Lupakan soal pro atau kontra naturalisasi pemain, toh, semenjak STY datang sudah ada 16 pemain yang menjalani prosesi ini. Belum ditambah Elkan Baggott yang mendapatkan paspor Indonesia setelah sebelumnya memegang status kewarganegaraan ganda terbatas.
Ini juga bukan soal kalah-menang, terlebih jika kekalahan itu didapat dari Jepang yang notabene merupakan raja Asia. Semua kita dapat memaklumi hasil buruk di Stadion GBK tempo hari, kok.
Dalam menilai sebuah pertandingan sepak bola, bahasan utamanya mustinya adalah poin-poin sepak bola juga. Menilai kinerja pelatih, kacamata yang digunakan mustinya pendekatan taktikal.
Maka yang seharusnya dijadikan topik diskusi saat membahas Shin Tae-yong adalah pemilihan pemain olehnya, baik anggota skuat maupun penghuni starting XI, juga strategi dan pendekatan permainan yang ia terapkan dalam sebuah pertandingan.
Masalahnya adalah, pemilihan pemain STY selalu dapat dipertanyakan. Misalnya, apa alasan dia dulu mengabaikan Ilija Stefanovic yang merupakan top scorer Liga 1? Juga Stefano Lilipaly dan Nadeo Argawinata yang bersinar terang pada musim 2023?
Apa pula alasan Shin Tae-yong menepikan Saddil Ramdani, penyelamat mukanya di kandang Filipina saat Putaran Kedua? Yang terbaru, kenapa dia mencoret Eliano Reijnders yang proses naturalisasinya dikebut PSSI sedemikian rupa atas permintaan si pelatih sendiri?
Menyinggung strategi dan gaya bermain, sejak di Piala AFF 2020--digelar secara tunda pada 2021--taktik yang diterapkan Shin Tae-yong tetap begitu-begitu saja. Cenderung bertahan sembari mengintai kelengahan dan kelemahan lawan, lalu melakukan counter attack cepat lewat tusukan di kedua sayap.
Kalau kita memahami peta kekuatan sepak bola Asia Tenggara, seharusnya heran kenapa di semifinal melawan Singapura waktu itu bisa sampai babak ekstra? Itupun Indonesia sempat susah payah mengimbangi lawan yang hanya tinggal 9 orang.
Okelah, skuat kita kebanyakan berisi pemain muda. Namun bukankah Singapura juga tidak berbeda? Lagipula, semuda-mudanya mereka rata-rata sering tampil di liga bersama klub masing-masing.Â
Lalu saya juga suka heran setiap kali STY memasukkan bek untuk menggantikan bek, gelandang menggantikan gelandang, atau penyerang menggantikan penyerang. Artinya, yang selama ini ia lakukan adalah pergantian pemain di tengah laga, bukan perubahan strategi.
Saya tak berani menggunakan istilah "miskin taktik", tetapi hanya itulah gambaran paling tepat. STY kerap keliru menurunkan starting line-up, juga selalu kebingungan setiap kali strateginya tak berjalan baik di lapangan. Seolah tak punya Plan B, C dan seterusnya.