Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Belajar Naturalisasi Pemain dari Jepang

18 November 2024   02:42 Diperbarui: 18 November 2024   11:41 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu komentar menarik saat saya berselancar di X (dulu Twitter). Seorang netizen berkata kurang-lebih begini, "Jepang juga di Piala Dunia 1998 pakai pemain naturalisasi, kok." Ucapan yang memicu saya menuliskan artikel ini.

Ya, benar sekali. Timnas Jepang juga melakukan naturalisasi pemain. Bahkan federasi sepak bola Negeri Matahari Terbit (JFA) telah mempraktikkannya jauuuh sebelum Jerman membajak Lukasz Podolski yang lahir dan besar di Polandia untuk membela Jerman di Euro 2004.

Boleh dibilang, Jepang adalah pelopor naturalisasi pemain dalam kancah sepak bola. JFA telah melakukannya sejak 1970, lebih dulu 34 tahun dari yang dilakukan federasi sepak bola Jerman (DFB).

Menariknya, pesepak bola pertama yang dinaturalisasi oleh JFA adalah seorang Jepang totok bernama Yoshimura Daishiro. Ya, Anda tidak salah baca: timnas Jepang menaturalisasi seorang Jepang.

Peristiwa ini terjadi pada pertengahan 1970, ketika Yoshimura yang berpaspor Brazil setuju ditawari pindah kewarganegaraan oleh JFA. Usai dinaturalisasi, penggawa Yanmar Diesel FC tersebut melakoni debut bersama Samurai Blue dalam pertandingan melawan Republik Korea pada 2 Agustus 1970 di ajang Merdeka Tournament di Kuala Lumpur, Malaysia.

Kisah lengkap Yoshimura pernah saya tuliskan di Kompasiana medio September lalu. Cari saja melalui menu pencarian artikel di halaman profil saya.

Naturalisasi Non-Keturunan

Setelah Yoshimura, ada nama George Yonashiro yang dinaturalisasi JFA pada Januari 1985. Sama halnya nama pertama, Yonashiro juga merupakan keturunan imigran Jepang yang lahir di Sao Paulo, Brazil.

Namun Yonashiro dinaturalisasi ketika sudah berusia 34 tahun. Alhasil ia hanya mencatatkan dua penampilan bersama timnas negara leluhurnya, keduanya di ajang Kualifikasi Piala Dunia 1986.

Sampai di sini, JFA melakukan apa yang dipraktikkan PSSI-nya Erick Thohir pada masa kiwari. Mereka hanya menaturalisasi pemain yang punya darah Jepang, entah Jepang totok yang lahir dan besar di luar negeri maupun keturunan kawin campur.

Kebijakan ini berubah ketika petinggi JFA tertarik pada Ruy Gonalves Ramos Sobrinho. Pesepak bola kelahiran Rio de Janeiro ini merupakan bagian dari gelombang pemain asing pertama di Liga Jepang, waktu itu masih bernama Japan Soccer League (JSL).

Ruy Ramos asli orang Brazil, datang ke Jepang pada 1977 dan bergabung dengan Yomiuri--kelak berganti nama menjadi Verdy Kawasaki dan kini menjadi Tokyo Verdy. Usianya 20 tahun ketika itu.

Rupanya Ruy Ramos kemudian berkembang menjadi bintang JSL dengan gelimangan gelar juara bersama Yomiuri. Selain 5 kali menjuarai liga, Ruy membawa klubnya merengkuh trofi JSL Cup dan Emperor's Cup masing-masing tiga kali. Lalu ditambah gelar juara Asian Club Championship pada 1987.

Maka, wajar jika petinggi JFA tertarik merekrutnya sebagai anggota timnas Jepang. Ia menjadi orang non-Jepang, sama sekali tidak berdarah Jepang, pertama yang dinaturalisasi oleh JFA.

Kebijakan menaturalisasi orang asing terus berlanjut dengan masuknya Wagner Augusto Lopes ke timnas Jepang pada September 1997. Sama halnya Ruy Ramos, Wagner Lopes juga tampil mengesankan di JSL sehingga menarik minat petinggi JFA.

Wagner Lopes inilah pemain yang dimaksud oleh pemilik akun X yang cuitannya saya jadikan pembuka tulisan. Ia tampil dalam 6 pertandingan Jepang dalam Kualifikasi Piala Dunia 1998 dan menyumbang 3 gol.

Di putaran final di Prancis, Wagner Lopes selalu bermain dalam tiga partai yang dilakoni Jepang. Lelaki kelahiran Sao Paulo ini memberi asis bagi Masashi Nakayama ketika melawan Jamaika di match ketiga Grup H, 26 Juni 1998. Gol satu-satunya yang dicetak Jepang di Piala Dunia 1998 sekaligus merupakan gol pertama bagi Samurai Blue di ajang Piala Dunia.

Di Piala Dunia 2002, di mana Jepang bertindak sebagai tuan rumah bersama Republik Korea, ada nama Alessandro dos Santos dalam daftar skuat Jepang. Pria kelahiran Maringa, Brazil, tersebut dinaturalisasi pada 2001 dan melakoni debut pada 21 Maret 2002.

Sama halnya Wagner Lopes, Santos sama sekali tidak ada punya darah Jepang. Ia dinaturalisasi karena dinilai bermain apik sebagai gelandang bertahan bersama Shimizu S-Pulse di J.League 1.

Naturalisasi Berlandaskan Liga Domestik

Lima orang asal Brazil tersebut sekaligus membuka jalan bagi masuknya gelombang pesepak bola Negeri Samba ke Jepang. Baik orang Brazil keturunan Jepang maupun bukan, baik di level klub maupun yang lantas dinaturalisasi dan menjadi bagian Samurai Blue.

Per Oktober 2022, JFA telah menaturalisasi sebanyak 17 pesepak bola asal/kelahiran Brazil. Jauh lebih banyak dari para pemain kelahiran Amerika Serikat (5), Peru (3) dan negara lain-lain.

Menariknya, dari sekian puluh pemain naturalisasi itu hanya segelintir yang tampil menonjol bersama timnas Jepang. Tak ada yang benar-benar menjadi andalan pelatih Nippon, kecuali Yoshimura di era 70-an akhir, Ruy Ramos di Kualifikasi Piala Dunia 1994, Wagner Lopes di Piala Dunia 1998, Alex Santos di Piala Dunia 2002, serta terakhir Marcus Tulio Tanaka di Piala Dunia 2010.

Bahkan nama-nama seperti Ademir Santos, Leonardo Moreira dan Bruno Suzuki tak pernah sekalipun memperkuat Jepang sepanjang kariernya. Padahal nama terakhir punya rekam jejak mentereng di level klub, meski memang kariernya mentok di Singapura dan Malaysia.

Ini menandakan bahwa sekalipun melakukan naturalisasi pemain, Jepang tidak pernah mengandalkan jalur itu untuk mendongkrak performa tim. Mereka membuka akses naturalisasi hanya jika si pemain benar-benar punya kemampuan di atas rata-rata pemain lokal pada posisi yang dibutuhkan oleh tim.

Lalu perhatikan nama-nama pemain naturalisasi andalan Samurai Blue di atas. Ada satu benang merah yang menjadi kesamaan mereka berlima, yakni semuanya dibesarkan oleh liga domestik Jepang.

Saya ulangi, semua pemain naturalisasi yang kemudian menjadi andalan timnas Jepang adalah talenta-talenta terbaik hasil didikan Liga Jepang. Semuanya, tanpa kecuali.

Yoshimura adalah bintang Yanmar Diesel di JSL era 70-an, lalu Ruy Ramos merupakan andalan Yomiuri pada dekade berikutnya. Demikian pula Wagner Lopes yang tampil moncer bersama Nissan Motors (kini Yokohama F. Marinos) di akhir era 80-an dan kemudian Hitachi SC (kini Kashiwa Reysol) di awal-awal era 90-an.

Alex Santos setali tiga uang, dinaturalisasi karena tampil apik bersama Shimizu S-Pulse di J.League 1. Pun Tulio Tanaka yang merantau ke Jepang sejak berusia 15 tahun dan kemudian bergabung dengan Sanfrecce Hiroshima.

Ketika dinaturalisasi, Tanaka tengah merumput bersama Mito HollyHock yang berbasis di Prefektur Ibaraki. Hingga kemudian pensiun pada 2019, ia menghabiskan seluruh kariernya di Liga Jepang.

Pelajaran untuk Indonesia

Sampai di sini saya yakin sudah terlihat jelas perbedaan kebijakan naturalisasi pemain Jepang dengan Indonesia. Kebijakannya sama, tetapi teknis pelaksanaannya yang sangat berbeda jauh.

Federasi Jepang sejauh ini hanya mau menaturalisasi pemain asing yang dibesarkan oleh liganya sendiri. Baik pada era JSL ketika merekrut Yoshimura, Ruy Ramos dan Wagner Lopes, maupun kemudian di era J.League saat menjepangkan Alex Santos dan Tulio Tanaka.

PSSI pernah mengambil langkah serupa pada era Nurdin Halid. Yakni manakala menaturalisasi Cristian Gonzales yang merupakan penyerang paling tajam di Liga Indonesia selama bermusim-musim, disusul Victor Igbonefo dan Greg Nwokolo sekadar menyebut sedikit contoh lain.

Namun setelahnya PSSI mulai mengarahkan perhatian pada pemain-pemain keturunan nan potensial di liga luar negeri. Seakan mulai dihinggapi inferioritas, sehingga menilai hasil didikan federasi lain pasti lebih bagus dari pemain-pemain yang besar di liga sendiri.

Kebijakan itulah yang kemudian mendatangkan Tony Cussell, Raphael Maitimo, John van Beukering, Sergio van Dijk, disusul Stefano Lilipaly yang dibesarkan oleh akademi FC Utrecht. Kebijakan sama masih berlanjut hingga era Mochamad Iriawan dan lebih-lebih lagi di bawah kepemimpinan Erick Thohir.

Sampai puncaknya, sejak melakoni Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Shin Tae-yong selaku pelatih timnas selalu menurunkan 9 pemain hasil binaan federasi lain dalam starting XI Indonesia. Dalam hal ini federasi sepak bola Belanda, KNVB.

Kalau kemudian hasil yang diberikan melebihi apa yang pernah dicapai timnas era-era sebelumnya, logika saya bisa memaklumi. Namun nyatanya per 18 November ini, satu hari jelang laga krusial melawan Arab Saudi di matchday keenam R3, Indonesia yang lebih mirip timnas bayangannya Belanda justru di ambang tereliminasi.

Saya pribadi sama sekali tidak mempermasalahkan kebijakan naturalisasi pemain. Malah saya menjadikan Stefano Lilipaly sebagai pemain timnas favorit setelah Budi Sudarsono.

Namun jika kemudian PSSI lebih mengandalkan pemain naturalisasi dari luar Liga 1 seperti yang terjadi sekarang, ini sama sekali bukan strategi yang bisa bertahan dalam jangka panjang. Ah, bahkan naga-naganya untuk lolos ke Piala Dunia 2026 pun kita tak akan mampu sekalipun STY menurunkan 11 pemain naturalisasi sebagai starter di seluruh pertandingan tersisa.

Liga 1 Tidak Seburuk Kata STY

"Tapi kan, Liga 1 bapuk banget, Mas."

Ya, saya tahu liga domestik kita belum sesuai harapan. Makanya saya dapat memaklumi jika Erick Thohir menggenjot peluang lolos ke Piala Dunia 2026, menyusul penambahan kuota peserta, dengan mengangkut serombongan pemain binaan KNVB.

Sejak terjadi dualisme kompetisi pada 2011 yang berlanjut dengan dualisme federasi setahun berselang, liga domestik kita memang mengalami penurunan kualitas secara drastis. Namun bukankah itu justru berarti kita harus menumpukan segenap perhatian pada perbaikan kualitas liga?

Jepang sudah memberi contoh, bahwa mengembangkan liga domestik adalah jalan menuju kejayaan yang sebenarnya. Langkah ini secara konsisten dilakukan JFA sejak melahirkan J.League pada 1993.

Kalau ada yang bilang cara ini kelamaan, Jepang nyaris menembus putaran final Piala Dunia 1994 dan kemudian lolos ke Piala Dunia 1998 dengan mengandalkan pemain-pemain hasil binaan liganya sendiri. Ingat, Ruy Ramos dan Wagner Lopes dibesarkan oleh Liga Jepang.

Dari 1993 ke 1998, artinya Jepang hanya butuh waktu 5 tahun saja untuk tampil di Piala Dunia setelah fokus membenahi liga. Sementara kita dalam 5 tahun belakangan lebih sibuk memanjakan seorang pelatih yang sedikit-sedikit minta tambahan pemain naturalisasi, tetapi ujung-ujungnya selalu zonk.

STY meminta pemain naturalisasi tanpa henti karena menilai kualitas Liga 1 buruk. Padahal kalau kita mau fair menilai, sebenarnya tidaklah seburuk itu.

Nyatanya di Piala Asia yang baru lalu ada tiga kontestan selain Indonesia yang memasukkan pemain Liga 1 dalam skuatnya. Ketiganya adalah Palestina yang membawa gelandang Bali United Mohammed Rashid, Malaysia (Junior Eldstal, Dewa United) dan Thailand (Elias Dolah, Bali United). 

Toh, selama ini STY selalu percaya pada Rizki Ridho, Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri dan Pratama Arhan yang adalah produk asli Liga 1. Sangat kontras dengan alasan yang ia berikan tatkala ditanya alasan tidak memanggil dua pemain yang statistiknya oke musim lalu: Stefano Lilipaly dan Nadeo Argawinata.

Sekali lagi, tak ada masalah dengan program naturalisasi pemain. Terlebih jika PSSI sedang mengincar target jangka pendek: lolos Piala Dunia 2026 atau juara Piala Asia 2027. Kita semua dapat memakluminya.

Karena bersifat jangka pendek itulah PSSI harus bisa menjawab sampai kapan program naturalisasi ini berlangsung? Mau menaturalisasi sampai total berapa pemain baru akan berhenti?

Kalau jawabannya adalah tidak ada batasan waktu dan sebanyak-banyaknya seperti pernah disampaikan salah satu anggota Exco PSSI dalam banyak kesempatan, jangan bilang Anda sedang membangun sepak bola Indonesia. Yang sebenarnya dikejar adalah prestasi instan demi mengangkat nama pengurus.

Jepang telah memberi bukti bahwa cara yang mereka tempuh lebih sukses membangun timnas berkualitas dunia secara berkesinambungan. Terbukti dengan partisipasi tanpa henti di Piala Dunia sejak edisi 1998.

Jika pada 1991 Jepang mempelajari Galatama kala hendak menggulirkan liga profesional, tidak ada salahnya jika kini ganti PSSI yang berguru pada JFA.

Talang Datar, 17 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun