Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Momentum Hentikan Polarisasi STY Vs Indra Sjafri

2 Oktober 2023   11:13 Diperbarui: 3 Oktober 2023   12:22 1089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: ANTARA/Hafidz Mubarak A. via Kompas.com

HASIL buruk Indonesia di Asian Games Hangzhou disambut riuh rendah oleh netizen. Perdebatan mengenai siapa yang lebih hebat antara Shin Tae-yong dan Indra Sjafri kembali mengemuka.

Coba lihat video highlight pertandingan Indonesia melawan Uzbekistan di YouTube. Scroll ke bawah untuk melihat kolom komentar, maka kita bakal menemui lontaran-lontaran mengenai perbandingan kedua sosok tersebut.

Istilah yang paling banyak diulang-ulang netizen untuk menyindir Coach Indra adalah 'lokal pret'. Ini plesetan dari frasa local pride yang sempat viral setahun lalu.

Sekadar memutar memori, ungkapan local pride menjadi tenar setelah diucapkan oleh Markus Horison dan Gilang Ramadhan. Keduanya adalah staf kepelatihan tim Indonesia U-16 di ajang Piala AFF U-16 2022.

Seruan tersebut lantas menjadi ramai di medsos karena diteriakkan Markus dan Gilang pada saat pengalungan medali untuk Indonesia. Tim asuhan Bima Sakti memang menjadi juara kala itu.

Momentum itulah yang membuat netizen beranggapan ungkapan local pride adalah sindiran bagi Shin Tae-yong. Maklum saja, Coach Shin memang belum pernah mempersembahkan trofi selama melatih timnas.

Padahal sejak meneken kontrak dengan PSSI pada Desember 2019 lalu, sederet pemain keturunan yang merumput di Eropa dinaturalisasi atas permintaan Coach Shin. Ia juga kerap memberi kesempatan pada pemain naturalisasi lama, seperti Stefano Lilipaly, dalam timnya.

Hasilnya? STY gagal juara di dua edisi Piala AFF bersama timnas senior, hanya meraih medali perunggu di SEA Games 2021 bersama Indonesia U-23, lalu mentok di fase grup Piala AFF U-19 2022.

Kegagalan masih akrab dengan Coach Shin sepanjang 2023 ini. Di Piala Asia U-20, Garuda Muda pulang cepat setelah hanya menduduki peringkat ketiga Grup A. Terbaru, Indonesia U-23 kalah dari Vietnam di partai final Piala AFF kelompok umur tersebut.

Catatan STY tersebut lantas dibandingkan begitu saja dengan prestasi pelatih lokal. Bima Sakti meraih trofi Piala AFF U-16 2022, gelar sama yang pernah diberikan Fakhri Husaini pada 2018.

Sedangkan Indra Sjafri lebih berkilau lagi. Prestasi terbaru pria kelahiran Batang Kapas, Sumatera Barat, ini adalah meraih medali emas SEA Games 2023.

Jauh sebelumnya, Coach IS juga pernah mempersembahkan gelar juara Piala AFF U-23 di tahun 2019. Ketika itu namanya masih AFF U-22 Championship. Jangan lupakan pula trofi pertama Indra Sjafri, yakni Piala AFF U-19 di tahun 2013.

Polarisasi Dua Kubu

Sejak lontaran local pride itu terjadi, polarisasi di kalangan penyokong timnas terlihat jelas di media sosial.

Kubu pertama pro-naturalisasi pemain keturunan dengan STY sebagai ikonnya. Sedangkan kubu kedua anti-naturalisasi dan lebih suka memaksimalkan pemain lokal, dengan Indra Sjafri sebagai ikon.

Tak hanya kalangan suporter, para pengamat pun tampak terbelah pendapatnya. Justin Laksana disebut-sebut sebagai pendukung kuat STY dengan deretan pemain naturalisasinya, lalu Tommy Welly dan Akmal Marhali di kubu lainnya.

Dalam tubuh komite eksekutif PSSI pun rupanya terjadi perbedaan pendapat mengenai program naturalisasi pemain. Ini seperti dikatakan Hasan Abdulgani dalam obrolan di kanal Lensa Olahraga yang videonya dapat disaksikan di bawah.


Di Asian Games yang baru lalu, keputusan Indra Sjafri yang sama sekali tidak memainkan George Brown menegaskan anggapan terhadap dirinya yang seakan pantang memakai pemain berdarah campuran, apalagi hasil naturalisasi. Buktinya hanya Brown seorang anggota skuat Asian Games 2022 yang tak pernah bermain selama di Hangzhou.

Eh, ndilalah penampilan Indonesia hancur-hancuran. Bahkan kemenangan 2-0 atas Kyrgyzstan di partai pertama fase grup sekalipun, performa Garuda Muda tidaklah bagus.

Dua gol yang tercipta dalam kemenangan itu tidak lahir dari skema serangan yang rapi dan kompak. Melainkan aksi individu Ramai Rumakiek dan kemudian kecerdikan Hugo Samir memanfaatkan kesalahan lawan.

Akibatnya, ketika kemudian menghadapi Taiwan yang bermain rapat, Indonesia kesulitan membuat peluang. Hal sama terulang pada pertandingan melawan Korea Utara dan Uzbekistan.

Jadilah netizen merujak Coach Indra dan plesetan lokal pret kembali bergema di media sosial.

Perdebatan yang Tak Perlu

Masing-masing tentu punya alasan di balik sikap yang diambil. Yang antinaturalisasi, misalnya, berpendapat bahwa Indonesia tak kekurangan stok pemain. Kenapa harus impor?

Pendapat tersebut memang ada benarnya. Ada ratusan klub sepak bola di negara ini, baik yang profesional maupun amatir. Total jumlah pemainnya kisaran belasan ribu. Masa iya dengan stok pemain sebegitu banyak, mencari 24 orang untuk timnas saja kesulitan? Sampai-sampai harus berburu ke luar negeri segala?

Kubu pro naturalisasi melihat persoalan dari sudut pandang lain. Ini bukan sekadar soal jumlah atau kuantitas, melainkan kualitas si pemain. Kalau cuma untuk mencari 24 orang sebagai anggota skuat timnas, tentu mudah-mudah saja. Toh, kita sudah melakukannya sejak dahulu kala, bahkan pada era gonjang-ganjing tak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Masalahnya, mohon maaf, apa yang bisa kita raih dengan skuat lokal itu? Seberapa jauh Tim Garuda bisa terbang?

Di lain pihak, FIFA tidak melarang naturalisasi pemain di timnas. Aturan terbaru yang dikeluarkan FIFA malah melonggarkan praktik ini.

Negara dengan tradisi sepak bola kental seperti Spanyol saja tidak pantang menaturalisasi pemain, kok. Italia juga memakai pemain keturunan ketika menjuarai Piala Dunia 2006.

Jadi, menurut saya pro-kontra naturalisasi pemain ini adalah perdebatan yang tidak perlu. Akan lebih bermanfaat jika kita membahas persoalan ini dari sudut lain yang merupakan esensinya. Apa itu? Kualitas pembinaan sepak bola di Indonesia dan kaitannya dengan prestasi timnas.

Dua Kutub untuk Disatukan

Timnas adalah kumpulan pesepak bola terbaik di sebuah negara. Para pemain tersebut dihasilkan oleh liga domestik.

Ketika seorang pelatih dengan portofolio Piala Dunia menilai pemain-pemain yang dilihatnya di liga tidak cukup untuk membangun sebuah timnas tangguh, sama artinya ada yang salah dengan liga domestik kita.

Pembahasan terkait kualitas liga ini bisa memakan jumlah kata lebih panjang. Ringkasnya saja, ada yang kurang tepat dengan sistem pembinaan sepak bola nasional selama ini.

Karena kebutuhan akan pemain berkualitas menurut standarnya tidak ia peroleh di liga domestik, naturalisasi pemain keturunan jadi alternatif yang ditempuh Shin Tae-yong. Terlebih ia diberi tanggung jawab level dunia kala meneken kontrak, yakni menangani tim untuk Piala Dunia U-20.

Selain itu, PSSI juga ingin Indonesia kembali tampil di Piala Asia. Kali terakhir berpartisipasi pada 2007, timnas mendapat tiket putaran final dari jalur tuan rumah.

Pada perkembangannya kemudian bahkan ada kasak-kusuk mengenai kemungkinan Indonesia menembus Piala Dunia 2026. Ini dipicu oleh perubahan format peserta, sehingga AFC mendapat alokasi lebih banyak dari sebelumnya.

Dari sini dapat kita lihat jika ada dua kutub yang saling berseberangan: kualitas pemain timnas yang belum bisa berbicara banyak di level lebih tinggi versus tuntutan prestasi.

Indonesia masih bisa berbicara banyak di level AFF, baik senior maupun kategori kelompok umur. Namun di level Asia masih tertatih-tatih, kalau tidak mau disebut masuk kasta bawah.

Buktinya tersaji dalam partisipasi Piala Asia dan juga Kualifikasi Piala Dunia. Dalam kedua event tersebut Tim Garuda tak ubahnya kontestan penggembira saja.

Di Piala Asia, misalnya. Selain sudah lama absen, catatan partisipasi putaran final selama ini selalu mentok di fase grup. Kita pasti ingin dong melihat Indonesia mencapai perempatfinal seperti dilakukan Vietnam pada Piala Asia 2007 dan 2019.

Di Piala Dunia setali tiga uang. Indonesia era modern selalu mentok di Kualifikasi Putaran Kedua. 

Bandingkan dengan Vietnam yang bisa melaju sampai ke Putaran Ketiga pada Kualifikasi Piala Dunia 2022. Bersaing dengan raksasa-raksasa Asia langganan Piala Dunia seperti Jepang, Arab Saudi dan Australia.

Dua kutub yang saling bertolak belakang itulah yang musti bisa disatukan oleh STY. Lebih tepatnya lagi, kita berikan tuntutan pada STY untuk menyatukannya.

Berjalan Beriringan

Mengingat masa kontraknya tidaklah panjang, sedangkan bebannya berat, tidak heran jika Coach Shin lantas mengambil langkah pragmatis. Tak mendapat pemain sesuai standarnya di liga domestik, ia berburu ke luar negeri.

Jadi, jangan salahkan STY jika kemudian meminta sejumlah pemain naturalisasi pada PSSI. Sebagai pelatih, ia perlu memastikan tim yang dibentuknya bisa bersaing di level lebih tinggi.

Lagipula, bukankah sudah sejak 2010 PSSI menempuh cara ini? Malah dulu dilakukan dengan sangat serampangan sekali, terkesan ditunggangi kepentingan klub untuk menyiasati kuota pemain asing di liga.

Pada era STY, proses naturalisasi pemain dilakukan dengan lebih cermat. Si pemain haruslah punya darah Indonesia, usianya masih muda, juga yang terpenting sesuai dengan kebutuhan tim.

Pada akhirnya, STY dengan deretan pemain naturalisasinya punya tujuan sama dengan para pelatih lokal: memberi prestasi bagi Indonesia. Mereka memang belum sampai pada tujuan itu, tetapi arahnya sudah terlihat benar.

Maka, terus-terusan membanding-bandingkan Shin Tae-yong dengan Indra Sjafri adalah tindakan sia-sia. Kedua-duanya sama-sama pelatih Indonesia, sama-sama ingin mengharumkan nama negara.

Sebagai suporter, yang seharusnya kita lakukan adalah mendukung keduanya mencapai target-target yang telah dicanangkan PSSI. Bukan malah mengadu mereka sehingga jadi kegaduhan di media sosial.

Ketika mereka mencapai keberhasilan, entah berupa raihan gelar juara atau lolos ke turnamen bergengsi, ikut bergembiralah. Ketika mereka gagal, tetap dukung dan semangati agar segera bangkit lagi.

Kegagalan di Asian Games 2022 yang baru lalu hendaklah menjadi momentum. Sudahlah, hentikan segala omong kosong mengenai Shin Tae-yong vs Indra Sjafri.

Namanya permainan, menang dan kalah bisa menimpa kita kapan saja. Lebih baik fokus mendukung mereka baik saat menang maupun kalah, tanpa perlu membanding-bandingkan mana yang lebih hebat di antara keduanya.

Dalam konteks ini kutipan legendaris Bill Shankly saya rasa sangat pas disampaikan. Eks manajer Liverpool FC tersebut pernah berkata:

If you can't support us when we lose or draw, don't support us when we win.

Jadi, jika kalian tidak bisa mendukung Coach Shin maupun Coach Indra saat mereka mengalami kegagalan, jangan ikut bersorak ketika keduanya merengkuh kejayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun