Penilaian tersebut berujung sikap favoritisme terhadap pemain berbasis Eropa dan itu terlihat nyata di Piala Asia lalu. Di mana Shin Tae-yong senantiasa mengandalkan Rafael Struick, contohnya, bahkan ketika si pemain merasa buntu dan frustasi.
Sewaktu melawan Australia, STY menurunkan tujuh pemain berbasis Eropa sekaligus. Ia bahkan memasang Shayne Pattynama yang melewatkan training center sebagai starter, menggantikan Arhan Pratama yang tampil baik dalam tiga pertandingan sebelumnya.
Keputusan itu merupakan pernyataan tidak langsung dari Shin Tae-yong bahwa para 'pemain lokal' Indonesia tidak cukup punya kualitas untuk menghadapi Australia. Bagi saya, ini satu sikap merendahkan.
3. Buntu Saat Tertekan
STY kerap memberikan kejutan dengan menampilkan starting line-up berbeda-beda di setiap laga. Namun adakah yang menyadari jika ia kerap buntu dan terkesan tak bisa berbuat apa-apa ketika timnya tertekan?
Sebaliknya, respons yang ia berikan ketika Indonesia tengah tertinggal seolah aksi template belaka. Tiga kekalahan di Piala Asia 2023 bisa dijadikan contoh terbaru.
Apa yang selalu dilakukan STY ketika Indonesia tertinggal dari Irak, Jepang dan terakhir Australia? Benar sekali, memasukkan Witan Sulaiman.
STY tampak kurang piawai memanfaatkan pergantian pemain. Ia selalu kesulitan mengeluarkan timnya dari tekanan lawan di tengah-tengah pertandingan.
Coba ingat-ingat lagi, melawan siapa STY pernah mengubah keadaan dengan mengandalkan pemain dari bangku cadangan? Saya kok, kesulitan mengingat di pertandingan mana itu pernah terjadi.
4. Kesulitan Melawan Tim Besar
Poin ketiga tadi lantas menurunkan poin keempat ini. Ya, STY selalu kesulitan melawan tim besar, termasuk tim selevel yang tampil ngotot sehingga merepotkan para pemain.
Hal ini sudah tampak sejak Indonesia melawan Singapura di semifinal Piala AFF 2020. Juga kemudian leg pertama partai final melawan Thailand.
Coba lihat statistik, tim-tim seperti apa yang bisa dikalahkan STY selama menangani Indonesia?