Lalu, apa hubungannya praktik vanity publishing dengan krisis ISBN?
Sangat berhubungan sekali. Malah menurut saya inilah pangkal terjadinya pembengkakan permohonan ISBN dalam tahun-tahun belakangan.
Perpusnas selaku agensi ISBN di Indonesia hanya mempersyaratkan sebuah penerbit harus berbadan hukum untuk bisa membuat akun di laman Perpusnas. Akun yang bakal digunakan untuk mengajukan permohonan ISBN.
Tidak ada kontrol sama sekali mengenai jumlah cetak buku. Terpenting penerbit yang sudah mendapatkan ISBN mengirimkan beberapa eksemplar hasil terbitannya sebagai bukti pemakaian nomor tersebut, sekaligus masuk Katalog Dalam Terbitan.
Sementara itu, praktik vanity publishing jarang betul yang melakukan cetak buku secara massal. Jangan kata sampai seribu-dua eksemplar, di atas 50 pun rasa-rasanya tidak.
Seperti saya ceritakan di atas, tidak sedikit penerbit model begini yang membuat paket penerbitan dengan hanya 5-10 eksemplar hasil cetak. Â Ini belum dikurangi untuk bukti terbit ke Perpusnas.
Lalu proyek-proyek menulis bareng tadi, itu juga paling banyak hanya mencetak dua-tiga kali jumlah penulis yang ikut berpartisipasi. Kalau pesertanya 25 orang, hasil terbitannya paling banyak 50-75 eksemplar.
Bayangkan ada berapa banyak vanity publisher yang melakukan praktik ini. Ada berapa banyak pula penulis yang begitu berhasrat punya karya berupa buku, tak peduli hanya antologi terbitan penerbit antah-berantah.
Ini belum termasuk para dosen yang mengejar kredit poin untuk naik pangkat. Yang penting punya karya cetak berupa buku dan ada ISBN-nya, bertambahlah poin. Tak peduli bukunya hanya dicetak 50 eksemplar bahkan kurang.
Tugas Kita Bersama
Langkah Perpusnas untuk membatasi pemberian ISBN sudah tepat. Namun ini ternyata masih ada celah yang bisa ditembus.
Kenalan lain saya yang juga punya usaha penerbitan indie pernah memanfaatkan celah ini. Kejadiannya belum lama, kisaran beberapa bulan lalu.