Padahal, ya belum tentu juga, to? Saya yakin di antara Anda semua pasti pernah membaca buku ber-ISBN yang kualitas isinya mengecewakan.
Lagipula sejak awal konsep ISBN diterapkan, sama sekali tak ada kaitannya dengan mutu sebuah buku. Sistem penomoran ini murni untuk identifikasi buku yang berkaitan dengan manajemen stok dan jalur distribusi.
Jadi, menganggap ISBN sebagai jaminan mutu sebuah buku jelas sebuah kekeliruan besar. Sangat disayangkan pemikiran salah kaprah begini justru banyak menyebar di kalangan mereka-mereka yang mendaku diri sebagai penulis.
Indikator Penerbit Bonafide?
Salah kaprah kedua, penerbit yang bisa menerbitkan buku ber-ISBN dianggap bonafide. Sehingga sebaliknya, penerbit yang tak bisa memberi ISBN adalah abal-abal.
Fenomena lanjutan dari pemikiran ini, bermunculanlah kemudian penerbit skala rumahan yang berani menjanjikan buku terbitannya bakal ber-ISBN. Sekalipun cuma cetak lima eksemplar, di mana tiga di antaranya musti dikirimkan ke Perpusnas sebagai bukti terbit.
Saya kenal seorang blogger-cum-novelis yang punya usaha begini. Saya kasih sedikit clue, salah satu novel karya orang ini pernah difilmkan. Silakan tebak siapa orangnya.
Dulu, paket termurah di penerbit milik blogger sekaligus novelis ini adalah cetak 5 eksemplar. Di mana dari lima itu penulis cuma dapat dua eksemplar, sebab yang tiga lagi untuk laporan bukti terbit.
Ya, penerbit punya dia bisa memberikan ISBN di setiap buku terbitannya. Mau cetak berapa eksemplar pun, asal paket penerbitan yang dibayar kliennya tercantum poin ada ISBN, maka buku bakal terbit dengan ISBN.
Apakah penerbit punya orang ini bonafide? Sama sekali tidak.
Owner-nya bahkan dikenal luas suka curhat di grup WA mengenai kondisi keuangan rumah tangganya yang Senin-Kamis. Menandakan jika hasil dari usaha penerbitan miliknya tersebut masih belum bisa memenuhi kebutuhan.