pemeriksaan laborat berupa jaringan manusia)

Nanang Diyanto DS

[Nomor ;29]

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun