Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Salah Kaprah Memahami Buku Ber-ISBN

4 Desember 2023   07:07 Diperbarui: 4 Desember 2023   19:31 2536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi International Standard Book Number (ISBN). Sumber: kompas.com

SEORANG teman memasang status WhatsApp berisi ajakan menulis bareng beberapa waktu lalu. Melihat itu, saya langsung membatin, "Ini nih, yang membuat Indonesia krisis ISBN."

Ajakan menulis bareng seperti itu seingat saya sudah marak sejak kisaran 5-6 tahun lalu. Bahkan mungkin lebih lama lagi, hanya saja saya baru mengamati dalam rentang itu.

Polanya, penyelenggara mengumpulkan sejumlah penulis yang bersedia menulis (biasanya) cerpen dengan tema yang telah ditentukan. Umumnya kisaran 20-25 penulis untuk satu proyek.

Setelah terkumpul, para penulis ini disatukan dalam grup WA atau Telegram untuk memudahkan koordinasi. Lalu mereka diberi arahan dan diminta mengirimkan karya sesuai tenggat.

Tulisan hasil karya penulis inilah yang lantas dibukukan. Jadinya buku antologi, kumpulan cerpen bertema tertentu.

Sebagai iming-iming untuk menggaet penulis, biasanya dalam banner promosi ajakan menulis bareng seperti ini dicantumkan satu mantra: buku terbit ber-ISBN. Dan, percayalah, mantra itu sangat ampuh.

Berangkat dari fenomena inilah saya merancang judul tulisan ini. Karena memang terjadi salah kaprah dalam memahami buku ber-ISBN, bahkan di kalangan mereka-mereka yang mengaku sebagai pegiat literasi.

ISBN adalah Jaminan Mutu?

Salah kaprah paling umum mengenai buku ber-ISBN adalah buku tersebut sudah pasti bermutu. ISBN dianggap sebagai stempel yang mengonfirmasi kualitas sebuah buku.

Pemikiran ini dulu sempat membuat banyak penulis tidak tertarik dengan konsep self-publishing alias penerbitan indie. Pasalnya, kebanyakan buku yang diterbitkan secara mandiri tidak ber-ISBN.

Karena salah kaprah, orang enak saja beranggapan jika buku yang diterbitkan secara mandiri itu kualitasnya rendah semata-mata karena tidak ber-ISBN. Sedangkan yang ber-ISBN secara otomatis dianggap bermutu bagus.

Padahal, ya belum tentu juga, to? Saya yakin di antara Anda semua pasti pernah membaca buku ber-ISBN yang kualitas isinya mengecewakan.

Lagipula sejak awal konsep ISBN diterapkan, sama sekali tak ada kaitannya dengan mutu sebuah buku. Sistem penomoran ini murni untuk identifikasi buku yang berkaitan dengan manajemen stok dan jalur distribusi.

Jadi, menganggap ISBN sebagai jaminan mutu sebuah buku jelas sebuah kekeliruan besar. Sangat disayangkan pemikiran salah kaprah begini justru banyak menyebar di kalangan mereka-mereka yang mendaku diri sebagai penulis.

FOTO: gemainsani.co.id
FOTO: gemainsani.co.id

Indikator Penerbit Bonafide?

Salah kaprah kedua, penerbit yang bisa menerbitkan buku ber-ISBN dianggap bonafide. Sehingga sebaliknya, penerbit yang tak bisa memberi ISBN adalah abal-abal.

Fenomena lanjutan dari pemikiran ini, bermunculanlah kemudian penerbit skala rumahan yang berani menjanjikan buku terbitannya bakal ber-ISBN. Sekalipun cuma cetak lima eksemplar, di mana tiga di antaranya musti dikirimkan ke Perpusnas sebagai bukti terbit.

Saya kenal seorang blogger-cum-novelis yang punya usaha begini. Saya kasih sedikit clue, salah satu novel karya orang ini pernah difilmkan. Silakan tebak siapa orangnya.

Dulu, paket termurah di penerbit milik blogger sekaligus novelis ini adalah cetak 5 eksemplar. Di mana dari lima itu penulis cuma dapat dua eksemplar, sebab yang tiga lagi untuk laporan bukti terbit.

Ya, penerbit punya dia bisa memberikan ISBN di setiap buku terbitannya. Mau cetak berapa eksemplar pun, asal paket penerbitan yang dibayar kliennya tercantum poin ada ISBN, maka buku bakal terbit dengan ISBN.

Apakah penerbit punya orang ini bonafide? Sama sekali tidak.

Owner-nya bahkan dikenal luas suka curhat di grup WA mengenai kondisi keuangan rumah tangganya yang Senin-Kamis. Menandakan jika hasil dari usaha penerbitan miliknya tersebut masih belum bisa memenuhi kebutuhan.

Namun itu kondisi dulu, ya. Saya belum update bagaimana keadaan dia sekarang setelah salah satu novelnya difilmkan.

Balik ke soal salah kaprah tadi, menilai sebuah penerbit bonafide atau tidak hanya dari bisa-tidaknya memberi ISBN, jelas sebuah kekeliruan besar. Lagi-lagi, sayangnya pemikiran begini berkembang luas di kalangan the so-called penulis.

Maraknya Vanity Publishing

Penerbit-penerbit skala rumahan seperti punya blogger-cum-novelis inilah yang biasanya mengadakan proyek-proyek menulis bersama sebagaimana saya ceritakan di paragraf pembuka. Jenis penerbit yang sebetulnya lebih pantas disebut sebagai vanity publisher.

Bagi yang belum paham, ringkasnya vanity publishing itu praktik penerbitan berbayar. Jika pada penerbit tradisional penulis tidak dikenakan biaya apapun sepanjang naskahnya lolos seleksi--malah diberi royalti, di vanity publisher terjadi sebaliknya.

Alih-alih mendapat royalti, penulis malah dikenakan biaya sejumlah tertentu oleh vanity publisher agar bukunya diterbitkan. Biaya-biaya yang tentu saja untuk mengongkosi kerja-kerja prapercetakan, seperti editing dan layouting, serta biaya cetak buku. 

Karena si penulis yang membiayai penerbitan buku, maka sebuah vanity publisher bakal menerbitkan buku apapun yang dikirimkan kepadanya. Literally apapun, tak peduli bagaimana isinya.

Jangan bayangkan penerbit begini mempersoalkan mutu naskah.  Yang biasanya ditanyakan pertama kali pada penulis justru, "Mau ambil paket penerbitan yang mana, Kak?"

Mereka memang punya editor, tetapi tugasnya memperbaiki typo dan kesalahan EYD semata. Bukan editor yang mampu mengubah sebuah naskah biasa menjadi lebih menarik.

Dari sini saja sudah tergambar bagaimana kualitas naskah yang masuk ke vanity publisher. Masih banyak yang bahkan keteteran mengenai dasar-dasar EYD!

Oke, tidak terlalu memahami EYD bukan berarti tidak mahir mengarang cerita menarik. Sebagai editor akuisisi sebuah platform novel daring saya harus mengakui itu.

Saya hanya ingin menandaskan jika kebanyakan vanity publisher itu lebih berorientasi pada uang. Soal kualitas naskah bukan urusan mereka, jadi mereka tidak peduli.

Pangkal Pembengkakan ISBN

Lalu, apa hubungannya praktik vanity publishing dengan krisis ISBN?

Sangat berhubungan sekali. Malah menurut saya inilah pangkal terjadinya pembengkakan permohonan ISBN dalam tahun-tahun belakangan.

Perpusnas selaku agensi ISBN di Indonesia hanya mempersyaratkan sebuah penerbit harus berbadan hukum untuk bisa membuat akun di laman Perpusnas. Akun yang bakal digunakan untuk mengajukan permohonan ISBN.

Tidak ada kontrol sama sekali mengenai jumlah cetak buku. Terpenting penerbit yang sudah mendapatkan ISBN mengirimkan beberapa eksemplar hasil terbitannya sebagai bukti pemakaian nomor tersebut, sekaligus masuk Katalog Dalam Terbitan.

Sementara itu, praktik vanity publishing jarang betul yang melakukan cetak buku secara massal. Jangan kata sampai seribu-dua eksemplar, di atas 50 pun rasa-rasanya tidak.

Seperti saya ceritakan di atas, tidak sedikit penerbit model begini yang membuat paket penerbitan dengan hanya 5-10 eksemplar hasil cetak.  Ini belum dikurangi untuk bukti terbit ke Perpusnas.

Lalu proyek-proyek menulis bareng tadi, itu juga paling banyak hanya mencetak dua-tiga kali jumlah penulis yang ikut berpartisipasi. Kalau pesertanya 25 orang, hasil terbitannya paling banyak 50-75 eksemplar.

Bayangkan ada berapa banyak vanity publisher yang melakukan praktik ini. Ada berapa banyak pula penulis yang begitu berhasrat punya karya berupa buku, tak peduli hanya antologi terbitan penerbit antah-berantah.

Ini belum termasuk para dosen yang mengejar kredit poin untuk naik pangkat. Yang penting punya karya cetak berupa buku dan ada ISBN-nya, bertambahlah poin. Tak peduli bukunya hanya dicetak 50 eksemplar bahkan kurang.

Tugas Kita Bersama

Langkah Perpusnas untuk membatasi pemberian ISBN sudah tepat. Namun ini ternyata masih ada celah yang bisa ditembus.

Kenalan lain saya yang juga punya usaha penerbitan indie pernah memanfaatkan celah ini. Kejadiannya belum lama, kisaran beberapa bulan lalu.

Ceritanya, kenalan saya ini dapat proyek penulisan biografi seorang tokoh di kabupaten tempatnya tinggal. Buku kenang-kenangan memasuki masa pensiun.

Buku ini tidak dicetak banyak, seingat saya lebih dari 50 tetapi tidak sampai 100 eksemplar. Juga tidak dijual bebas. Namun kenalan saya ini punya trik agar pengajuan ISBN-nya tembus dan memang tembus.

Untungnya, buku karya kenalan saya ini bisa dipastikan berkualitas bagus. Saya tahu betul portofolio dia, lalu dia juga sudah belasan tahun berkecimpung sebagai editor.

Dengan menceritakan ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa ada celah yang dapat diakali dalam pembatasan ISBN. Celah yang musti segera ditambal oleh pihak-pihak berkepentingan.

Kita semua dapat berpartisipasi dalam memulihkan krisis ISBN yang melanda Indonesia. Salah satunya dengan menyebarkan paham yang benar mengenai ISBN. Mari kita bantu kikis salah paham dan juga salah kaprah mengenai ISBN.

Dengan begini, ISBN bakal kembali pada fungsi sesungguhnya. Tidak lagi disalah-artikan sekaligus disalah-gunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak sesuai dengan awal mula sistem ini diciptakan.

Mau ber-ISBN atau tidak, buku tetaplah buku. Yang menentukan kualitas buku tersebut hanyalah isinya, bukan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun