Penambahan jumlah kontestan ini berkaitan dengan rencana pembentukan Liga Super Indonesia sebagai pengganti Divisi Utama. Sembilan tim teratas tiap wilayah bakal digabungkan ke dalam LSI edisi perdana yang berformat kompetisi penuh.Â
Meski harus berkeringat lebih banyak, capaian lebih baik diperoleh Persiter. Lagi-lagi Stadion GKR jadi tempat keramat yang menyumbangkan banyak poin.
Sama seperti musim sebelumnya, Persiter yang diarsiteki Jacksen F. Thiago hanya kalah 11 kali dari total 34 pertandingan. Mereka menduduki peringkat 6 wilayah timur, sehingga berhak menjadi kontestan LSI.
Sayangnya, Persiter terganjal dua hal ketika menjalani proses verifikasi. Pertama dari segi pendanaan, kedua dari segi infrastruktur.
LSI dirancang sebagai liga profesional sepenuhnya, sehingga para peserta diharapkan dapat mandiri sebagaimana mustinya sebuah klub profesional. PSSI melarang keras klub bergantung pada dana APBD.
Inilah ganjalan pertama bagi Persiter. Manajemen klub merasa tidak mungkin dapat bertahan tanpa sokongan dana APBD seperti sebelum-sebelumnya.
Lalu ganjalan kedua datang ketika Gelora Kie Raha diverifikasi. Stadion ini dinyatakan tidak layak dipergunakan karena tidak memenuhi standar sesuai ketentuan FIFA-AFC.
Pendek kata, Stadion GKR harus direnovasi sesuai standar jika ingin dipakai sebagai kandang Persiter di LSI. Jika tidak, Persiter dapat memilih stadion lain yang memenuhi syarat sebagai rumah sementara.
Rembug punya rembug, setelah mempertimbangkan banyak hal termasuk dinamika politik di Maluku Utara, pengurus Persiter pada akhirnya memutuskan tidak ikut kompetisi. Laskar Kie Raha memilih mundur.
Sejak saat itulah nama Persiter menghilang dari ingar-bingar persepakbolaan nasional. Laskar Kie Raha masih eksis sampai sekarang, tetapi berstatus tim amatir.
Karena itu, Persiter harus merangkak lagi dari dasar piramida liga Indonesia. Kini mereka berkompetisi Liga 3 Zona Maluku Utara.