Sesuai namanya, Football Spectator Act 1989 adalah sebuah UU yang mengatur jelas dan tegas sanksi bagi suporter sepak bola yang melakukan tindakan-tindakan merugikan. Hukum ini berlaku di Inggris dan Wales.
Angka 1989 yang tersemat dalam nama produk hukum ini diambil dari tanggal pemberlakuannya, yakni 16 November 1989. Tepat tujuh bulan dari Tragedi Hillsborough yang menewaskan 97 fans Liverpool FC.
Segala bentuk tindakan tak terpuji dicantumkan dalam UU ini. Mulai dari mengatai pemain lawan, sesama penonton maupun perangkat pertandingan; menyanyikan chant rasis, melempar benda-benda ke dalam lapangan, menyalakan flare, dll.
Bentuk hukuman yang dapat dijatuhkan bagi pelaku biasanya larangan masuk stadion selama 1-10 tahun. Namun jika yang dilakukan merupakan tindakan kriminal, pelaku dapat dipenjara juga.
Nah, produk hukum seperti inilah yang belum dimiliki Indonesia. Karena itu tak jarang hukuman yang dijatuhkan Komdis PSSI bisa berbeda-beda, sekalipun jenis pelanggarannya sama.
Lalu karena banyak terjadi konflik kepentingan antara pemilik/pengelola klub dengan PSSI, tidak sedikit keputusan Komdis yang justru menimbulkan perdebatan. Contohnya, hukuman bagi Arema FC menyusul terjadinya Tragedi Kanjuruhan.
Kala itu Arema dijatuhi denda Rp 250 juta dan larangan memainkan laga kandang di Stadion Kanjuruhan hingga Liga 1 2022-23 usai. Sebuah hukuman yang oleh sejumlah pihak dirasa kurang berat, mengingat ada 135 korban jiwa dan 695 lainnya luka-luka dalam peristiwa tersebut.
Mari kita bandingkan dengan hukuman bagi PSIS Semarang belum lama ini. Gara-gara kelompok suporter garis kerasnya bentrok dengan pendukung PSS, Laskar Mahesa Jenar dijatuhi hukuman bertanding tanpa penonton sampai akhir musim.Â
Coba lihat, skala kejadiannya berbeda sangat jauh, tetapi ternyata hukuman yang dijatuhkan Komdis pada Arema dan PSIS beda-beda tipis saja. Intinya sama-sama tidak boleh disaksikan suporter, hanya teknis pelaksanaannya yang berbeda. Satunya tak boleh main di kandang, satunya tak boleh ada penonton.
Hukuman terhadap Arema FC terkesan tidak menganggap Tragedi Kanjuruhan sebagai sebuah peristiwa luar biasa. Seolah hanya dilihat sebagai kerusuhan biasa, sebagaimana yang terjadi pada laga PSIS vs PSS di Stadion Jatidiri.Â
Di sinilah perlunya sebuah aturan hukum baku yang terstandar. Sehingga kita semua bahkan sudah tahu hukuman apa yang bakal menjerat jika melakukan tindakan tertentu. Juga mana yang masuk kategori tindakan ringan dan mana yang berat.