Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Persiter Ternate Riwayatmu Kini

7 September 2023   16:08 Diperbarui: 7 September 2023   16:19 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: Istimewa via cerminmalut.com

BEGITU keluar dari ruang pengambilan bagasi Bandara Sultan Babullah, Ternate, seorang lelaki jangkung menyambut saya. Senyumnya lebar, sembari memandang lekat dari balik kacamata hitam.

Saya kontan balas tersenyum, lebih lebar lagi. Menepati janjinya via WhatsApp, pria bernama lengkap Moch. Chamaludin Alting itu betul-betul datang menjemput kedatangan saya.

Padahal dari rumahnya ke bandara terbentang jarak cukup jauh. Kira-kira separuh dari total garis pantai Pulau Ternate, sebab bandara di sebelah utara dan rumahnya di sisi selatan.

Usai bersalaman dan berbasa-basi singkat di dekat tiang pelataran bandara, Ko Udin--demikian panggilan akrab pengawal pribadi Sultan Tidore sekarang, H. Husain Syah, tersebut--meminta saya naik ke atas boncengan sepeda motornya.

"Kita cari makan dulu," kata Ko Udin, sembari melirik ke belakang dari balik bahu.

Saya hanya mengiyakan singkat. Belum terlalu lapar sebetulnya, tetapi siapa bisa menolak tawaran nasi kuning Ternate? Jangan bilang pernah ke Ternate kalau belum makan nasi kuningnya, demikian kata beberapa situs wisata.

Sepeda motor melaju santai membelah jalanan Kota Ternate yang sudah ramai menjelang siang itu, pertengahan Agustus 2017. Umbul-umbul aneka warna berkibaran di mana-mana, mendampingi berbagai ornamen bernuansa merah-putih.

Setelah singgah sebentar di kawasan Gamalama untuk mencari ATM BCA, perjalanan berlanjut ke daerah yang kondang disebut sebagai Kompleks Sekolah Cina. Konon, di sana dulu memang ada bangunan sekolah khusus etnis Tionghoa.

Sekian banyak rumah makan nasi kuning ada di Ternate, tetapi Ko Udin memilih yang di Sekolah Cina itu. Entah alasannya apa, saya tidak bertanya. Ikut sajalah pokoknya.

Melintasi Gelora Kie Raha

Menu makan hari itu sungguh berat. Sepiring nasi kuning dengan lauk mie goreng, ditambah sepotong ikan laut ukuran besar dan sebutir telur rebus utuh.


Habis makan, rasanya pengin rebahan saja saking penuhnya perut. Namun karena saya musti lanjut menyeberang ke Tidore hari itu juga, plus Ko Udin minta saya singgah dulu sebentar di rumahnya, perjalanan harus diteruskan.

Saya tak paham jalanan Ternate. Yang saya ingat, Ko Udin bilang rumahnya tidak terlalu jauh dari Benteng Kalamata. Artinya, masih satu arah dengan Pelabuhan Bastiong.

Karena beberapa ruas jalan di pusat kota ditutup untuk karnaval tujuhbelasan, kami terpaksa mencari rute memutar. Siapa sangka jika kemudian sepeda motor melintasi sebuah bangunan yang sangat familiar bagi seorang penggemar sepakbola.

Ya, yang saya lihat kala itu adalah stadion. Lebih tepatnya pintu masuk penonton, meski entah sisi mana saya tidak tahu. Satu-satunya petunjuk yang saya ingat, sebelum melintasi bagian ini terlihat menara telekomunikasi bercat merah pada sisi lain jalan.

Stadion tersebut tampak kusam dan sepi. Gerbang yang saya lihat pun tertutup rapat. Pada bagian atas pintu masuk terdapat dua jenis tulisan, di mana salah satunya langsung terbaca karena berupa huruf kapital semua: KIE RAHA.

Membaca itu, barulah saya menyadari jika baru saja melintasi Stadion Gelora Kie Raha (GKR). Kandang tim kuda hitam dari wilayah timur Indonesia yang sudah lama menghilang, Persiter Ternate.

Saya langsung terpana untuk beberapa saat. Memori dari masa lalu seketika beterbangan memenuhi kepala.

Masa-masa di mana saya masih begitu rajin mengikuti liga domestik sepanjang 2002-2012. Baik menonton siaran langsung di ANTV maupun datang langsung ke stadion: Mandala Krida, Tridadi (kemudian Maguwoharjo), bahkan sampai ke Manahan.

Saking lamanya terpana, saya baru ingat jika seharusnya minta berhenti untuk berfoto-foto. Akan tetapi posisi sepeda motor kami sudah jauh dari stadion.

Ya sudahlah, lain kali saja.

FOTO: Google Maps/R. Pattiwael
FOTO: Google Maps/R. Pattiwael

Kandang Keramat

Pada era di mana kasta tertinggi liga Indonesia masih bernama Divisi Utama yang formatnya dibagi dua wilayah, Persiter Ternate adalah tim kejutan pada musim 2006. Kuda hitam seperti saya bilang tadi.

Klub berjuluk Laskar Kie Raha promosi ke Divisi Utama 2006 usai menjadi semifinalis Divisi Satu musim sebelumnya. Peringkat ketiga, lebih tepatnya lagi.

Meski berstatus tim promosi, Persiter langsung unjuk gigi. Dengan dimotori eks striker PSPS Pekanbaru, Rahmat Rivai alias Poci, mereka langsung dikenal sebagai tim tak terkalahkan di rumah sendiri.

Ya, Gelora Kie Raha adalah kandang keramat bagi kontestan Divisi Utama kala itu. Persiter tak sekalipun terkalahkan ketika tampil di stadion berkapasitas 15.000 penonton tersebut.

Salah satu momen paling dikenang oleh publik Ternate adalah pertandingan menjamu Persipura Jayapura pada 25 Januari 2006. Tajuknya lanjutan Divisi Utama wilayah timur.

Juara bertahan bersua tim promosi. Sang juara bertahan merupakan tim bertabur bintang, diperkuat striker gesit andalan timnas: Boaz Solossa.

Tidak banyak yang menyangka jika hasil akhirnya justru berpihak pada tim promosi. Secara mengejutkan Persiter menang telak 3-0!

Pada musim perdananya di Divisi Utama, Persiter menempati peringkat 9. Rahmat Rivai menjadi pencetak gol terbanyak kedua. Sebuah pencapaian yang terhitung bagus bagi tim yang baru pertama kali tampil di kasta tertinggi.

Rekor pertandingannya: menang 10 kali, imbang 5 kali dan kalah 11 kali. Bisa dipastikan 11 kekalahan tersebut didapat Persiter saat melakoni laga tandang.

Gagal Bertahan

Musim berikutnya, jumlah peserta Divisi Utama bertambah masing-masing empat tim di tiap wilayah. Dari sebelumnya 14, menjadi 18. Praktis, jumlah pertandingan ikut bertambah pula.

Penambahan jumlah kontestan ini berkaitan dengan rencana pembentukan Liga Super Indonesia sebagai pengganti Divisi Utama. Sembilan tim teratas tiap wilayah bakal digabungkan ke dalam LSI edisi perdana yang berformat kompetisi penuh. 

Meski harus berkeringat lebih banyak, capaian lebih baik diperoleh Persiter. Lagi-lagi Stadion GKR jadi tempat keramat yang menyumbangkan banyak poin.

Sama seperti musim sebelumnya, Persiter yang diarsiteki Jacksen F. Thiago hanya kalah 11 kali dari total 34 pertandingan. Mereka menduduki peringkat 6 wilayah timur, sehingga berhak menjadi kontestan LSI.

Sayangnya, Persiter terganjal dua hal ketika menjalani proses verifikasi. Pertama dari segi pendanaan, kedua dari segi infrastruktur.

LSI dirancang sebagai liga profesional sepenuhnya, sehingga para peserta diharapkan dapat mandiri sebagaimana mustinya sebuah klub profesional. PSSI melarang keras klub bergantung pada dana APBD.

Inilah ganjalan pertama bagi Persiter. Manajemen klub merasa tidak mungkin dapat bertahan tanpa sokongan dana APBD seperti sebelum-sebelumnya.

Lalu ganjalan kedua datang ketika Gelora Kie Raha diverifikasi. Stadion ini dinyatakan tidak layak dipergunakan karena tidak memenuhi standar sesuai ketentuan FIFA-AFC.

Pendek kata, Stadion GKR harus direnovasi sesuai standar jika ingin dipakai sebagai kandang Persiter di LSI. Jika tidak, Persiter dapat memilih stadion lain yang memenuhi syarat sebagai rumah sementara.

Rembug punya rembug, setelah mempertimbangkan banyak hal termasuk dinamika politik di Maluku Utara, pengurus Persiter pada akhirnya memutuskan tidak ikut kompetisi. Laskar Kie Raha memilih mundur.

Sejak saat itulah nama Persiter menghilang dari ingar-bingar persepakbolaan nasional. Laskar Kie Raha masih eksis sampai sekarang, tetapi berstatus tim amatir.

Karena itu, Persiter harus merangkak lagi dari dasar piramida liga Indonesia. Kini mereka berkompetisi Liga 3 Zona Maluku Utara.

Tahun 2019, Persiter menjadi juara Liga 3 di zonanya dan naik level ke putaran nasional. Sayang, sekalipun tidak pernah kalah dari ketiga lawan di Grup G Putaran Nasional, Laskar Kie Raha gagal melangkah ke 16 besar.

Jalan Persiter mencapai Liga 1 sangat panjang, juga bakal memakan waktu lama. Andaipun terus promosi setiap musim, setidaknya dibutuhkan 3-4 tahun sampai akhirnya mereka berada di kasta tertinggi.

Namun Persiter tak perlu berkecil hati. Saya yakin segenap warga Ternate akan dengan sabar mengiringi perjuangan segenap pemain, hingga klub kebanggaan mereka nan bersejarah ini kembali ke pentas nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun