Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Memahami Perbedaan Naturalisasi, Keturunan dan Diaspora

17 September 2024   05:25 Diperbarui: 17 September 2024   22:14 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rafael Struick (kanan) adalah pemain keturunan Indonesia yang dinaturalisasi dan kini tengah berdiaspora. FOTO: X/afcasiancuo

UNGGAHAN Peter F. Gontha berkembang menjadi perdebatan liar. Pecah perang opini antara pihak yang pro vs kontra naturalisasi pemain. Sayangnya, ternyata dalam menyampaikan pendapatnya masih banyak sekali yang kesulitan membedakan antara naturalisasi, keturunan dan diaspora.

Sedikit mengilas balik, Peter yang adalah mantan duta besar Indonesia untuk Polandia mengkritisi dominasi pemain naturalisasi dalam skuat timnas. Bahkan ia mengaku malu, sekalipun dua hasil mengejutkan dipetik Tim Garuda dari Arab Saudi dan Australia.

Tak lama kemudian, pendapat senada diucapkan Rocky Gerung di kanal YouTube pribadi. Dengan gayanya yang khas, dosennya Dian Sastro ini berkata bahwa program naturalisasi pemain yang dilakukan PSSI adalah "penipuan terhadap sensasi".

Fans timnas dan terutama pendukung garis keras kebijakan naturalisasi sontak memberi reaksi keras. Di Kompasiana saja, entah sudah berapa penulis langganan rubrik sepak bola yang membahas dan menanggapi pendapat Peter dan juga Rocky.

Lalu ketika kemudian terjadi aksi pemukulan wasit oleh pemain tim sepak bola Sulawesi Tengah di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) di Aceh, Sabtu (14/9/2024) malam lalu, mereka seperti mendapat tambahan bahan bakar untuk memojokkan Peter, Rocky dan orang-orang yang menurut mereka antinaturalisasi.

Ada pula yang mengungkit kekalahan memalukan Indonesia dari Bahrain di Kualifikasi Piala Dunia 2014. Menjadikannya sebagai dasar argumen kalau tanpa naturalisasi pemain, Indonesia melawan Bahrain saja bakal kerepotan. Padahal dalam tim ketika itu ada Diego Michiels, juga Irfan Barchdim.

Lalu yang paling sering adalah menjadikan Prancis, Jerman, Inggris dan juga Spanyol sebagai perbandingan. Yang mereka maksudkan tentu saja deretan pemain berkulit (maaf) hitam dalam timnas negara-negara tersebut.

Tulisan-tulisan mereka sangat baik. Cuma, sayangnya, dalam banyak hal masih melihat kepingan-kepingan isu dalam tema besar naturalisasi pemain secara parsial. Juga terlalu hitam-putih, sampai-sampai tidak bisa menerima pendapat berbeda di kolom komentar.

Ah, jangankan soal itu. Bahkan di tataran dasar saja mereka-mereka ini masih rancu. Misalnya, masih gagap membedakan antara naturalisasi, keturunan dan diaspora.

Diaspora atau Naturalisasi?

Satu contoh, belum lama ini ada Kompasianer yang menuliskan bahwa Shin Tae-yong menurunkan "9 pemain diaspora" sebagai starter dalam pertandingan melawan Arab Saudi dan Australia. Padahal, ketika melawan Australia jumlah pemain diaspora dalam starting line-up malah ada 10 orang.

Lo, kok bisa jadi 10?

Ya iyalah, kan ketika itu Marselino Ferdinan turun sebagai starter? Bukankah pemain yang dibesarkan oleh Persebaya Surabaya ini sedang memperkuat Oxford United di Liga Inggris?

Ketika melawan Arab Saudi, pemain diaspora dalam starting line-up betul ada 9. Yang tidak termasuk diaspora Rizky Ridho dan Witan Sulaeman, sebab keduanya merumput di Liga 1 bersama Persija Jakarta.

Lalu saat menjamu Australia di SUGBK, Witan tidak bermain sejak menit pertama. Posisinya digantikan Marselino. Maka jumlah pemain diaspora dalam starting line-up ketika itu adalah 10.

Jadi, pemain naturalisasi dan pemain diaspora itu dua term yang sama sekali berbeda. Bukan sinonim. Menuliskan "pemain diaspora" untuk mengacu "pemain naturalisasi" jelas tidak tepat, kalau tidak mau saya sebut salah besar.

Naturalisasi adalah istilah bagi proses pengambilan kewarganegaraan Indonesia oleh warga negara asing (WNA). Sedangkan diaspora adalah istilah untuk menyebut warga suatu negara yang sedang tinggal di negara lain.

Jadi, tidak semua pemain diaspora adalah pemain naturalisasi. Sebaliknya, belum tentu pemain naturalisasi adalah pemain diaspora.

Thom Haye, Ragnar Oratmangoen atau Jay Idzes adalah contoh pemain naturalisasi sekaligus pemain diaspora. Mereka pemegang paspor Indonesia yang sedang berkarier di Belanda, Belgia dan Italia.

Adapun Marselino adalah contoh pemain diaspora yang bukan pemain naturalisasi. Dia WNI sejak lahir, tidak pernah melakoni proses naturalisasi, dan kini tengah merantau ke Oxford. Setali tiga uang dengan Asnawi Mangkualam dan Pratama Arhan. 

Lalu ada pula jenis ketiga: pemain naturalisasi yang bukan pemain diaspora. Contohnya Marc Klok, Ilija Spasojevic juga Michiels, Stefano Lilipaly maupuan Ezra Walian yang kesemuanya bermain di Liga 1.

Sampai di sini sudah jelas, ya?

Keturunan yang Dinaturalisasi

Sebutan berikutnya yang sering rancu adalah menyebut pemain naturalisasi sebagai pemain keturunan. Lalu, berdasar kerancuan pemahaman begini menyamakan apa yang ditempuh Indonesia sekarang sama seperti apa yang sudah dilakukan Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol dan masih banyak lagi.

Padahal, sama halnya naturalisasi dan diaspora tadi, pemain keturunan dan pemain naturalisasi adalah dua hal berbeda. Karena ada pemain keturunan yang tidak perlu dinaturalisasi, sebaliknya ada pemain keturunan yang tetap harus dinaturalisasi.

Shayne Pattynama, Ragnar Oratmangoen dan Lilipaly, contohnya. Mereka bertiga jelas sekali memakai nama belakang marga Maluku, sebab memang keturunan Maluku yang lahir dan besar di Belanda.

Toh, sekalipun keturunan Indonesia mereka tetap harus melakoni proses naturalisasi. Kenapa? Karena status mereka adalah WNA. Maka harus diindonesiakan dulu, dinaturalisasi dulu agar menjadi WNI.

Contoh serupa pernah terjadi di Jepang puluhan tahun lalu, sebagaimana saya tuliskan di Kompasiana tempo hari. Di mana timnas Jepang menaturalisasi seorang Jepang totok bernama Yoshimura Daishiro.

Sama halnya Pattynama, Oratmangoen dan Lilipaly, ketika dinaturalisasi Yoshimura adalah warga negara Brazil. Ia keturunan Jepang di Negeri Samba, leluhurnya beremigrasi menyeberang samudera di era Restorasi Meiji.

Shandy Walsh dan Rafael Struick bisa masuk kategori ini, sebab dalam tubuh mereka masih mengalir darah Indonesia. Mereka pemain keturunan, tetapi juga WNA. Maka harus dinaturalisasi.

Kasus berbeda terjadi pada Elkan Baggott, dengan Irfan sebagai preseden. Keduanya adalah anak-anak keturunan WNI yang tinggal di luar negeri. Karena belum memegang paspor negara lain, mereka tinggal diberi paspor Indonesia alias tidak perlu dinaturalisasi.

Ada pula jenis ketiga, yakni pemain naturalisasi yang bukan pemain keturunan. Contohnya Cristian Gonzales atau Victor Igbonefo di masa lalu, di mana ketika itu PSSI memang tidak terlalu mengindahkan faktor keturunan dalam program naturalisasi.

Malah kalau kita mau membatasi istilah keturunan pada etnis-etnis pribumi Indonesia saja, pemain seperti Maarten Paes termasuk bukan keturunan. Kenapa? Karena dalam tubuh Paes hanya ada darah Belanda. Murni Belanda, sekalipun neneknya kelahiran Kediri.

Ini dikonfirmasi oleh Paes sendiri yang menceritakan kalau neneknya pernah tinggal di kamp interniran semasa Perang Dunia II. Yang paham sejarah pasti tahu kalau di masa itu militer Jepang tidak mungkin memasukkan seorang pribumi Indonesia ke kamp. Yang mereka tawan hanyalah orang Eropa, terutama Belanda.

Sebagai konteks, pada masa itu banyak sekali orang Belanda dan Eropa tinggal di Nusantara. Terutama di Jawa dan Sumatera. Di antara mereka bahkan bisa jadi ada yang sudah tinggal di sini sejak ekspedisi Cornelis de Houtman.

Leluhur Paes adalah bagian dari komunitas Belanda di Hindia Belanda seperti ini. Sebagaimana Gubernur Jenderal terakhir Hubertus van Mook (lahir dan besar di Semarang) atau Wieteke van Dort alias Tante Lien (lahir dan besar di Surabaya), pesohor yang belum lama ini meninggal dunia.

Saya sendiri pernah berbincang dengan seorang turis Belanda di Penginapan Seroja, Tidore, medio 2018 lalu. Bule totok tersebut kelahiran Sumedang. Ayahnya dulu pegawai negeri Hindia Belanda yang terpaksa repatriasi ke negeri leluhur karena sengketa Irian Barat.

Bagaimana, sudah jelas, kan? Kalau saya minta sebutkan contoh keturunan Indonesia yang dinaturalisasi lalu menjadi pemain diaspora, bisa kan?

Prancis, Inggris, Spanyol Juga?

Menyebut pemain naturalisasi sebagai pemain diaspora tidak salah sebetulnya. Karena sebagian besar dari mereka memang berkarier di luar negeri sebagai seorang pemegang paspor RI.

Namun kalau disamakan begitu saja bahwa pemain diaspora adalah pemain naturalisasi, Marselino bersama Asnawi dan Arhan bakal protes. Mereka diaspora, tapi bukan hasil naturalisasi.

Satu yang harus diingat, kebanyakan pemain naturalisasi kita merumput di Liga Belanda. Mereka lahir, besar, serta merintis karier di Belanda. Hasil binaan federasi sepak bola Belanda (KNVB).

Maka ketika kemudian menjadi WNI, secara otomatis mereka menjadi pemain diaspora. Inilah yang membedakan apa yang terjadi di timnas Indonesia dengan Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol, dll.

Beberapa hari lalu ada Kompasianer yang menyebut Mesut Özil dan Kylian Mbappe sebagai pemain keturunan di timnas masing-masing, lalu menyamakannya dengan deretan pemain naturalisasi kita yang juga keturunan. Padahal perbedaanya sangat mencolok sekali.

Pattynama, Oratmangoen atau Lilipaly adalah keturunan Indonesia yang lahir dan besar di Belanda, sempat memegang paspor Belanda, lalu dinaturalisasi menjadi WNI agar dapat membela timnas Indonesia. Berganti paspor dulu, berganti federasi dulu, baru bisa membela Tim Garuda.

Sebaliknya, Özil lahir di Jerman. Tepatnya di Gelsenkirchen. Ia keturunan Turki tulen, tetapi berdasarkan asas ius soli adalah warga negara Jerman sejak lahir. Tak pernah menjadi WNA sebelum memegang paspor Jerman.

Perbedaan lain, Özil mengawali karier sepak bola di Jerman. Dimulai di Westfalia 04 Gelsenkirchen, sampai kemudian membela Werder Bremen sebelum direkrut Real Madrid.

Begitu juga Mbappe. Betul ia beretnis Afrika karena ayahnya seorang Kamerun dan ibunya seorang Aljazair, tetapi ia lahir dan mulai bermain bola di Prancis. Ia warga negara Prancis sejak lahir, juga hasil pembinaan FFF (PSSI-nya Prancis).

Bukayo Saka, Nico Williams dan Yamine Lamal pun demikian. Mereka lahir di negara yang timnasnya dibela, sudah menjadi warga negara setempat sejak lahir sekalipun keturunan Afrika. Lalu dari kecil mereka bermain sepak bola di negara bersangkutan, merupakan hasil pembinaan federasi tempatan.

Yang kasusnya mirip Özil, dkk. itu malah Tan Liong Houw, Liem Soen Joe dan Arnold van der Vin. Mereka adalah WNI keturunan Tionghoa dan Belanda yang lahir, besar, serta merintis karier sepak bola di Indonesia, untuk kemudian menjadi andalan Tim Garuda era 1950-an hingga 1970-an.

Adapun yang serupa Pattynama, Oratmangoen, Rafael dan Shandy di timnas Indonesia adalah Jorginho yang turut membantu Italia menjuarai Euro 2020 lalu. Juga Mauro Camoranesi (Italia era 2000-an) dan Yashimura Daishiro (Jepang era 1960-an). Mereka sama-sama pemain keturunan yang kemudian dinaturalisasi karena berstatus WNA.

Praktik yang dilakoni Indonesia sebetulnya lebih pas disandingkan dengan Maroko. Bedanya, federasi sepak bola Maroko (FRMF) tak perlu menaturalisasi Hakim Ziyech, Achraf Hakimi, dll. karena Kerajaan Maroko mengakui dual citizenship.

Artinya, sejak awal Ziyech dan Hakimi adalah warga negara Maroko sekalipun lahir dan besar di luar negeri. Beda banget sama Pattynama, Oratmangoen, dkk. yang warga negara Belanda sebelum diindonesiakan oleh PSSI.

Jadi, sudah tahu ya apa bedanya pemain naturalisasi, pemain diaspora, pemain keturunan serta berbagai turunannya? Juga apa perbedaan kehadiran deretan pemain bule di timnas Indonesia dengan wajah-wajah Afrika di Prancis, Inggris dan Spanyol?

Talang Datar, 15 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun