Dua Indonesia bertemu di semifinal, dimenangkan oleh tim senior dengan skor tipis 1-0. Sementara di semifinal lainnya, Libya U-23 mengalahkan Myanmar 5-3.
Alhasil, Indonesia senior melaju ke final untuk melawan Libya U-23. Inilah yang kelak tercatat sebagai final memalukan sekalipun berujung gelar juara.
Memerhatikan nama-nama pencetak gol yang tadi saya sebutkan, mudah diketahui jika timnas kala itu menampilkan kekuatan penuh. Ada Bambang dan Budi di depan, lalu ada Charis di belakang.
Toh, ternyata Indonesia tak berkutik di hadapan Libya. Jangan lupa, ini Libya U-23, lo. Bukan tim seniornya.
Babak pertama berakhir 1-0 untuk keunggulan Libya U-23. Tim undangan dari Afrika ini bahkan sudah menjebol gawang Indonesia pada menit ke-13.
Keanehan terjadi ketika babak kedua hendak dimulai. Para pemain dan ofisial Libya tak kunjung memasuki lapangan, sehingga Indonesia dan perangkat pertandingan terpaksa menunggu.
Tunggu punya tunggu, hingga lebih 15 menit berselang Libya tak jua muncul. Sesuai rule of the game, Indonesia dihadiahi kemenangan walk-out plus tiga gol sehingga memenangkan pertandingan dengan skor akhir 3-1.
Mengaku Ditinju dan Diancam
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Libya memilih tak melanjutkan pertandingan?
Tak ada keterangan resmi baik dari penyelenggara pertandingan maupun ofisial kedua tim. Namun kasak-kusuk beredar luas di kalangan jurnalis yang meliput kompetisi tersebut.
Salah satunya diceritakan oleh Miftakhul FS dalam buku Mencintai Sepakbola Indonesia Meski Kusut (Fandom Indonesia, 2016). Bambang memberikan kata pengantar untuk buku ini, memberi kesan jika cerita Miftakhul memang benar adanya.
Dalam buku tersebut dikisahkan, Libya mogok main karena ada satu insiden di lorong ruang ganti. Peristiwanya tidak main-main, di mana pelatih Gamal Adeen Abu Nowara mengaku dipukul oleh salah satu ofisial tim Indonesia.