Habis makan, rasanya pengin rebahan saja saking penuhnya perut. Namun karena saya musti lanjut menyeberang ke Tidore hari itu juga, plus Ko Udin minta saya singgah dulu sebentar di rumahnya, perjalanan harus diteruskan.
Saya tak paham jalanan Ternate. Yang saya ingat, Ko Udin bilang rumahnya tidak terlalu jauh dari Benteng Kalamata. Artinya, masih satu arah dengan Pelabuhan Bastiong.
Karena beberapa ruas jalan di pusat kota ditutup untuk karnaval tujuhbelasan, kami terpaksa mencari rute memutar. Siapa sangka jika kemudian sepeda motor melintasi sebuah bangunan yang sangat familiar bagi seorang penggemar sepakbola.
Ya, yang saya lihat kala itu adalah stadion. Lebih tepatnya pintu masuk penonton, meski entah sisi mana saya tidak tahu. Satu-satunya petunjuk yang saya ingat, sebelum melintasi bagian ini terlihat menara telekomunikasi bercat merah pada sisi lain jalan.
Stadion tersebut tampak kusam dan sepi. Gerbang yang saya lihat pun tertutup rapat. Pada bagian atas pintu masuk terdapat dua jenis tulisan, di mana salah satunya langsung terbaca karena berupa huruf kapital semua: KIE RAHA.
Membaca itu, barulah saya menyadari jika baru saja melintasi Stadion Gelora Kie Raha (GKR). Kandang tim kuda hitam dari wilayah timur Indonesia yang sudah lama menghilang, Persiter Ternate.
Saya langsung terpana untuk beberapa saat. Memori dari masa lalu seketika beterbangan memenuhi kepala.
Masa-masa di mana saya masih begitu rajin mengikuti liga domestik sepanjang 2002-2012. Baik menonton siaran langsung di ANTV maupun datang langsung ke stadion: Mandala Krida, Tridadi (kemudian Maguwoharjo), bahkan sampai ke Manahan.
Saking lamanya terpana, saya baru ingat jika seharusnya minta berhenti untuk berfoto-foto. Akan tetapi posisi sepeda motor kami sudah jauh dari stadion.
Ya sudahlah, lain kali saja.