Bahkan nama-nama seperti Ademir Santos, Leonardo Moreira dan Bruno Suzuki tak pernah sekalipun memperkuat Jepang sepanjang kariernya. Padahal nama terakhir punya rekam jejak mentereng di level klub, meski memang kariernya mentok di Singapura dan Malaysia.
Ini menandakan bahwa sekalipun melakukan naturalisasi pemain, Jepang tidak pernah mengandalkan jalur itu untuk mendongkrak performa tim. Mereka membuka akses naturalisasi hanya jika si pemain benar-benar punya kemampuan di atas rata-rata pemain lokal pada posisi yang dibutuhkan oleh tim.
Lalu perhatikan nama-nama pemain naturalisasi andalan Samurai Blue di atas. Ada satu benang merah yang menjadi kesamaan mereka berlima, yakni semuanya dibesarkan oleh liga domestik Jepang.
Saya ulangi, semua pemain naturalisasi yang kemudian menjadi andalan timnas Jepang adalah talenta-talenta terbaik hasil didikan Liga Jepang. Semuanya, tanpa kecuali.
Yoshimura adalah bintang Yanmar Diesel di JSL era 70-an, lalu Ruy Ramos merupakan andalan Yomiuri pada dekade berikutnya. Demikian pula Wagner Lopes yang tampil moncer bersama Nissan Motors (kini Yokohama F. Marinos) di akhir era 80-an dan kemudian Hitachi SC (kini Kashiwa Reysol) di awal-awal era 90-an.
Alex Santos setali tiga uang, dinaturalisasi karena tampil apik bersama Shimizu S-Pulse di J.League 1. Pun Tulio Tanaka yang merantau ke Jepang sejak berusia 15 tahun dan kemudian bergabung dengan Sanfrecce Hiroshima.
Ketika dinaturalisasi, Tanaka tengah merumput bersama Mito HollyHock yang berbasis di Prefektur Ibaraki. Hingga kemudian pensiun pada 2019, ia menghabiskan seluruh kariernya di Liga Jepang.
Pelajaran untuk Indonesia
Sampai di sini saya yakin sudah terlihat jelas perbedaan kebijakan naturalisasi pemain Jepang dengan Indonesia. Kebijakannya sama, tetapi teknis pelaksanaannya yang sangat berbeda jauh.
Federasi Jepang sejauh ini hanya mau menaturalisasi pemain asing yang dibesarkan oleh liganya sendiri. Baik pada era JSL ketika merekrut Yoshimura, Ruy Ramos dan Wagner Lopes, maupun kemudian di era J.League saat menjepangkan Alex Santos dan Tulio Tanaka.
PSSI pernah mengambil langkah serupa pada era Nurdin Halid. Yakni manakala menaturalisasi Cristian Gonzales yang merupakan penyerang paling tajam di Liga Indonesia selama bermusim-musim, disusul Victor Igbonefo dan Greg Nwokolo sekadar menyebut sedikit contoh lain.
Namun setelahnya PSSI mulai mengarahkan perhatian pada pemain-pemain keturunan nan potensial di liga luar negeri. Seakan mulai dihinggapi inferioritas, sehingga menilai hasil didikan federasi lain pasti lebih bagus dari pemain-pemain yang besar di liga sendiri.