Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pratama Arhan, Bung Towel dan Kedewasaan Suporter Kita

5 Februari 2024   23:11 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:43 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: X/Twitter via JawaPos.com

JAGAT media sosial ramai menyoroti kehadiran Pratama Arhan dalam forum Debat Capres 2024 di Jakarta Convention Center, Ahad (4/2/2024) malam lalu. Ada yang memaklumi, tetapi terpantau jauh lebih banyak yang mencela penggawa timnas Indonesia tersebut.

Agaknya netizen menjadi nyinyir karena pakaian yang dikenakan Arhan. Suami selebgram Azizah Salsha tersebut mengenakan kemeja biru muda, "seragam" khas kubu pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2.

Tak cuma itu, Arhan dan istrinya terlihat berada di deretan barisan penyokong Prabowo-Gibran. Mereka juga sempat berfoto bersama selebriti Raffi Ahmad dan politikus Partai Gerindra Andre Rosiade, tak lain ayah Azizah.

Dari pakaian dan tempat duduknya, mudah ditebak jika Arhan adalah pendukung Prabowo-Gibran. Inilah mungkin yang membuat sebagian netizen gerah, terutama yang memiliki pandangan politik dan pilihan berbeda.

Dalam pandangan mereka, apa yang dilakukan Arhan tidak patut. Pasalnya ia adalah penggawa timnas yang merupakan representasi negara, sehingga tidak seharusnya memperlihatkan keberpihakan pada salah satu paslon.

Komentar di luar konteks tentu saja ikut bermunculan, seperti biasa terjadi dalam perdebatan daring di negeri ini. Salah satunya menyinggung posisi Arhan yang tak tergantikan di timnas, yang diduga kuat karena ia adalah menantu Andre Rosiade.

Prasangka itu bertambah kuat karena Ketua Umum PSSI Erick Thohir juga berada di kubu Prabowo-Gibran. Bahkan nama Erick sempat santer diisukan sebagai calon kuat pendamping Prabowo, sebelum kemudian Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo yang digaet.

Tentu saja prasangka itu hanyalah dugaan belaka. Kecuali kemudian terbukti masuknya Arhan ke timnas memang karena pengaruh Andre Rosiade maupun Erick Thohir.

Hak Politik Pesepakbola

Bagi pendukung Prabowo-Gibran, sama sekali tidak ada yang salah dari kehadiran Arhan dalam Debat Capres kemarin malam. Juga tidak ada masalah sama sekali dengan kemeja biru langit yang dia kenakan pada malam itu.

Kalaupun Arhan mendukung Prabowo-Gibran ataupun calon lain, masalahnya di mana?

Pertanyaan itu juga langsung terlontar di kepala saya ketika melihat keramaian jagat media sosial. Malah muncul pertanyaan kedua, sejak kapan pesepakbola tidak boleh menunjukkan pilihan politik?

Toh, sebagaimana kita semua, Arhan adalah warga negara Indonesia merdeka yang punya hak politik. Maka, ia berhak untuk menentukan pilihan, baik partai politik maupun paslon yang didukung dalam Pemilu nanti.

Sama halnya kita semua juga, Arhan punya hak menunjukkan dukungannya tersebut. Dan saya yakin dia sudah tahu risiko yang bakal dihadapi atas sokongan terang-terangan yang diperlihatkan itu.

Garis bawahi frasa "berhak menunjukkan dukungan" yang saya pakai di atas. Mau menunjukkan atau tidak, itu sepenuhnya merupakan hak Arhan.

Okelah, mungkin memang lebih bijaksana jika Arhan tidak menunjukkan preferensi politiknya di muka umum. Namun sama sekali tidak ada yang salah ketika dia memilih untuk menampakkannya ke publik.

Ketika kemudian Arhan memilih memperlihatkan keberpihakannya secara terang-terangan, yang semestinya kita lakukan adalah menghargai pilihan tersebut. Baik pilihannya untuk mendukung paslon tertentu maupun keputusannya untuk terang-terangan.

Belum Dewasa

Yang jadi sumber masalah sehingga perkara ini gaduh, dalam hemat saya, adalah belum dewasanya sebagian besar netizen dan suporter sepakbola dalam menyikapi setiap perbedaan. Entah itu perbedaan pilihan politik maupun perbedaan pendapat.

Sikap seperti inilah yang kerap memicu perdebatan tidak perlu setiap kali membahas sesuatu. Yang selalu membuat jagat media sosial ramai oleh hal-hal yang sebetulnya tak penting.

