Adaptasi dengan lingkungan di mana kita bekerja adalah sebuah keniscayaan. Namun Shin Tae-yong merasa tak perlu melakukan itu sekalipun sudah empat tahun di Indonesia.
Pernahkah STY bertemu dan berkumpul dengan pelatih klub Liga 1? Saya kok, tidak pernah mendengar beritanya. Yang ada justru kabar perseteruan dengan Thomas Doll.
Padahal ini semestinya sudah sejak lama Shin Tae-yong lakukan. Untuk sekadar menjalin komunikasi maupun bertukar pendapat. Bahkan seharusnya ia bisa menularkan ilmu pada para pelatih Liga 2 dan Liga 3.
Lalu, dalam empat tahun ini mengapa ia tak kunjung bisa berbahasa Indonesia? Sekalipun ada penerjemah, komunikasi langsung dengan pemain akan lebih mengena dan memberi efek berbeda.
Saya jadi ingin membandingkan STY dengan Ivan Kolev, yang hanya dalam setahun sudah bisa berkomunikasi lancar dalam bahasa Indonesia.
6. Selalu Banyak Alasan
Saya belum menemukan istilah yang tepat untuk poin satu ini. Yang jelas, Shin Tae-yong selalu saja punya alasan setiap kali timnya menelan kekalahan.
Alih-alih mengakui kekalahan tersebut sebagai kesalahannya dalam meramu taktik maupun menyusun starting line-up, STY justru lebih suka menuding pihak ataupun faktor lain sebagai penyebab.
Kita mulai dari kekalahan 1-5 di kandang Irak pada Kualifikasi Piala Dunia 2026, November lalu. Ketika itu alasan STY adalah para pemain kelelahan usai menempuh perjalanan jauh.
Ketika ditahan imbang Filipina di partai kedua, alasan Shin Tae-yong para pemain tidak terbiasa bermain di lapangan dengan rumput sintetis. Karena itu permainannya buruk dan nyaris kalah.
Parade alasan terus berlanjut saat Indonesia keok dari Libya dan Iran di laga uji coba, awal Januari lalu. Dan terus berlanjut ketika turnamen digelar.
Saat kalah dari Irak, keputusan VAR yang dipersalahkan sebagai biang kekalahan. Di partai terakhir melawan Australia, gol bunuh diri Elkan Baggott yang jadi sasaran.