Karena letak tanjung tepat berhadap-hadapan dengan Ternate, maka dipastikan tentara NICA yang bercokol di sana dapat melihat dengan jelas. Buktinya, tak lama berselang datang serombongan tentara ke Tidore. Dullah, dkk. ditangkap dan ditahan di Soasio.
Warga Mareku yang marah menggeruduk tangsi militer tempat Dullah, dkk. ditahan. Mereka minta para pemuda dibebaskan, tetapi tentara NICA menolak. Terjadi ketegangan yang pada akhirnya ditengahi oleh Sultan Zainal Abidin Syah.
Sultan juga meminta para pemuda menurunkan bendera merah putih yang dikibarkan Dullah, dkk. di Tanjung Mafutabe. Bukan bermaksud kontra dengan aksi mereka, tetapi Sultan berkata, "Sekarang belum waktunya. Sabar."
Di bawah arahan Sangaji Mareku, warga pun mematuhi titah Sultan Zainal Abidin Syah. Mereka bersabar. Sampai pada akhirnya Tidore resmi bergabung dengan Republik Indonesia dan kekuatan asing benar-benar hilang lenyap dari Bumi Pertiwi.
Terus Dirawat
Dalam tatanan tradisional Kesultanan Tidore, Mareku merupakan satu dari sekian kesangajian yang ada. Kesangajian sendiri sebuah wilayah yang dipimpin oleh seorang sangaji, di mana mereka berhak memimpin secara otonom dan memiliki pasukan sendiri.
Jika dibandingkan dengan Indonesia masa kini, kesangajian kira-kira setara dengan kabupaten atau malah provinsi. Maka para sangaji pasa masa itu tidak ubahnya bupati atau bahkan gubernur.
Mareku menjadi istimewa karena setidaknya dua hal. Pertama, inilah satu-satunya kesangajian yang berada di Pulau Tidore. Lain-lainnya di luar pulau, tersebar di Halmahera hingga Gebe. Kedua, Kesangajian Mareku tidak hanya dipimpin oleh seorang sangaji, tetapi dua orang yang disebut sebagai Sangaji Jiko Malofo.
Jabatan sangaji masih terus dipertahankan hingga sekarang. Pejabatnya ditunjuk langsung oleh Sultan Tidore yang berkuasa, pada masa ini adalah Sultan Husain Syah. Dalam lawatan ke sana pada Agustus 2017, saya sempat bertemu dan mewawancarai Sangaji Laho, salah satu dari pejabat Sangaji Jiko Malofo.
Dari beliau saya mengetahui betapa besarnya arti peristiwa 18 Agustus 1946 bagi warga Mareku. Tete Dullah, Amina Sabtu, juga para pemuda lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut, mereka hormati dan agung-agungkan.
Untuk tujuan itulah kemudian diputuskan bahwa upacara agustusan di Mareku digelar setiap 18 Agustus, bukan 17 Agustus. Ketika saya mengikuti upacara tersebut di tahun 2017, saya dibuat merinding melihat antuasiasme warga di sana. Benar-benar luar biasa semangat mereka dalam merawat sejarah.