Sama halnya ketika ditawari bertugas di Pilbup 2015, saya langsung mengiyakan saja ketika dimintai tolong oleh Bu Bayan. Ya, kepala dusunnya sudah ganti, dari seorang bapak ke seorang ibu muda.
Karena banyak veteran KPPS yang tidak bisa bertugas, saya jadi ketiban sampur. Dari sebelum-sebelumnya cuma sebagai penjaga kotak suara dan tinta, di Pilgub 2018 menjadi KPPS 3.
Cuma ternyata jadi KPPS 3 pegelnya bukan main di tangan. Sekalipun menulis adalah hal biasa buat saya, tapi menuliskan hal yang sama berulang-ulang pada surat suara bikin puyeng. Belum lagi ketika tiba waktunya rekapan.
Syukurlah, semuanya berjalan lancar. Kami semua bisa pulang sebelum gelap karena seluruh tugas sudah selesai bakda Ashar.
Di tahun sama pula saya merasakan pengalaman mengawal pemilihan elektronik pertama sepanjang sejarah Republik Indonesia. Momennya adalah Pemilihan Kepala Desa Serentak 2018.
Harus diakui, pemilihan elektronik sangat meringankan pekerjaan KPPS. Kami hanya memastikan pemilih yang datang sudah terdaftar di DPT, lalu mengarahkan mereka ke bilik suara dan selesai.
Tak ada proses penghitungan dan rekapitulasi surat suara yang sangat menguras energi lagi memakan waktu lama. Siapa kepala desa terpilih bahkan sudah bisa diketahui hari itu juga.
Menurut saya, sudah seharusnya Indonesia menerapkan pemilihan elektronik. Selain lebih cepat, sepintas saja terlihat jika model ini lebih hemat biaya.
Ini saya hanya membandingkan jumlah anggota KPPS di TPS, ya. Juga ketiadaan proses rekapitulasi berjenjang. Untuk biaya secara keseluruhan, saya tidak paham apakah justru lebih tinggi atau tidak.
Pemilu Paling Melelahkan
Saya sama sekali tidak berniat menjadi anggota KPPS di Pemilihan Umum Serentak 2019. Bukan apa-apa, saya sudah terbayang bakal pulang ke rumah jam berapa kalau surat suaranya ada lima.
Di Pileg 2014 yang surat suaranya empat saja, saya pulang ke rumah tengah malam. Jadi, bisa dipastikan di tahun 2019 bakal memakan waktu lebih panjang.