Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menjadi Petugas KPPS, Kontribusi Kecilku Turut Menyukseskan Pemilu 2024

13 Januari 2024   12:46 Diperbarui: 14 Januari 2024   00:21 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Petugas KPPS TPS 8 Kelurahan Penumping melakukan penghitungan surat suara pemilih Pilkada Solo 2020, Rabu (9/12/2020).(KOMPAS.com/LABIB ZAMANI)

SAYA masih ingat betul, siang itu di bulan Februari 2014 kepala dusun datang menemui saya. Kedatangan yang "menceburkan" saya ke dalam dunia kepemiluan, hingga saat ini.

Kala itu, tanpa basa-basi Pak Kepala Dusun alias Pak Bayan meminta saya jadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Saya tidak diberi kesempatan berpikir dan setengah dipaksa harus mau. Beliau bahkan sudah membawa map berisi formulir yang harus saya isi dan lengkapi.

Ya sudahlah, saya akhirnya menjawab bersedia. Hitung-hitung buat pengalaman hidup. Toh, pikir saya, cuma menyenggangkan waktu sehari pas pemilihan ini.

Kalau ada yang mengira saya menerima tawaran Pak Bayan karena faktor uang, salah besar. Saat itu saya bahkan tidak tahu kalau jadi anggota KPPS ada honornya.

Lagi pula, 2014 adalah tahun di mana saya masih baik-baik saja secara finansial. Meski berkarya di rumah saja, saya dan istri bisa berpenghasilan melebihi gaji pegawai negeri kebanyakan.

Saya baru tahu dapat honor ketika diberi amplop berisi uang oleh Ketua KPPS, lalu diminta meneken tanda terima. Itu kejadian sewaktu kami bertujuh berkumpul untuk membahas persiapan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan lain-lain.

FOTO: Tampilan dasbor laman SIAKBA KPU yang wajib dilengkapi para calon anggota KPPS. (Dokumentasi pribadi)
FOTO: Tampilan dasbor laman SIAKBA KPU yang wajib dilengkapi para calon anggota KPPS. (Dokumentasi pribadi)

Jadi, honor itu malah jadi bonus bagi saya. Karena pada awalnya sama sekali tidak berpikir bakalan dapat, semata-mata berniat memberi kontribusi bagi lingkungan sekitar.

Berawal dari KPPS 6

Begitulah, tanggal 9 April 2014 saya bangun lebih pagi. Kebiasaan setiap kali akan menghadapi sesuatu hal baru.

Tepat pukul tujuh kami semua anggota KPPS disumpah oleh Ketua KPPS dan mempersiapkan pemungutan suara. Saya bertugas sebagai KPPS 6, yakni yang memastikan para pemilih memasukkan surat suara di kotak yang sesuai.

Syukurlah, pemilihan berjalan lancar. Hanya saja saya lumayan dibuat terkejut oleh proses penghitungan surat suara yang ternyata cukup menguras energi.

Kami baru rampung menghitung dan merekap pukul sepuluh malam lebih ketika itu. Baru bisa pulang sekitar pukul sebelas karena musti menunggu kotak suara diambil oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS).

Penatnya jangan ditanya. Namun demikian saya bukannya kapok, malah jadi ketagihan. Ya, menjadi anggota KPPS ternyata seseru itu.

Setelah Pemilihan Legislatif 2014, sebetulnya saya diminta Pak Bayan untuk kembali menjadi anggota KPPS di Pemilihan Presiden tahun sama. Namun terpaksa saya tolak karena sudah berjanji akan berlebaran di Jambi pada orangtua.

Alhasil, saya melewatkan kesempatan berperan serta dalam Pilpres 2014. Momen yang menjadi jalan bagi seorang Joko Widodo memimpin negara ini selama dua periode.

Karena mudik ke Jambi pula saya tidak bisa ikut mencoblos calon presiden pilihan. Ya sekalipun pilihan saya bukan pada sosok capresnya, tetapi malah cawapresnya.

Pilbup, Pilgub, Juga Pilkades

Tahun 2015, Pemalang punya hajatan Pemilihan Bupati. Lagi-lagi saya didatangi Pak Bayan dan diminta ikut menjadi anggota KPPS.

Kali itu tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan. Lagipula saya langsung nalar jika Pemilihan Bupati tidak akan serepot Pemilihan Legislatif yang surat suaranya ada empat jenis: DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD RI.

Peran saya di Pilbup Pemalang 2015 adalah penjaga tinta alias KPPS 7. Posisi yang sempat membuat terkantuk-kantuk karena tanpa diarahkan para pemilih sudah tahu harus mencelupkan jari usai mencoblos.

Sesuai dugaan, proses penghitungan surat suara berjalan cepat. Lepas Ashar saya dan teman-teman KPPS lain sudah meninggalkan TPS karena seluruh pekerjaan sudah rampung.

Selepas itu tak ada lagi pemilihan umum. Baru pada 2018 panggilan menjadi anggota KPPS kembali menghampiri, sebab masa jabatan Gubernur Jawa Tengah (waktu itu) Ganjar Pranowo sudah hampir habis.

Sama halnya ketika ditawari bertugas di Pilbup 2015, saya langsung mengiyakan saja ketika dimintai tolong oleh Bu Bayan. Ya, kepala dusunnya sudah ganti, dari seorang bapak ke seorang ibu muda.

Karena banyak veteran KPPS yang tidak bisa bertugas, saya jadi ketiban sampur. Dari sebelum-sebelumnya cuma sebagai penjaga kotak suara dan tinta, di Pilgub 2018 menjadi KPPS 3.

Cuma ternyata jadi KPPS 3 pegelnya bukan main di tangan. Sekalipun menulis adalah hal biasa buat saya, tapi menuliskan hal yang sama berulang-ulang pada surat suara bikin puyeng. Belum lagi ketika tiba waktunya rekapan.

Syukurlah, semuanya berjalan lancar. Kami semua bisa pulang sebelum gelap karena seluruh tugas sudah selesai bakda Ashar.

Di tahun sama pula saya merasakan pengalaman mengawal pemilihan elektronik pertama sepanjang sejarah Republik Indonesia. Momennya adalah Pemilihan Kepala Desa Serentak 2018.

Harus diakui, pemilihan elektronik sangat meringankan pekerjaan KPPS. Kami hanya memastikan pemilih yang datang sudah terdaftar di DPT, lalu mengarahkan mereka ke bilik suara dan selesai.

Tak ada proses penghitungan dan rekapitulasi surat suara yang sangat menguras energi lagi memakan waktu lama. Siapa kepala desa terpilih bahkan sudah bisa diketahui hari itu juga.

Menurut saya, sudah seharusnya Indonesia menerapkan pemilihan elektronik. Selain lebih cepat, sepintas saja terlihat jika model ini lebih hemat biaya.

Ini saya hanya membandingkan jumlah anggota KPPS di TPS, ya. Juga ketiadaan proses rekapitulasi berjenjang. Untuk biaya secara keseluruhan, saya tidak paham apakah justru lebih tinggi atau tidak.

Pemilu Paling Melelahkan

Saya sama sekali tidak berniat menjadi anggota KPPS di Pemilihan Umum Serentak 2019. Bukan apa-apa, saya sudah terbayang bakal pulang ke rumah jam berapa kalau surat suaranya ada lima.

Di Pileg 2014 yang surat suaranya empat saja, saya pulang ke rumah tengah malam. Jadi, bisa dipastikan di tahun 2019 bakal memakan waktu lebih panjang.

Eh, ndilalah kok lagi-lagi Bu Bayan datang meminta tolong pada saya. Beliau bilang masih kekurangan personel, jadi musti mendatangi orang-orang yang pernah jadi KPPS untuk melengkapi formasi.

Saya jadi tersenyum kecut. Soalnya, ketika Bu Bayan woro-woro informasi pendaftaran anggota KPPS di grup dusun, saya abaikan karena memang tidak berniat ikut.

Namun, apa boleh buat. Karena diminta secara personal saya pun mengiyakan.

Jadilah saya kembali bertugas, lagi-lagi sebagai KPPS 3 seperti di Pilgub Jateng 2018. Momen di mana saya turut merasakan betapa kerasnya Pemilu yang menewaskan banyak anggota KPPS itu.

Sesuai perhitungan saya, proses perhitungan surat suara baru rampung sekitar pukul setengah dua dini hari. Ditambah waktu menunggu mobil PPS mengambil kotak suara.

Percaya atau tidak, saya pulang ke rumah pukul setengah tiga waktu itu. Lelahnya bukan main. Sampai rumah saya cuma cuci muka dan kaki-tangan, lalu langsung tidur. Baru bangun setelah anak-anak berangkat sekolah.

Kami masih mending bisa pulang jam segitu. Di sejumlah TPS lain ada yang penghitungannya berlangsung sampai subuh.

Akhirnya, Inisiatif Mendaftar Sendiri

Seperti saya katakan tadi, menjadi anggota KPPS itu bikin ketagihan. Capek memang, tapi ada perasaan lega dan puas yang luar biasa ketika tugas-tugas telah dirampungkan.

Makanya begitu KPU membuka pendaftaran calon anggota KPPS untuk Pemilu 2024, saya ikut mendaftarkan diri. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang sebetulnya tidak mau ikut tapi dimintai tolong oleh perangkat desa.

Karena mendaftar sendiri, saya merasa prosesnya terhitung rumit. Maklum saja, sebelum-sebelumnya saya cukup menyerahkan berkas-berkas kepada Pak Bayan dan kemudian Bu Bayan. Seingat saya tak perlu tes ini-itu.

Ya, yang sempat bikin malas adalah tes kolesterol. Saya sempat heran, kenapa surat keterangan dokter Puskesmas tidak cukup? Apalagi pemeriksaan di Puskesmas itu difasilitasi oleh KPU via PPS/PPK.

Memang tidak ada pemeriksaan kadar kolesterol di Puskesmas, hanya tekanan darah dan kadar gula darah. Karena itulah seluruh pendaftar diminta melakukan tes kadar kolesterol di rumah sakit dan sejumlah fasilitas kesehatan terdekat lainnya.

Mood saya sempat terganggu karena itu. Sehari, dua hari saya tidak melakukan tes. Barulah pada hari terakhir saya berubah pikiran dan berangkat ke rumah sakit.

Saya melengkapi berkas pendaftaran di hari terakhir selepas jam makan siang. Pikir saya, kalau lolos ya syukur, tidak lolos malah alhamdulilah.

Toh, KPU tentunya ingin regenerasi. Jadi saya pikir yang bakal lebih diprioritaskan pastilah para pendaftar muda.

Namun rupanya para pendaftar didominasi kaum muda yang sebagian besar tidak punya pengalaman menjadi anggota KPPS. Bisa ditebak bagaimana hasil saya mendaftarkan diri secara sukarela kali ini.

Bukan saja diterima, saya yang termasuk pendaftar dari golongan tua lagi punya pengalaman malah diplot sebagai Ketua KPPS. Masih calon sih, sebab pelantikannya baru 24 Januari mendatang.

Tentu saja saya menerima amanah ini dengan senang hati. Kapan lagi bisa berkontribusi kepada negara secara langsung, kan? Ya, menjadi anggota KPPS adalah kontribusi kecil saya dalam menyukseskan Pemilu 2024.

Mohon doanya, semoga saya dan seluruh anggota KPPS di Indonesia senantiasa dilimpahi kesehatan agar dapat menjalankan tugas dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun