Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Momen Indonesia "Kalahkan" Libya dan Jadi Juara

1 Januari 2024   19:59 Diperbarui: 2 Januari 2024   17:00 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuad timnas Indonesia tengah berlatih dalam rangkaian pemusatan latihan (TC) jelang Piala Asia 2023 di Turkiye. Terkini, pelatih timnas Indonesia, Shin Tae-yong, menegur pemain timnas Indonesia yang memakan mie instan.(Dok. PSSI via kompas.com)

RENCANA timnas Indonesia beruji coba melawan Libya seketika melempar ingatan saya ke momen belasan tahun lalu. Tepatnya ketika Tim Garuda "menang" atas tim asal Afrika ini dan mengangkat trofi.

Generasi kiwari pasti bakal bertanya-tanya, memangnya kapan Indonesia pernah jadi juara? Pandemen bola kelahiran tahun 2000-an rasa-rasanya jadi yang paling bingung. Kapan, Wir, kapan? 

Lalu pertanyaan susulan muncul. Mengingat lawan yang dikalahkan Libya, tim asal Afrika alias tidak satu konfederasi dengan Indonesia, kira-kira kejuaraan apakah itu?

Well, ini sebenarnya momen memalukan untuk dikenang. Betul Indonesia jadi juara, tapi enggak ada rasa bangga-bangganya sama sekali kalau tahu kenapa bisa jadi juara.

Para pemain Indonesia memang menunjukkan ekspresi gembira saat prosesi pengalungan medali. Juga ketika mengangkat piala. Namun tampak satu-dua yang menunjukkan senyum getir.

Belasan tahun berselang, penyerang Budi Sudarsono sempat menyinggung kisah tersebut di sebuah podcast. Alih-alih menceritakannya dengan bangga, Si Piton justru terkesan menutup-nutupi apa yang sesungguhnya terjadi ketika melawan Libya di final.

Untung saja yang menemani Budi sebagai tamu di podcast itu Cristian Gonzales. Jadinya cerita tidak berkembang ke mana-mana karena El Loco tidak tahu apa-apa.

Crisgo memang belum jadi WNI dan membela timnas ketika Indonesia "mengalahkan" Libya itu. Baru dua tahun berselang eks idola Persikmania tersebut beralih kewarganegaraan.

Turnamen Tujuhbelasan

Buat yang masih penasaran kejuaraan apa yang saya maksud di sini, sudah ada clue di atas. Kejadiannya dua tahun sebelum Cristian Gonzales dinaturalisasi.

Googling sebentar saja bakal ketahuan kalau El Loco mengucap sumpah sebagai WNI pada akhir 2010. Jadi, kejuaraan yang sedari tadi saya tutup-tutupi namanya ini dihelat pada 2008.

Okelah, saya buka saja: Piala Kemerdekaan 2008. Kejuaraan yang tak ubahnya turnamen tujuhbelasan atau agustusan.

Saya sebut turnamen tujuhbelasan karena memang Piala Kemerdekaan 2008 digelar untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Di bulan Agustus.

 Para pemain Indonesia sedang merayakan gelar juara. (FOTO: Goal.com via Indosport)
 Para pemain Indonesia sedang merayakan gelar juara. (FOTO: Goal.com via Indosport)

Alih-alih menguji timnas dengan lawan-lawan tangguh, ajang ini justeru mengundang tamu tim-tim gurem Asia Tenggara. Ada Myanmar, Kamboja, lalu klub Duli Pengiran Muda Mahkota FC (DPMM FC) sebagai perwakilan Brunei.

Kalau ada yang layak disebut tim tangguh, maka hanya Libya satu-satunya. Itupun yang datang (atau memang yang diundang?) tim U-23, bukan tim senior.

Indonesia sendiri sebagai tuan rumah menurunkan dua tim sekaligus. Tim senior dan tim U-21.

Hasil undian menempatkan timnas Indonesia bersama Myanmar dan Kamboja di Grup B. Sedangkan tim U-21 di Grup A bersama DPMM FC dan Libya U-23.

Menang Jadi Arang

Mudah ditebak, Indonesia mendominasi Grup B dengan rekor mencolok. Tim asuhan (kala itu) Benny Dollo menyapu bersih semua pertandingan dengan kemenangan telak.

Pada pertandingan pertama, Kamboja dihajar tujuh gol tanpa balas. Budi Sudarsono mencetak empat gol, lalu tiga lainnya disumbangkan Bambang Pamungkas, Ilham Jayakesuma dan Charis Yulianto.

Lalu di pertandingan berikutnya giliran Myanmar yang dihajar. Skornya "cuma" 4-0, di mana Arif Suyono mencetak brace dan dua gol lain disumbang Budi dan Bambang.

Di Grup A, Indonesia U-21 hanya bisa menang 2-0 atas DPMM FC sebelum kemudian dibantai Libya U-23 dengan skor 1-4. Namun demikian Garuda Yunior berhak melaju ke semifinal sebagai runner-up grup.

Dua Indonesia bertemu di semifinal, dimenangkan oleh tim senior dengan skor tipis 1-0. Sementara di semifinal lainnya, Libya U-23 mengalahkan Myanmar 5-3.

Alhasil, Indonesia senior melaju ke final untuk melawan Libya U-23. Inilah yang kelak tercatat sebagai final memalukan sekalipun berujung gelar juara.

Memerhatikan nama-nama pencetak gol yang tadi saya sebutkan, mudah diketahui jika timnas kala itu menampilkan kekuatan penuh. Ada Bambang dan Budi di depan, lalu ada Charis di belakang.

Toh, ternyata Indonesia tak berkutik di hadapan Libya. Jangan lupa, ini Libya U-23, lo. Bukan tim seniornya.

Babak pertama berakhir 1-0 untuk keunggulan Libya U-23. Tim undangan dari Afrika ini bahkan sudah menjebol gawang Indonesia pada menit ke-13.

Keanehan terjadi ketika babak kedua hendak dimulai. Para pemain dan ofisial Libya tak kunjung memasuki lapangan, sehingga Indonesia dan perangkat pertandingan terpaksa menunggu.

Tunggu punya tunggu, hingga lebih 15 menit berselang Libya tak jua muncul. Sesuai rule of the game, Indonesia dihadiahi kemenangan walk-out plus tiga gol sehingga memenangkan pertandingan dengan skor akhir 3-1.

Mengaku Ditinju dan Diancam

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Libya memilih tak melanjutkan pertandingan?

Tak ada keterangan resmi baik dari penyelenggara pertandingan maupun ofisial kedua tim. Namun kasak-kusuk beredar luas di kalangan jurnalis yang meliput kompetisi tersebut.

Salah satunya diceritakan oleh Miftakhul FS dalam buku Mencintai Sepakbola Indonesia Meski Kusut (Fandom Indonesia, 2016). Bambang memberikan kata pengantar untuk buku ini, memberi kesan jika cerita Miftakhul memang benar adanya.

Dalam buku tersebut dikisahkan, Libya mogok main karena ada satu insiden di lorong ruang ganti. Peristiwanya tidak main-main, di mana pelatih Gamal Adeen Abu Nowara mengaku dipukul oleh salah satu ofisial tim Indonesia.

Akibat pukulan tersebut, bibir Gamal memar dan lensa kiri kacamatanya pecah. Ini mengindikasikan jika pemukulan dilakukan lebih dari sekali alias bertubi-tubi.

Tak cuma mendapatkan kekerasan fisik, Gamal juga menyebut dirinya diancam. Alhasil, begitulah yang kemudian terjadi: Libya ogah melanjutkan pertandingan.

Indonesia yang puasa gelar sejak menjuarai SEA Games 1991 jadi beroleh durian runtuh. Trofi juara Piala Kemerdekaan 2008 pun mengisi lemari koleksi PSSI.

Selasa (2/1/2024) besok, Indonesia akan kembali bersua Libya. Apapun hasilnya nanti, semoga saja jadi bekal bagus menjelang partisipasi di Piala Asia yang tinggal hitungan pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun