Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Warga di Tidore Ini Upacara Bendera Setiap 18 Agustus, Bukan 17 Agustus

19 Agustus 2022   13:54 Diperbarui: 23 Agustus 2022   00:40 5451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Kelurahan Mareku di Kota Tidore, melakukan upacara bendera memperingati HUT ke-77 RI pada hari Kamis (18/8/2022) yang berlokasi di Tanjung Mafu Tabe. Foto: Tribun Ternate/Faisal Amin

JIKA daerah-daerah lain di Indonesia menggelar upacara bendera setiap 17 Agustus, maka satu kelurahan di Pulau Tidore ini berbeda. Selama bertahun-tahun warga di sana selalu mengadakan upacara di tanggal 18 Agustus. Mengapa?

Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno pada 17 Agustus 1945 di Jl. Pegangsaan Timur, Menteng, Jakarta. Tanggal inilah yang lantas diperingati setiap tahun dengan upacara bendera nan megah lagi penuh kekhusyukan.

Namun, bagi warga Kelurahan Mareku di Pulau Tidore, ada momen lain yang tidak kalah penting dalam sejarah mereka setelah proklamasi tersebut. Bahkan tak hanya sejarah Kelurahan Mareku ataupun Kesultanan Tidore, tetapi juga negara dan bangsa ini.

Peristiwa historis tersebut erat kaitannya dengan penyatuan wilayah timur Indonesia sehingga slogan "dari sabang sampai Merauke" dapat terwujud. Sebuah aksi heroik dari pemuda-pemudi Mareku untuk menunjukkan bahwa Tidore adalah bagian dari Indonesia.

Ya, momen bersejarah tersebut terjadi pada tanggal 18 Agustus. Karena itulah warga Kelurahan Mareku lantas mengabadikan keberanian para pendahulu mereka dengan cara menggelar upacara setiap 18 Agustus, bukan 17 Agustus.

Bagaimana ceritanya?

Pengibaran bendera merah putih di Tanjung Mafutabe, Pulau Tidore, pada Kamis (18/8/2022) lalu. FOTO: infopublik.id
Pengibaran bendera merah putih di Tanjung Mafutabe, Pulau Tidore, pada Kamis (18/8/2022) lalu. FOTO: infopublik.id

NICA Kembali

Sebagaimana kita pelajari dalam pelajaran sejarah di sekolah, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dibacakan di tengah suasana perang dunia. Pasukan Sekutu sedang menggempur balatentara Dai Nippon di Front Pasifik, yang termasuk wilayah Nusantara.

Ketika Soekarno-Hatta membacakan proklamasi, kabar gembira itu tak langsung sampai ke daerah-daerah lain di Hindia Belanda. Tempat-tempat terpencil di pelosok Jawa saja terlambat mendapatkan berita, apatah lagi pulau-pulau di luar Jawa.

Menyikapi hal ini, beberapa tokoh pergerakan nasional mengambil inisiatif untuk bergerak menyebar-luaskan informasi mengenai proklamasi kemerdekaan. Dua di antaranya adalah Arnold Mononutu dan Chasan Boesoirie yang aktif berkampanye di wilayah utara Kepulauan Maluku.

Ternate, Tidore, Halmahera, serta pulau-pulau di sekitarnya menjadi medan perjuangan Arnold Mononutu dan Chasan Boesoirie dalam menyebar-luaskan kabar kemerdekaan bangsa. Mereka berpidato mengobarkan semangat nasionalisme dari satu tempat ke tempat lain.

Sementara itu, pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang mengasingkan diri ke Australia saat Jepang menduduki Nusantara, kembali ke Jawa pada 1 Oktober 1945. Badan administrasi yang dipimpin acting Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook ini tentu saja berniat menguasai kembali Indonesia.

NICA hadir dengan membonceng pasukan Sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Kehadiran mereka membuat tensi meningkat. Beberapa insiden meletus karena disulut rasa tidak senang para pejuang terhadap kembalinya NICA.

Van Mook sendiri sebetulnya bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Pria kelahiran Semarang ini berencana menjamin kemerdekaan Indonesia, tetapi menyarankan pembentukan sebuah negara federasi yang condong pada Kerajaan Belanda.

Untuk mendukung rencana tersebut, Van Mook menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin daerah di luar Jawa. Sasaran utamanya adalah wilayah timur Indonesia, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, hingga Maluku.

Indonesia Timur sendiri secara de facto kembali menjadi milik Belanda. Ini terjadi setelah Southeast Asia Command (SEAC), badan bentukan Australia yang adalah bagian dari Sekutu, menyerahkan kembali wilayah tersebut pada Kerajaan Belanda usai Perang Dunia II.

Maka digelarlah sederet pertemuan di mana Van Mook mengumpulkan para pemimpin daerah Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Indonesia Timur. Konferensi Malino, lalu disusul konferensi lanjutan di Denpasar, juga pertemuan dengan wakil golongan minoritas di Pangkal Pinang, Pulau Bangka.

Terganjal Sultan Tidore

Misi Van Mook adalah membentuk negara-negara federal di luar Republik Indonesia bentukan Soekarno-Hatta dan kawan-kawan. Lalu kesemua negara di wilayah eks Hindia Belanda bakal disatukan dalam sebuah negara federasi, di mana RI juga jadi salah satu anggotanya.

Masih satu misi dengan rencana itu, NICA mendirikan Karesidenan Ternate pada Januari 1946. Wilayahnya mencakup Pulau Ternate, Pulau Hiri, dan beberapa pulau lain (sumber). Kelak karesidenan ini direncanakan menjadi sebuah negara pula.

Namun begitu bergerak ke Kesultanan Tidore, rencana Van Mook untuk membuat negara boneka terganjal. Ternate dikenal lebih condong pada Belanda, tetapi tidak demikian halnya dengan Tidore.

Adalah sikap politik Sultan Zainal Abidin Syah yang membuat repot Van Mook. Dalam wawancara dengan Nenek Salma dano Hasan, kemenakan Sultan, pada Agustus 2018 (video di bawah), saya diceritai bahwa Sultan Zainal Abidin Syah dengan tegas menolak tawaran Van Mook.


Artinya, Sultan Zainal Abidin Syah lebih condong untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Sebuah sikap yang membuat Belanda terancam kehilangan klaim sejarah atas Papua Barat. Pasalnya, sejak sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, wilayah Papua Barat berada dalam naungan Kesultanan Tidore.

Senada dengan junjungan mereka, pemuda-pemudi Tidore pun menunjukkan sikap sama. Diam-diam, sekelompok pemuda Mareku nan pemberani merancang satu aksi heroik. Mereka ingin mengirim pesan pada NICA bahwa Tidore adalah Indonesia.

Salah satu pemuda itu bernama Dullah. Warga Mareku hingga kini mengenang beliau sebagai Tete Dullah, di mana 'tete' berarti 'kakek'. Dullah lantas mendatangi Amina Sabtu, sepupunya yang seorang gadis berusia 18 tahun, dan meminta dijahitkan sebuah bendera merah putih.

Saya lagi-lagi beruntung pernah bertemu dan mewawancari mendiang Nenek Amina semasa beliau hidup untuk menggali peristiwa ini. Kepada saya, mendiang mengaku sebetulnya takut melakukan apa yang diminta Dullah. Namun Dullah berhasil meyakinkan Amina dan jadilah selembar bendera merah putih.

Dullah membawa bendera hasil jahitan tersebut kepada rekan-rekannya. Rencananya mereka hendak mengibarkan bendera tersebut di Dermaga Residen di Ternate. Sebuah pernyataan pada dunia bahwa Tidore adalah wilayah Indonesia.

Tugu peringatan pengibaran bendera merah putih oleh para pemuda Mareku pada 18 Agustus 1946. FOTO: Eko Nurhuda/bungeko.com
Tugu peringatan pengibaran bendera merah putih oleh para pemuda Mareku pada 18 Agustus 1946. FOTO: Eko Nurhuda/bungeko.com

Tanjung Mafutabe

Maka mereka pun menyeberang ke pulau sebelah. Namun niat tadi harus dibatalkan karena ternyata di sana banyak tentara NICA berjaga-jaga. Bukannya tidak berani, tetapi Dullah, dkk. lebih mementingkan agar misi mereka dapat terlaksana.

Dengan terpaksa Dullah, dkk. putar kora-kora mereka untuk berlayar kembali ke Tidore. Daripada tidak jadi, mereka lantas memilih satu tanjung di Kelurahan Mareku sebagai lokasi pengganti. Tanjung itu bernama Mafutabe.

Di sanalah pada 18 Agustus 1946, bendera merah putih hasil jahitan Amina Sabtu lantas dikibarkan. Misi Dullah, dkk. sukses. Merah putih berkibar di Tidore.

Beberapa orang yang saya temui di Tidore waktu itu dengan bangga menceritakan, inilah pertama kalinya bendera merah putih berkibar di Indonesia Timur. Di Pulau Tidore, tepatnya di Tanjung Mafutabe di Kelurahan Mareku, pada 18 Agustus 1946.

Karena letak tanjung tepat berhadap-hadapan dengan Ternate, maka dipastikan tentara NICA yang bercokol di sana dapat melihat dengan jelas. Buktinya, tak lama berselang datang serombongan tentara ke Tidore. Dullah, dkk. ditangkap dan ditahan di Soasio.

Warga Mareku yang marah menggeruduk tangsi militer tempat Dullah, dkk. ditahan. Mereka minta para pemuda dibebaskan, tetapi tentara NICA menolak. Terjadi ketegangan yang pada akhirnya ditengahi oleh Sultan Zainal Abidin Syah.

Sultan juga meminta para pemuda menurunkan bendera merah putih yang dikibarkan Dullah, dkk. di Tanjung Mafutabe. Bukan bermaksud kontra dengan aksi mereka, tetapi Sultan berkata, "Sekarang belum waktunya. Sabar."

Di bawah arahan Sangaji Mareku, warga pun mematuhi titah Sultan Zainal Abidin Syah. Mereka bersabar. Sampai pada akhirnya Tidore resmi bergabung dengan Republik Indonesia dan kekuatan asing benar-benar hilang lenyap dari Bumi Pertiwi.

Mendiang Amina Sabtu, satu-satunya pelaku peristiwa Tanjung Mafutabe yang tersisa saat saya datang ke Tidore pada Agustus 2017. FOTO: dok. pribadi
Mendiang Amina Sabtu, satu-satunya pelaku peristiwa Tanjung Mafutabe yang tersisa saat saya datang ke Tidore pada Agustus 2017. FOTO: dok. pribadi

Terus Dirawat

Dalam tatanan tradisional Kesultanan Tidore, Mareku merupakan satu dari sekian kesangajian yang ada. Kesangajian sendiri sebuah wilayah yang dipimpin oleh seorang sangaji, di mana mereka berhak memimpin secara otonom dan memiliki pasukan sendiri.

Jika dibandingkan dengan Indonesia masa kini, kesangajian kira-kira setara dengan kabupaten atau malah provinsi. Maka para sangaji pasa masa itu tidak ubahnya bupati atau bahkan gubernur.

Mareku menjadi istimewa karena setidaknya dua hal. Pertama, inilah satu-satunya kesangajian yang berada di Pulau Tidore. Lain-lainnya di luar pulau, tersebar di Halmahera hingga Gebe. Kedua, Kesangajian Mareku tidak hanya dipimpin oleh seorang sangaji, tetapi dua orang yang disebut sebagai Sangaji Jiko Malofo.

Jabatan sangaji masih terus dipertahankan hingga sekarang. Pejabatnya ditunjuk langsung oleh Sultan Tidore yang berkuasa, pada masa ini adalah Sultan Husain Syah. Dalam lawatan ke sana pada Agustus 2017, saya sempat bertemu dan mewawancarai Sangaji Laho, salah satu dari pejabat Sangaji Jiko Malofo.

Dari beliau saya mengetahui betapa besarnya arti peristiwa 18 Agustus 1946 bagi warga Mareku. Tete Dullah, Amina Sabtu, juga para pemuda lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut, mereka hormati dan agung-agungkan.

Untuk tujuan itulah kemudian diputuskan bahwa upacara agustusan di Mareku digelar setiap 18 Agustus, bukan 17 Agustus. Ketika saya mengikuti upacara tersebut di tahun 2017, saya dibuat merinding melihat antuasiasme warga di sana. Benar-benar luar biasa semangat mereka dalam merawat sejarah.


Setelah mendapat blow up besar-besaran dari media nasional pada tahun 2017 itu, Tanjung Mafutabe dibenahi habis-habisan. Jika dulu upacara dilaksanakan di badan jalan, kini sudah ada tempat khusus lagi lapang di sisi jalan.

Saat tempat tersebut mulai dibangun, salah seorang putera daerah Mareku mengabari saya via WhatsApp. Saya dikirimi foto-foto dan juga video. Amboi, seketika terbit rasa rindu pada mendiang Nenek Amina, juga pada suasana upacara 18 Agustus di sana.

Sayang, karena terpaan pandemi dan juga harga tiket pesawat yang terus-terusan naik, saya belum bisa mengikuti upacara bersejarah ini lagi.

Namun setidaknya saya merasa gembira ketika membaca berita terbaru mengenai Mareku. Kemarin, upacara tersebut turut dihadiri oleh Wakil ketua DPRD Tidore kepulauan, Ratna Namsa.

"Saya sampaikan kepada seluruh warga Kota Tidore Kepulauan, bahwa peristiwa pengibaran bendera merah putih pertama di Indonesia Timur. Ini adalah sejarah yang perlu dicatat dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia," kata Ratna Namsah selepas upacara pada Kamis (18/8/2022) lalu, sebagaimana saya kutip dari Tribun Ternate.

Lebih jauh, Ratna menjanjikan bakal membuatkan landasan legal bagi pelaksanaan upacara tersebut. "Kalaupun dibutuhkan legal drafting untuk penyelenggaraan kegiatan ini, maka lakukanlah, kita akan sama sama," tambah Ratna.

Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun