Kebijakan itulah yang kemudian mendatangkan Tony Cussell, Raphael Maitimo, John van Beukering, Sergio van Dijk, disusul Stefano Lilipaly yang dibesarkan oleh akademi FC Utrecht. Kebijakan sama masih berlanjut hingga era Mochamad Iriawan dan lebih-lebih lagi di bawah kepemimpinan Erick Thohir.
Sampai puncaknya, sejak melakoni Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Shin Tae-yong selaku pelatih timnas selalu menurunkan 9 pemain hasil binaan federasi lain dalam starting XIÂ Indonesia. Dalam hal ini federasi sepak bola Belanda, KNVB.
Kalau kemudian hasil yang diberikan melebihi apa yang pernah dicapai timnas era-era sebelumnya, logika saya bisa memaklumi. Namun nyatanya per 18 November ini, satu hari jelang laga krusial melawan Arab Saudi di matchday keenam R3, Indonesia yang lebih mirip timnas bayangannya Belanda justru di ambang tereliminasi.
Saya pribadi sama sekali tidak mempermasalahkan kebijakan naturalisasi pemain. Malah saya menjadikan Stefano Lilipaly sebagai pemain timnas favorit setelah Budi Sudarsono.
Namun jika kemudian PSSI lebih mengandalkan pemain naturalisasi dari luar Liga 1 seperti yang terjadi sekarang, ini sama sekali bukan strategi yang bisa bertahan dalam jangka panjang. Ah, bahkan naga-naganya untuk lolos ke Piala Dunia 2026 pun kita tak akan mampu sekalipun STY menurunkan 11 pemain naturalisasi sebagai starter di seluruh pertandingan tersisa.
Liga 1 Tidak Seburuk Kata STY
"Tapi kan, Liga 1 bapuk banget, Mas."
Ya, saya tahu liga domestik kita belum sesuai harapan. Makanya saya dapat memaklumi jika Erick Thohir menggenjot peluang lolos ke Piala Dunia 2026, menyusul penambahan kuota peserta, dengan mengangkut serombongan pemain binaan KNVB.
Sejak terjadi dualisme kompetisi pada 2011 yang berlanjut dengan dualisme federasi setahun berselang, liga domestik kita memang mengalami penurunan kualitas secara drastis. Namun bukankah itu justru berarti kita harus menumpukan segenap perhatian pada perbaikan kualitas liga?
Jepang sudah memberi contoh, bahwa mengembangkan liga domestik adalah jalan menuju kejayaan yang sebenarnya. Langkah ini secara konsisten dilakukan JFA sejak melahirkan J.League pada 1993.
Kalau ada yang bilang cara ini kelamaan, Jepang nyaris menembus putaran final Piala Dunia 1994 dan kemudian lolos ke Piala Dunia 1998 dengan mengandalkan pemain-pemain hasil binaan liganya sendiri. Ingat, Ruy Ramos dan Wagner Lopes dibesarkan oleh Liga Jepang.
Dari 1993 ke 1998, artinya Jepang hanya butuh waktu 5 tahun saja untuk tampil di Piala Dunia setelah fokus membenahi liga. Sementara kita dalam 5 tahun belakangan lebih sibuk memanjakan seorang pelatih yang sedikit-sedikit minta tambahan pemain naturalisasi, tetapi ujung-ujungnya selalu zonk.