ADA dua hal menarik yang saling berkaitan terjadi baru-baru ini. Pertama, hukuman dari Komisi Disiplin PSSI terhadap beberapa suporter Persib Bandung; kedua, kesuksesan PSIS Semarang dalam banding skorsing.
Komdis PSSI menjatuhkan sanksi pada tiga orang usai bersidang pada 5 Desember lalu. Ketiganya sama-sama fans Persib dan dijatuhkan hukuman identik, larangan memasuki stadion di seluruh Indonesia selama 5 tahun.
Skorsing itu diberikan menyusul insiden pada pertandingan Dewa United vs Persib di Stadion Indomilk Arena, 25 November lalu. Beberapa orang dikabarkan mengalami luka-luka akibat peristiwa ini.
Dari hasil penelusuran Komdis PSSI, diketahui jika ternyata ada suporter Persib yang datang ke Indomilk Arena. Padahal PSSI telah menerapkan aturan, tidak boleh ada suporter tim tamu dalam pertandingan Liga 1 musim ini.
Setelah bersidang, Komdis PSSI lantas menjatuhkan hukuman pada tiga nama suporter Persib. Sebagai klub, Persib juga dijatuhi denda karena dianggap turut bertanggung jawab atas kehadiran suporter mereka di kandang lawan.
Hukuman ini lantas ramai dibicarakan di media sosial, wa bil khusus Twitter atawa X. Sejumlah akun mempertanyakan model hukuman individual seperti ini, bahkan beberapa lagi bersikap sinis.
Respons yang wajar sebetulnya, sebab selama ini PSSI hanya memberi skorsing pada klub jika suporternya berulah. Contoh terbaru ya, hukuman terhadap PSIS Semarang setelah kelompok pendukungnya terlihat bentrok dengan pendukung PSS Sleman, awal Desember ini.
Dengan kata lain, skorsing terhadap individu suporter seperti ini merupakan hal baru di lingkup Liga Indonesia. Maka, wajar jika banyak yang masih mempertanyakan model hukuman begini.
Bukan Hal Baru di Eropa
Harus diakui Indonesia masih kalah jauh dari Eropa untuk urusan tata kelola sepak bola. Termasuk pada urusan menangani ulah nakal segelintir suporter.
Di Eropa, pemberlakuan hukuman individual begini sudah menjadi hal lumrah. Jadi jika satu atau beberapa suporter berbuat rusuh, ya segelintir itu saja yang dikenai hukuman.
Satu contoh agak baru adalah larangan memasuki stadion yang dikeluarkan bagi tiga suporter Norwich City pada Maret 2023. Penyebabnya, mereka bertiga diketahui menyalakan bahkan ada yang sampai melemparkan pyrotechnics ke dalam lapangan (sumber).
Ketiganya langsung ditangkap polisi dan dikeluarkan dari dalam stadion. Selanjutnya, mereka dilarang menonton seluruh pertandingan Norwich City, baik kandang maupun tandang.
September 2022, fans Leeds United bernama Gary Hawkins dijatuhi hukuman berlapis usai memaki pemain West Ham United, Michail Antonio. Pria paruh baya itu mengeluarkan cacian setelah Antonio membobol gawang Leeds (sumber).
Setelah menjalani sidang, Hawkins dijatuhi hukuman penjara selama delapan pekan, ditambah denda 775 poundsterling, plus larangan masuk stadion selama 12 bulan. Hukuman terakhir berlaku baik bagi pertandingan Leeds United maupun timnas Inggris.
Di Turki, ada Ali Demirkaya yang pada tahun 2018 dijatuhi larangan masuk stadion selama setahun. Fans Denlizlispor ini sempat membuat heboh dengan menyewa crane di dekat stadion, demi bisa menyaksikan langsung pertandingan tim idolanya (sumber).
Untuk kasus pitch invader, peraturannya lebih jelas dan tegas lagi. Klub-klub Premier League telah bersepakat untuk memberlakukan larangan memasuki stadion bagi penonton yang memasuki lapangan saat pertandingan berlangsung. Tambahan lagi, penerobos tersebut bakal dihadapkan ke polisi.
Hukuman kolektif baru diberikan jika perbuatan dilakukan secara bersama-sama pula. Artinya, yang melakukan adalah kebanyakan dari kelompok suporter tersebut, sehingga aparat memilih melakukan gebyah uyah atas nama pencegahan.
Misalnya, larangan bagi suporter Legia Warsawa mendatangi 5 laga tandang klub tersebut di pentas Eropa. Ini menyusul aksi rusuh yang dilakukan fans Legia jelang menghadapi Aston Villa di fase grup UEFA Conference League, November lalu (sumber).
Larangan sama diberikan pada suporter Sevilla. Mereka tidak diperbolehkan datang ke Prancis ketika Sevilla tandang ke markas RC Lens di fase grup Liga Champions, Rabu (13/12/2023) malam waktu setempat (sumber).
Tindakan tersebut ditempuh UEFA menyusul bentrok yang melibatkan suporter kedua tim dalam pertemuan sebelumnya di Stadion Ramon Sanchez Pizjuan, 21 September lalu.
Butuh Aturan Khusus
Di Inggris, regulator liga bisa menindak tegas suporter nakal karena punya landasan hukum. Di sana ada sebuah Undang-Undang bernama Football Spectator Act 1989.
Sesuai namanya, Football Spectator Act 1989 adalah sebuah UU yang mengatur jelas dan tegas sanksi bagi suporter sepak bola yang melakukan tindakan-tindakan merugikan. Hukum ini berlaku di Inggris dan Wales.
Angka 1989 yang tersemat dalam nama produk hukum ini diambil dari tanggal pemberlakuannya, yakni 16 November 1989. Tepat tujuh bulan dari Tragedi Hillsborough yang menewaskan 97 fans Liverpool FC.
Segala bentuk tindakan tak terpuji dicantumkan dalam UU ini. Mulai dari mengatai pemain lawan, sesama penonton maupun perangkat pertandingan; menyanyikan chant rasis, melempar benda-benda ke dalam lapangan, menyalakan flare, dll.
Bentuk hukuman yang dapat dijatuhkan bagi pelaku biasanya larangan masuk stadion selama 1-10 tahun. Namun jika yang dilakukan merupakan tindakan kriminal, pelaku dapat dipenjara juga.
Nah, produk hukum seperti inilah yang belum dimiliki Indonesia. Karena itu tak jarang hukuman yang dijatuhkan Komdis PSSI bisa berbeda-beda, sekalipun jenis pelanggarannya sama.
Lalu karena banyak terjadi konflik kepentingan antara pemilik/pengelola klub dengan PSSI, tidak sedikit keputusan Komdis yang justru menimbulkan perdebatan. Contohnya, hukuman bagi Arema FC menyusul terjadinya Tragedi Kanjuruhan.
Kala itu Arema dijatuhi denda Rp 250 juta dan larangan memainkan laga kandang di Stadion Kanjuruhan hingga Liga 1 2022-23 usai. Sebuah hukuman yang oleh sejumlah pihak dirasa kurang berat, mengingat ada 135 korban jiwa dan 695 lainnya luka-luka dalam peristiwa tersebut.
Mari kita bandingkan dengan hukuman bagi PSIS Semarang belum lama ini. Gara-gara kelompok suporter garis kerasnya bentrok dengan pendukung PSS, Laskar Mahesa Jenar dijatuhi hukuman bertanding tanpa penonton sampai akhir musim.Â
Coba lihat, skala kejadiannya berbeda sangat jauh, tetapi ternyata hukuman yang dijatuhkan Komdis pada Arema dan PSIS beda-beda tipis saja. Intinya sama-sama tidak boleh disaksikan suporter, hanya teknis pelaksanaannya yang berbeda. Satunya tak boleh main di kandang, satunya tak boleh ada penonton.
Hukuman terhadap Arema FC terkesan tidak menganggap Tragedi Kanjuruhan sebagai sebuah peristiwa luar biasa. Seolah hanya dilihat sebagai kerusuhan biasa, sebagaimana yang terjadi pada laga PSIS vs PSS di Stadion Jatidiri.Â
Di sinilah perlunya sebuah aturan hukum baku yang terstandar. Sehingga kita semua bahkan sudah tahu hukuman apa yang bakal menjerat jika melakukan tindakan tertentu. Juga mana yang masuk kategori tindakan ringan dan mana yang berat.
Oh, kalau suporter menyanyikan chant yang mengatai wasit "asu", misalnya, hukumannya denda sekian puluh juta plus skorsing apa. Oh, kalau suporter melempari pemain dengan botol berisi air kencing, hukumannya ini dan ini. Dan seterusnya.
Diatur pula mana yang digolongkan sebagai tindakan pribadi dan mana yang termasuk aksi berkelompok. Jangan sampai yang rusuh hanya segelintir, tapi hukumannya untuk seisi stadion.
Lagi-lagi saya musti menyebut skorsing bagi PSIS sebagai contoh. Di mana yang rusuh sebetulnya hanya suporter di tribun utara-- tanpa disebut nama kelompoknya pun kita tahu siapa, tetapi yang tidak boleh menonton semua orang Semarang.
Wajar jika kemudian PSIS mengajukan banding. Ndilalah, Komisi Banding PSSI mengabulkan, sehingga skorsing diringankan menjadi wajib menutup tribun utara saja (sumber).
Dalam pemerintahan, kestabilan hukum berpengaruh sangat besar terhadap pengembangan sumber daya manusia. Hal ini pernah disampaikan oleh Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan HAM di Hotel Pullman, Jakarta, Maret tahun lalu (sumber).
Saya percaya hal ini juga berlaku di dunia sepak bola. Stabilitas hukum dan tegasnya para penegak aturan dapat membuat liga kita jadi lebih terarah dan pada gilirannya meningkatkan kualitas.
Faktor ini penting dilakukan mengingat sepak bola kita masih kekurangan SDM bermutu dalam segala aspek. Dari pemain, pelatih, manajemen klub, perangkat pertandingan, hingga penyelenggara.
Masih dilakukannya naturalisasi pemain keturunan, kurangnya jumlah pelatih lokal, lalu baru-baru ini perekrutan wasit Jepang untuk Liga 1, merupakan konfirmasi atas keadaan tersebut.
Maka, pada hemat saya, adanya sebuah produk hukum yang mengatur tindakan suporter adalah hal mendesak demi kestabilan serta kepastian penegakan hukum di dunia sepakbola.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI