LIGA 3 merupakan kompetisi resmi PSSI, sebagai kasta terbawah dalam piramida sepakbola nasional. Namun dalam beberapa hal, saya menilai ajang ini tak jauh berbeda dengan kejuaraan antarkampung alias tarkam.
Jelang akhir tahun, Liga 3 zona provinsi di beberapa daerah telah selesai dijalankan. Banten, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Papua, misalnya, telah mendapatkan juara masing-masing.
Adhyaksa Farmel FC menjadi juara Liga 3 Banten pada Oktober lalu. Gelar ini mereka dapat usai mengandaskan perlawanan tim bernama besar Persikota Tangerang di partai final.
Sementara di NTB, PS Mataram keluar sebagai juara tahun 2023 setelah menang adu penalti melawan Lebah FC Sumbawa, November lalu. Sekalipun kalah, Lebah FC tetap mendapat tiket ke putaran nasional.
Di Zona Papua, Waanal Brothers FC asal Mimika berhasil meraih titel kampiun setalah mengumpulkan poin tertinggi (23) dari 9 kali bertanding.
Di Jawa Tengah, Liga 3 baru saja menuntaskan Babak 12. Sedangkan Liga 3 Zona Jawa Timur baru saja menuntaskan pekan terakhir Putaran Pertama.
Adapun di Zona Jawa Barat, regulator Liga 3 telah memutar Seri 1 sejak 3 Desember lalu. Di seri ini, sebanyak 24 tim akan berebut kuota tiket putaran nasional.
Ngomong-ngomong, pernahkah bertanya bagaimana nasib tim-tim yang sudah tersingkir dari liga-liga 3 yang sedang berlangsung? Apalagi yang sudah tersingkir sejak fase-fase awal?
Jawaban dari pertanyaan inilah yang membuat saya punya penilaian jika Liga 3 zona regional tak ubahnya tarkam. Tak sesuai dengan nama resminya yang memakai kata 'liga'.
Beda Liga dengan Turnamen
Bukan tanpa alasan saya menilai Liga 3 serupa tarkam. Pasalnya, format kompetisinya memang lebih mirip turnamen ketimbang sebuah liga yang proper.
Ketika menjabat sebagai Direktur Kompetisi PSSI, komentator kondang Tommy Welly pernah menjelaskan perbedaan mendasar antara liga dan turnamen. Hal ini ia kemukakan dalam sebuah rilis pers resmi di laman PSSI pada 21 Oktober 2015 (sumber).
Menurut pria yang akrab dipanggil Bung Towel ini, dua di antara faktor pembeda turnamen dengan liga adalah durasi kompetisi dan jumlah pertandingan yang dilakoni tim peserta. Di mana turnamen memainkan lebih sedikit pertandingan dalam jangka waktu pendek.
Sementara liga, masih menurut Bung Towel, digelar secara teratur sepanjang musim. Idealnya antara 8-10 bulan, dengan seluruh tim peserta saling bertemu dalam format kandang-tandang dan memainkan idealnya lebih dari 30 partai dalam semusim.
Berdasarkan dua poin ini, Liga 3 Zona Regional tidak bisa disebut sebagai sebuah liga. Karena selain durasinya hanya 1-3 bulan, jumlah pertandingan yang dilakoni tim peserta juga sangat sedikit.
Ambil contoh Liga 3 Banten 2023 yang baru lalu. Adhyaksa Farmel FC yang keluar sebagai juara hanya memainkan total 6 pertandingan!
Kompetisi pun hanya berjalan selama sebulan, persisnya bahkan kurang dari 30 hari. Dimulai pada 8 Oktober, laga puncak yang mempertemukan Farmel FC vs Persikota dihelat pada 31 Oktober.
Di Jawa Tengah yang jumlah pesertanya sedikit lebih banyak, yakni 39 tim tahun lalu, Persip Pekalongan yang keluar sebagai juara hanya memainkan 9 pertandingan. Rinciannya, 4 di Putaran Pertama, 2 di Putaran Kedua, lalu 3 dari perempat final hingga partai final.
Bayangkan, juara sebuah liga hanya bermain sebanyak 6-9 pertandingan dalam semusim. Terdengar agak aneh, terutama jika kita memakai standar kompetisi Eropa.
Itu tim yang mencapai partai final, lo. Bagaimana dengan yang sudah tersingkir di putaran pertama? Mereka hanya bermain sebanyak 3-4 kali. Dalam setahun!
Format Kompetisi dan Peserta yang Tak Selalu Sama
Kondisi ini terjadi karena format kompetisi di kebanyakan Liga 3 Regional memang lebih cocok disebut sebagai turnamen. Di mana para peserta dibagi ke dalam grup-grup, sebelum kemudian juara dan runner-up setiap grup masuk ke fase knock-out yang memakai sistem gugur.
Skema begini lebih umum dipakai oleh turnamen alih-alih liga. Seperti Piala Dunia, Piala Asia, Piala AFF dan juga turnamen antardesa maupun antarkampung saat tujuhbelasan.
Sejauh ini hanya Liga 3 Papua, Maluku, dan Jambi (tahun-tahun sebelum 2023) Â yang memakai sistem kompetisi penuh. Di mana seluruh tim saling bertanding dan pemenangnya adalah yang mengoleksi poin tertinggi di klasemen akhir.
Inilah Liga 3 Regional yang benar-benar layak disebut sebagai liga secara sistem kompetisi. Namun tetap saja Liga 3 Papua, Maluku dan Jambi memiliki kekurangan sebagaimana kebanyakan Liga 3 Regional lainnya di Indonesia.
Apa itu? Peserta yang tak pernah sama di setiap musim, baik dari segi jumlah maupun tim-tim yang berkompetisi di dalamnya.
Di luar faktor promosi-degradasi ke/dari Liga 2, perubahan tersebut lebih disebabkan sistem kompetisi yang tidak berkelanjutan dari tahun ke tahun. Di kebanyakan Liga 3 Regional, setiap musim lebih mirip turnamen tahunan alih-alih liga yang terus berkesinambungan.
Misalnya Liga 3 Papua yang tahun ini diikuti 10 tim, lebih banyak dari tahun lalu yang hanya 7 tim. Ini terjadi bukan karena terjadi penambahan peserta, tetapi semata-mata disebabkan tim yang mendaftar lebih banyak.
Tiga tim yang tahun lalu berpartisipasi (Persintan Intan Jaya, PS Embun Supiori dan Persidafon Dafonsoro), memilih tidak ikut serta tahun ini. Namun sebagai ganti justru masuk enam kontestan anyar: Persido Dogiyai, Biak United, Persiker Keerom, Persiyali Yalimo, Persemi Mimika, dan Persiweja Kasoniweja.
Dengan demikian hanya empat tim yang dalam dua tahun terakhir konsisten meramaikan Liga 3 Papua. Keempat tim tersebut adalah Waanal Brothers FC, Persipani Paniai, Persinab Nabire dan Toli FC.
Di Liga 3 Jateng setali tiga uang. Tahun lalu diramaikan oleh 39 peserta, tetapi tahun ini hanya diikuti 23 tim. Hal sama juga terjadi di Liga 3 Jatim yang mengalami penyusutan peserta dari 58 menjadi 53 tim.
Berkurangnya jumlah kontestan ini bukan karena ada sistem promosi-degradasi, melainkan pendaftar tahun ini lebih sedikit dari tahun lalu. Macam-macam alasan yang tidak ikut, tetapi kebanyakan memakai dalih persoalan finansial.
Lihat, bukankah yang seperti ini biasa terjadi di turnamen tarkam? Di mana tim yang pada tujuhbelasan tahun lalu ikut, tahun ini boleh absen. Demikian sebaliknya.
Faktor Pemain dan Suporter
Satu hal lagi yang membuat Liga 3 serupa tarkam adalah faktor pemain dan suporter. Sikap dan perilaku mereka sering kali di luar nalar, jauh dari aksi-aksi yang menjunjung tinggi sportivitas.
Bentuk tindakannya bermacam-macam. Ada pemain yang saling hajar, ada juga pemain yang mencelakai perangkat pertandingan, serta yang umum terjadi adalah kericuhan antarsuporter.
Di Liga 3 Jawa Tengah, pada Putaran Pertama saja entah ada berapa banyak kerusuhan yang terjadi. Baik di dalam maupun di luar pertandingan. Terjadi di area sekitaran stadion, juga di tempat-tempat lain.
Selepas pertandingan Persekap Kabupaten Pekalongan vs PSIP Pemalang pada 9 November lalu, misalnya. Di dalam stadion adem ayem, tetapi kemudian pecah tawuran di jalanan antara suporter kedua tim.
Di Babak 12 Besar, terjadi aksi memalukan dari suporter Persiku Kudus terhadap tim PSIP. Malam menjelang pertandingan Persiku vs PSIP pada 6 November 2023, suporter tuan rumah menyulut petasan di hotel tempat rombongan dari Pemalang menginap. Pukul dua dini hari!
Di Liga 3 Jawa Timur, bus yang ditumpangi tim Perspa Pacitan ditimpuki batu saat melewati kawasan Kabupaten Ponorogo, Ahad (17/12/2023) malam lalu. Kaca bus pecah dan sejumlah pemain mengalami luka-luka akibat aksi tidak terpuji ini.
Saat itu rombongan Perspa dalam perjalanan kembali ke Pacitan usai menuntaskan seluruh laga di Grup K yang berlangsung di Magetan. Mereka memastikan lolos ke putaran selanjutnya setelah menahan imbang... Persepon Ponorogo.
Laga Perspa vs Persepon memang penentu siapa di antara kedua tim yang berhak terus melaju dan siapa yang tersingkir. Hasil imbang 1-1 membuat Perspa lolos ke Babak 28 Besar, sedangkan Persepon tersingkir. Lalu terjadilah pelemparan batu tadi.
Terbaru, rombongan suporter Persip Pekalongan dicegat dan diserang sekelompok suporter Persibat Batang ketika melintasi kawasan Pasar Batang, Senin (18/12/2023). Kericuhan pun pecah.
Tahu apa yang lucu dari kejadian di atas? Persibat bahkan tidak ikut berpartisipasi di Liga 3 Jateng tahun ini!
Di level pemain, kejadian yang paling disorot adalah aksi Gatot Wahyudi dalam pertandingan Persip Pekalongan vs PSIP Pemalang di Stadion Hoegeng, 13 Desember lalu. Striker PSIP ini tertangkap kamera Batik TV menunjukkan gesture hendak memukul wasit, tetapi ditahan oleh salah seorang rekannya.
Namun agaknya Gatot Wahyudi belum puas. Selepas pertandingan tampak ia mengejar-ngejar asisten wasit hingga ke area bench. Lagi-lagi aksinya dihalang-halangi oleh sejumlah pemain dan ofisial.
Kendati begitu, Komisi Disiplin merasa tindakan Gatot Wahyudi sudah melampaui batas. Eks penggawa tim Indonesia U-16 ini dijatuhi hukuman larangan bermain selama setahun penuh!
Well, saya tahu Liga 3 itu liga amatir. Namun mengingat Liga 3 berada di bawah naungan bahkan diselenggarakan oleh PSSI melalui Asosiasi Provinsi, seharusnya kompetisi ini bisa jauh lebih baik dari ini.
Secara pribadi saya memberi acungan jempol pada Asprov PSSI Jawa Tengah yang telah bertindak tegas dan tanpa kompromi terhadap segala bentuk tindakan tidak suportif. Kedewasaan para pemain dan para suporterlah yang masih sangat kurang.
Jika tak ingin Liga 3 dinilai serupa tarkam, butuh banyak perubahan di sana-sini. Diawali dari mengubah sikap dan tindak-tanduk para pemain dan suporter tiap-tiap tim kontestan.
Kemudian dari segi kompetisi, menurut saya ada baiknya jika formatnya pun diubah. Menjadi sistem kompetisi penuh sebagaimana laiknya liga-liga di dunia. Saya akan membahas soal ini dalam tulisan berikutnya.
Akhir kata, ini sekadar uneg-uneg saya. Ruang diskusi saya buka lebar untuk siapapun yang ingin menambah maupun menyanggah ulasan ini.
Salam satu bola!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H