Sebelum penampakan Arhan di kubu Prabowo-Gibran, netizen suporter sepakbola sudah terbelah akibat pro-kontra Shin Tae-yong. Terbaru, sempat terjadi perdebatan seru antara pendukung perpanjangan kontrak dan pihak yang menginginkan STY dipecat.

Perbedaan pendapat seperti ini bukanlah masalah. Justru satu hal bagus yang semestinya lebih dibiasakan dalam masyarakat kita.

Sayangnya, ketika kemudian saling beradu pendapat, kebanyakan dari kita masih kesulitan mengemukakan argumentasi dengan baik, benar sekaligus beradab. Alih-alih, yang biasa terjadi adalah saling caci-maki dan menyerang pribadi lawan bicara.

Lihatlah bagaimana netizen memberi stigma anti timnas dan tidak nasionalis kepada Tommy Welly. Penyebabnya, komentator kawakan tersebut sering melontarkan kritik terhadap kinerja Shin Tae-yong sebagai pelatih timnas.

Bukannya menyanggah argumentasi Bung Towel, demikian komentator tersebut biasa dipanggil, netizen justru menyerang pribadinya. Main ad hominem yang dalam dunia ilmiah termasuk sebagai salah satu bagian dari logical fallacy alias cacat logika.

Ketika kemudian ada yang menyetujui pendapat Bung Towel, predikat (maaf) "penyepong Towel" secara otomatis menempel. Ini pernah menimpa saya di X (Twitter) beberapa waktu lalu. Sungguh menggelikan.

Literasi Minim, Nalar Tumpul

Sikap demikian diperparah oleh minimnya literasi. Hal ini berdampak pada tumpulnya daya kritis kebanyakan netizen di negeri ini.

Akibatnya, netizen kita tidak terbiasa mengecek kebenaran sebuah kabar yang berseliweran di medsos. Mereka justru dengan sangat mudah menelannya mentah-mentah. Percaya begitu saja, malah ikut menyebarkan pula.

Ketika Indonesia melaju ke babak 16 Besar Piala Asia 2023, misalnya, sempat beredar video rekaman komentar Bung Towel. Narasi yang kemudian beredar, komentator itu meremehkan pencapaian Asnawi Mangkualam, dkk. dengan menyebut kelolosan timnas tidak meyakinkan.

Lagi, tanpa sedikit pun bersikap kritis netizen mempercayai begitu saja narasi yang disebarkan bersama potongan video tersebut. Bahkan tidak ada yang tergerak untuk sekadar bertanya video aslinya, yang versi lebih panjang, bisa dilihat di mana.

Merasa nama baiknya dicoreng, Bung Towel membuat video konfirmasi jika video yang beredar luas itu adalah rekaman lama. Yang ia bahas dalam video tersebut bukan kiprah timnas di Piala Asia 2023, melainkan di Asian Games 2023.

Bersama pengacaranya, Bung Towel menuntut media dan akun-akun medsos yang menyebar-luaskan video tersebut untuk men-take down dan meminta maaf secara terbuka. Jika tidak, akan ada upaya hukum yang ditempuh oleh pihaknya.

Dari apa yang menimpa Bung Towel dan baru-baru ini Pratama Arhan, tergambar jelas bagaimana wajah suporter sepakbola kita. Apa yang mereka tampilkan di jagat maya sedikit-banyak menunjukkan sudah di tahap apa kedewasaan mental dan level intelektual kebanyakan mereka.

Menelaah ini, jangan heran jika kerusuhan antarsuporter masih kerap terjadi di liga kita. Entah itu Liga 1, Liga 2, lebih-lebih Liga 3 yang bagi saya (maaf) masih serupa tarkam.

Pemicunya ya itu tadi, sukar menerima perbedaan yang adalah perwujudan watak egois alias mau menang sendiri. Sikap demikian menurunkan perilaku selalu menolak apapun yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Salah satu bentuknya, tidak terima ketika tim idolanya kalah. Perasaan itu diwujudkan secara emosional dalam bentuk anarkisme. Bikin rusuh.

Saya yakin siapapun yang membaca ini sepakat jika suporter harus berubah lebih dewasa. Harus lebih mengedepankan logika dan nalar alih-alih emosi. Jangan hanya bisa menuntut PSSI membenahi liga, tetapi mereka sendiri malah turut andil dalam merusaknya dengan berlaku rusuh.

Eks Ketum PSSI Eddy Rahmayadi pernah mengeluarkan satu ucapan legendaris, "Medianya baik, maka timnasnya juga baik." Kini, ungkapan yang lebih relevan menurut saya adalah "suporternya baik, maka sepak bola kita akan lebih baik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun