Oh, kalau suporter menyanyikan chant yang mengatai wasit "asu", misalnya, hukumannya denda sekian puluh juta plus skorsing apa. Oh, kalau suporter melempari pemain dengan botol berisi air kencing, hukumannya ini dan ini. Dan seterusnya.
Diatur pula mana yang digolongkan sebagai tindakan pribadi dan mana yang termasuk aksi berkelompok. Jangan sampai yang rusuh hanya segelintir, tapi hukumannya untuk seisi stadion.
Lagi-lagi saya musti menyebut skorsing bagi PSIS sebagai contoh. Di mana yang rusuh sebetulnya hanya suporter di tribun utara-- tanpa disebut nama kelompoknya pun kita tahu siapa, tetapi yang tidak boleh menonton semua orang Semarang.
Wajar jika kemudian PSIS mengajukan banding. Ndilalah, Komisi Banding PSSI mengabulkan, sehingga skorsing diringankan menjadi wajib menutup tribun utara saja (sumber).
Dalam pemerintahan, kestabilan hukum berpengaruh sangat besar terhadap pengembangan sumber daya manusia. Hal ini pernah disampaikan oleh Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan HAM di Hotel Pullman, Jakarta, Maret tahun lalu (sumber).
Saya percaya hal ini juga berlaku di dunia sepak bola. Stabilitas hukum dan tegasnya para penegak aturan dapat membuat liga kita jadi lebih terarah dan pada gilirannya meningkatkan kualitas.
Faktor ini penting dilakukan mengingat sepak bola kita masih kekurangan SDM bermutu dalam segala aspek. Dari pemain, pelatih, manajemen klub, perangkat pertandingan, hingga penyelenggara.
Masih dilakukannya naturalisasi pemain keturunan, kurangnya jumlah pelatih lokal, lalu baru-baru ini perekrutan wasit Jepang untuk Liga 1, merupakan konfirmasi atas keadaan tersebut.
Maka, pada hemat saya, adanya sebuah produk hukum yang mengatur tindakan suporter adalah hal mendesak demi kestabilan serta kepastian penegakan hukum di dunia sepakbola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H