Padahal, di Piala Asia 2000 Indonesia malah masuk 12 Besar. Lalu di Piala Asia 2004 dan 2007 langsung masuk 16 Besar. Sekalipun hanya mentok di fase grup.
Ya, benar. Itu karena jumlah kontestan di Piala Asia 2000 masih 12 tim, lalu sejak edisi 2004 dikembangkan menjadi 16 tim.
Sejak edisi 2019, AFC menambah jumlah kontestan Piala Asia menjadi 24. Untuk menyesuaikan jumlah grup dengan bagan 16 Besar, dibuatlah aturan tentang peringkat ketiga terbaik yang lantas menguntungkan Indonesia di edisi 2023 lalu.
Kalau rekor pertama kali lolos ke fase gugur Piala Asia, memang iya. Itu harus diakui dan tidak boleh ada yang menafikan hal tersebut.
Namun kalau dibedah lagi, catatan tersebut diraih dengan hanya membukukan satu kemenangan di fase grup. Dua pertandingan lain berujung kekalahan, sehingga poin akhir Indonesia hanyalah 3.
Rekor sekali menang dan dua kali kalah itu sama dengan partisipasi di edisi 2004 dan 2007. Demikian pula posisi akhir di fase grup yang sama-sama menduduki peringkat ketiga klasemen.
Bahkan pada Piala Asia 2007 Indonesia mencatatkan rekor gol lebih baik: memasukkan 3 dan kemasukan 4 alias -1. Bandingkan dengan kiprah di Qatar lalu yang kebobolan 6 gol dan memasukkan 3 alias -3.
Jadi, 'prestasi' Indonesia di Piala Asia 2023 hanyalah pengulangan dari apa yang pernah dicapai pada edisi 2004 dan 2007. Bedanya, di dua edisi tersebut Tim Garuda langsung tersingkir karena waktu itu tak ada aturan tentang peringkat ketiga terbaik.
Kemudian ingat pula, Indonesia memastikan tiket melalui jalur peringkat ketiga terbaik juga di detik-detik akhir. Sangat tergantung pada hasil-hasil pertandingan tim-tim lain di grup lain, sampai akhirnya Joel Kojo menjadi "pahlawan" bagi timnas.
Maka, tidak boleh menolak juga dong, kalau ada yang mengatakan kelolosan Indonesia ke fase gugur Piala Asia 2023 lalu berbau keberuntungan.
Pencapaian Terjauh?
Ada satu fakta lagi, nih, dari partisipasi Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 1986.