Sebutan berikutnya yang sering rancu adalah menyebut pemain naturalisasi sebagai pemain keturunan. Lalu, berdasar kerancuan pemahaman begini menyamakan apa yang ditempuh Indonesia sekarang sama seperti apa yang sudah dilakukan Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol dan masih banyak lagi.
Padahal, sama halnya naturalisasi dan diaspora tadi, pemain keturunan dan pemain naturalisasi adalah dua hal berbeda. Karena ada pemain keturunan yang tidak perlu dinaturalisasi, sebaliknya ada pemain keturunan yang tetap harus dinaturalisasi.
Shayne Pattynama, Ragnar Oratmangoen dan Lilipaly, contohnya. Mereka bertiga jelas sekali memakai nama belakang marga Maluku, sebab memang keturunan Maluku yang lahir dan besar di Belanda.
Toh, sekalipun keturunan Indonesia mereka tetap harus melakoni proses naturalisasi. Kenapa? Karena status mereka adalah WNA. Maka harus diindonesiakan dulu, dinaturalisasi dulu agar menjadi WNI.
Contoh serupa pernah terjadi di Jepang puluhan tahun lalu, sebagaimana saya tuliskan di Kompasiana tempo hari. Di mana timnas Jepang menaturalisasi seorang Jepang totok bernama Yoshimura Daishiro.
Sama halnya Pattynama, Oratmangoen dan Lilipaly, ketika dinaturalisasi Yoshimura adalah warga negara Brazil. Ia keturunan Jepang di Negeri Samba, leluhurnya beremigrasi menyeberang samudera di era Restorasi Meiji.
Shandy Walsh dan Rafael Struick bisa masuk kategori ini, sebab dalam tubuh mereka masih mengalir darah Indonesia. Mereka pemain keturunan, tetapi juga WNA. Maka harus dinaturalisasi.
Kasus berbeda terjadi pada Elkan Baggott, dengan Irfan sebagai preseden. Keduanya adalah anak-anak keturunan WNI yang tinggal di luar negeri. Karena belum memegang paspor negara lain, mereka tinggal diberi paspor Indonesia alias tidak perlu dinaturalisasi.
Ada pula jenis ketiga, yakni pemain naturalisasi yang bukan pemain keturunan. Contohnya Cristian Gonzales atau Victor Igbonefo di masa lalu, di mana ketika itu PSSI memang tidak terlalu mengindahkan faktor keturunan dalam program naturalisasi.
Malah kalau kita mau membatasi istilah keturunan pada etnis-etnis pribumi Indonesia saja, pemain seperti Maarten Paes termasuk bukan keturunan. Kenapa? Karena dalam tubuh Paes hanya ada darah Belanda. Murni Belanda, sekalipun neneknya kelahiran Kediri.
Ini dikonfirmasi oleh Paes sendiri yang menceritakan kalau neneknya pernah tinggal di kamp interniran semasa Perang Dunia II. Yang paham sejarah pasti tahu kalau di masa itu militer Jepang tidak mungkin memasukkan seorang pribumi Indonesia ke kamp. Yang mereka tawan hanyalah orang Eropa, terutama Belanda.