NETIZEN Indonesia tengah dalam dilema, menyusul rentetan hasil buruk yang diraih timnas di Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Suara-suara yang menyerukan agar Shin Tae-yong dipecat semakin kuat, tetapi itu mungkin sudah sangat terlambat.
Tagar #styout kembali menggema di media sosial usai kekalahan telak 0-4 dari Jepang, Jumat (15/11/2024) lalu. Ini kali kedua STY didesak mundur oleh netizen, yang pertama setelah kalah di kandang Tiongkok pada matchday sebelumnya.
Wajar fans timnas mulai gerah bahkan geram. Pasalnya, dua kekalahan beruntun ini bisa sangat mengancam peluang Indonesia yang berharap dapat terus melanjutkan kiprah di Kualifikasi Piala Dunia 2026 melalui Putaran Keempat.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir sendiri menjadikan kelolosan ke Putaran Keempat sebagai target utama. Untuk itu, Indonesia harus bisa finish setidaknya di peringkat 4 klasemen akhir Grup C.
Jalan ke sana terbuka lebar usai hasil imbang beruntun melawan Arab Saudi dan Australia di dua partai awal Putaran Ketiga. Ketika kemudian ditahan imbang Bahrain secara dramatis di matchday ketiga, asa itu masih tetap terjaga.
Namun bandul keyakinan mulai bergoyang ketika Indonesia kalah dari Tiongkok. Inilah kali pertama tagar #styout bergema di media sosial, disusul sejumlah netizen berbalik arah mempercayai analisa-analisa Tommy Welly yang mulanya sangat mereka cerca.
Sebaliknya, pengurus PSSI tampak masih menaruh kepercayaan kepada Shin Tae-yong. Evaluasi memang diberikan oleh Erick Thohir beserta para anggota Exco, tetapi terkesan lunak saja. STY masih bisa main golf dan menggelar acara di luar sepak bola.
Barulah setelah kalah telak dari Jepang, kepercayaan terhadap si pelatih agaknya mulai luntur. Erick Thohir berkata di media jika dirinya bersedia mundur jika hasil-hasil timnas tidak sesuai harapan, yang direspons netizen dengan semakin kuat menyuarakan #styout.
Bukan Soal Kalah-Menang
Netizen yang menyuarakan #styout mungkin pada akhirnya sadar, yang seharusnya mereka cintai mati-matian itu adalah timnas. Bukan sosok pelatihnya yang malah begitu dipuja-puja dan dibela setengah mati.
Selama ini STY memang memiliki barisan pembela yang luar biasa setia, sekaligus garang bukan main. Padahal bagi pengamat dan penikmat yang mengandalkan logika sepak bola, ada langkah-langkah si pelatih yang justru dapat mengancam kemajuan timnas sekaligus sepak bola nasional.
Lupakan soal pro atau kontra naturalisasi pemain, toh, semenjak STY datang sudah ada 16 pemain yang menjalani prosesi ini. Belum ditambah Elkan Baggott yang mendapatkan paspor Indonesia setelah sebelumnya memegang status kewarganegaraan ganda terbatas.
Ini juga bukan soal kalah-menang, terlebih jika kekalahan itu didapat dari Jepang yang notabene merupakan raja Asia. Semua kita dapat memaklumi hasil buruk di Stadion GBK tempo hari, kok.
Dalam menilai sebuah pertandingan sepak bola, bahasan utamanya mustinya adalah poin-poin sepak bola juga. Menilai kinerja pelatih, kacamata yang digunakan mustinya pendekatan taktikal.
Maka yang seharusnya dijadikan topik diskusi saat membahas Shin Tae-yong adalah pemilihan pemain olehnya, baik anggota skuat maupun penghuni starting XI, juga strategi dan pendekatan permainan yang ia terapkan dalam sebuah pertandingan.
Masalahnya adalah, pemilihan pemain STY selalu dapat dipertanyakan. Misalnya, apa alasan dia dulu mengabaikan Ilija Stefanovic yang merupakan top scorer Liga 1? Juga Stefano Lilipaly dan Nadeo Argawinata yang bersinar terang pada musim 2023?
Apa pula alasan Shin Tae-yong menepikan Saddil Ramdani, penyelamat mukanya di kandang Filipina saat Putaran Kedua? Yang terbaru, kenapa dia mencoret Eliano Reijnders yang proses naturalisasinya dikebut PSSI sedemikian rupa atas permintaan si pelatih sendiri?
Menyinggung strategi dan gaya bermain, sejak di Piala AFF 2020--digelar secara tunda pada 2021--taktik yang diterapkan Shin Tae-yong tetap begitu-begitu saja. Cenderung bertahan sembari mengintai kelengahan dan kelemahan lawan, lalu melakukan counter attack cepat lewat tusukan di kedua sayap.
Kalau kita memahami peta kekuatan sepak bola Asia Tenggara, seharusnya heran kenapa di semifinal melawan Singapura waktu itu bisa sampai babak ekstra? Itupun Indonesia sempat susah payah mengimbangi lawan yang hanya tinggal 9 orang.
Okelah, skuat kita kebanyakan berisi pemain muda. Namun bukankah Singapura juga tidak berbeda? Lagipula, semuda-mudanya mereka rata-rata sering tampil di liga bersama klub masing-masing.Â
Lalu saya juga suka heran setiap kali STY memasukkan bek untuk menggantikan bek, gelandang menggantikan gelandang, atau penyerang menggantikan penyerang. Artinya, yang selama ini ia lakukan adalah pergantian pemain di tengah laga, bukan perubahan strategi.
Saya tak berani menggunakan istilah "miskin taktik", tetapi hanya itulah gambaran paling tepat. STY kerap keliru menurunkan starting line-up, juga selalu kebingungan setiap kali strateginya tak berjalan baik di lapangan. Seolah tak punya Plan B, C dan seterusnya.
Begitu-Begitu Saja
Kini, dengan total 13 pemain naturalisasi yang diusahakan Erick Thohir dalam setahun belakangan, permainan Indonesia masih begitu-begitu saja. Mau itu melawan Vietnam, menghadapi Filipina, bertemu Libya, Iran, Irak, Jepang, Arab Saudi, Australia, siapapun.
Di Piala Asia yang baru lalu, racikan Shin Tae-yong hanya mampu menundukkan Vietnam--sesama tim Asia Tenggara. Itupun dengan permainan super defensif dan gol tunggal penentu kemenangan dicetak melalui titik penalti!
Lalu di Putaran Kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026, STY bahkan sempat kepayahan mengatasi Filipina. Ia beruntung karena PSSI (baca: Erick Thohir) gercep mendatangkan Jay Idzes, Ragnar Oratmangoen dan Thom Haye yang menjadi faktor kunci kemenangan kandang-tandang atas Vietnam.
Dua hasil itulah yang menentukan kelolosan Indonesia ke Putaran Ketiga. Sekaligus menyelamatkan karier Shin Tae-yong sebagai pelatih Tim Garuda.
Ingat, ketika itu nasib STY tengah tak menentu karena belum mendapat kepastian perpanjangan kontrak. Kepastian lolos ke Putaran Ketiga, ditambah kecerdikannya menurunkan anggota skuat timnas senior di ajang U23 sehingga melaju hingga semifinal, membuat PSSI menambah durasi kerja sama dengannya.
Di Putaran Ketiga, negative football masih menjadi corak utama permainan Indonesia-nya Shin Tae-yong. Melawan Arab Saudi, Australia, Bahrain, lalu yang terkini Jepang. Begitu pula kesalahan-kesalahan menyusun starting XI dan kebingungan mengantisipasi dinamika di atas lapangan.
Hanya melawan Tiongkok-lah Indonesia tampil dominan memegang bola dan juga agresif, terutama pada babak kedua. Namun perlu dicatat jika permainan yang seperti itu baru muncul setelah tertinggal 0-2. Artinya, itu memang sebuah keharusan alias terpaksa harus begitu.
Taktik monoton inilah yang pada gilirannya membuat Indonesia perlahan-lahan menjauh dari posisi empat besar Grup C. Bayangkan, misalnya, sedang unggul 2-1 atas Bahrain sejak menit ke-74 dan dia tidak melakukan perubahan apa-apa untuk mengamankan kemenangan!
Mungkin Sudah Terlambat
Melawan Arab Saudi, Selasa (19/11/2024) malam nanti, yakinlah pendekatan seperti itu yang bakal diambil STY. Apalagi posisi Indonesia akan sangat sangat ditentukan oleh hasil pertandingan ini.
Ini partai wajib menang. Seri apalagi kalah berarti say goodbye kepada Piala Dunia 2026, sebab kans melaju ke Putaran Keempat menjadi setipis kulit bawang. Akan amat sangat sulit sekali, kalau tidak mau dikatakan mustahil.
Ingat, Australia dan Arab Saudi akan terus bersaing ketat mendapatkan satu tiket langsung bersama Jepang. Demikian pula Bahrain dan Tiongkok yang ingin mengamankan posisi di peringkat keempat, satu-satunya slot tersisa menuju Putaran Keempat.
Alhasil, rival utama Indonesia bukan lagi Bahrain dan Tiongkok semata, tetapi seluruh kontestan Grup C selain Jepang. Shin Tae-yong harus bisa meraup sebanyak mungkin poin kala menghadapi semua lawan, kecuali Samurai Blue.
Karena itulah, menurut saya, STY akan menginstruksikan pasukannya untuk bermain seaman mungkin agar tidak kebobolan dari Arab Saudi. Tentu saja sembari mengintai peluang sekecil apapun untuk mencetak gol melalui skema counter attack.
Bermain dalam tekanan dan tuntutan seperti itu, sulit berharap Jay Idzes, dkk. memberikan hasil positif. Terlebih karena ciri khas STY yang seperti hanya punya satu pendekatan dalam setiap pertandingan.
Jika kemenangan atas Arab Saudi benar-benar gagal diraih, pemecatan semestinya merupakan sebuah keniscayaan bagi Shin Tae-yong. Namun itu di mata saya sudah sangat terlambat sekali, sebab seharusnya PSSI mengambil tindakan tegas usai kekalahan di kandang Tiongkok bulan lalu.
Bukan saja karena tak mampu mencapai target minimal 4 poin dari pertandingan melawan Bahrain dan Tiongkok. Juga demi memutus tren negatif yang sedang menghampiri timnas.
Betul, pelatih baru yang menggantikan mungkin bakal tetap kesulitan mengatasi Jepang. Namun setidaknya ada pendekatan berbeda yang ia berikan, sehingga hasil akhirnya pun bakal berbeda.
Entah skornya tidak sampai 0-4, entah timnas menyuguhkan permainan yang lebih rapi dan enak dilihat. Atau setidak-tidaknya kita dapat pelatih pengganti yang mau meminta maaf saat timnas mendapat hasil di luar ekspektasi.
Talang Datar, 18 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H