BELUM lama seorang teman sesama penulis di platform novel daring GoodNovel mengontak saya via WhatsApp. "Mas, kalau mau menerbitkan novel sendiri, bisa lewat aku, ya." Kira-kira begitu bunyi chat-nya.
Saya langsung tahu kalau yang si teman tengah menawarkan apa yang umumnya disebut sebagai "penerbitan indie".
Mulanya saya pikir teman ini menjalankan satu usaha penerbitan mandiri, self-publishing. Jasa penerbitan mandiri. Rupanya bukan, meski kalau dilihat sekilas tidak ada bedanya sama sekali.
Tertarik tidak tertarik, saya lantas merespon. Saya sekadar ingin meyakinkan dugaan bahwa ini memang bukanlah self-publishing, melainkan apa yang sebetulnya digolongkan sebagai vanity publishing. Keduanya agak mirip, tetapi bedanya sangat jauh.
Dugaan saya tidak salah. Teman saya ini mengirim sebuah banner promosi dengan nama satu "penerbit". Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja namanya sebagai Penerbit Angin Ribut.
Banner promosi tersebut berisi tata cara penerbitan melalui Penerbit Angin Ribut. Panjang naskah maksimal berapa puluh ribu kata, musti diketik dengan font apa, spasinya berapa, serta pengaturan identasi bagaimana. Lengkap sekali petunjuknya.
Satu yang kemudian membuat saya tersenyum simpul, pada bagian bawah banner tersebut ada keterangan: Kisaran harga kurang lebih Rp80.000. Lalu disebutkan pula besaran royalti bagi si penulis sebanyak sekian belas ribu rupiah per eksemplar.
Penerbit atau Percetakan?
Meski sebetulnya sudah bisa menebak, saya bertanya pada teman tadi itu maksudnya harga apa. Ternyata dugaan saya benar lagi, itu harga per eksemplar yang harus ditebus si penulis agar bukunya dapat "diterbitkan".
Tidak salah lagi, alih-alih self publishing, yang begini ini lebih cocok disebut sebagai vanity publishing. Istilah yang pertama kali saya tahu saat membaca salah satu buku Bambang Trim belasan tahun lalu.
Lantas, kalau vanity publishing kenapa memangnya? Tidak ada yang salah memang. Cuma kalau boleh memberi saran, menurut saya sebaiknya dihindari saja.
Mengapa?
Sebab praktik vanity publishing sejatinya bukanlah sebuah penerbitan. Ini lebih cocok disebut sebagai jasa percetakan. Ya, jasa percetakan buku. Karena itulah penulis yang ingin menerbitkan buku di Penerbit Angin Ribut tadi dimintai uang.
Mau menerbitkan berapa buku? Minimal order 10 eksemplar, ya. Karena per eksemplar harganya Rp80.000--include jasa layout bla bla bla, maka minimal transaksi Rp800.000. Belum termasuk ongkos kirim.
Lihat sendiri, bukankah yang seperti itu lebih mirip praktik jasa percetakan ketimbang penerbitan?
Eh, tunggu dulu, Mas! Kan, memang begitu umumnya kalau mau menerbitkan buku sendiri alias self publishing? Bukannya penulis memang harus keluar uang sendiri?
Benar, untuk menerbitkan buku sendiri memang penulis harus keluar modal, harus keluar uang yang nominalnya tergantung jumlah eksemplar buku dicetak. Sampai di sini pemahamannya sudah tepat.
Namun soal bagaimana proses dari naskah mentah menjadi buku cetak, ini yang sering kali membuat seseorang tergelincir. Dia pikir sedang melakoni self publishing, ternyata malah "terjebak" dalam praktik vanity publishing.
Sekali lagi saya ulangi, memang sekilas tidak ada bedanya antara self publishing dan vanity publishing. Maka, di sinilah pentingnya bagi para penulis untuk mengenali perbedaan kedua praktik tersebut.
Apa Bedanya?
Jadi, apa sih bedanya antara self publishing dan vanity publishing? Kuncinya ada di proses dari buku masih berupa naskah mentah, sampai kemudian terbit sebagai sebentuk buku cetak dan dipasarkan. Juga pada siapa yang memegang kendali penuh dalam seluruh rangkaian tersebut.
Dalam vanity publishing, Anda sebagai penulis hanya diminta menyerahkan naskah. Pada Penerbit Angin Ribut tadi, misalnya. Proses selanjutnya mereka yang mengambil alih sepenuhnya. Mulai dari perwajahan (lay out), pembuatan sampul (cover), pemilihan jenis kertas, hingga kualitas cetakannya seperti apa.
Dalam banyak kasus, penulis sama sekali tidak dilibatkan dalam rangkaian proses itu. Setelah penulis mengirim naskah, tidak ada lagi komunikasi dari Penerbit Angin Ribut mengenai pengerjaan buku. Lalu, voila! Tahu-tahu saja bukunya sudah dicetak, sudah terbit.
Yang menarik, kebanyakan penulis justru senang karena merasa tidak ada beban. Cukup serahkan naskah dalam bentuk berkas MS Word, beberapa waktu kemudian sudah dapat kiriman paket berisi sekian eksemplar buku.
Menurut saya ini salah kaprah. Ini bukan cara-cara self publishing. Kalau mau disebut self publishing yang sebenarnya, maka Anda-lah sebagai penulis yang menjadi penentu di setiap proses. Mulai dari proses editorial, sampai kemudian memasarkan bukunya.
Meski sebagian pekerjaan harus dialih-dayakan (outsource)--entah karena Anda tidak menguasai keahliannya atau tidak ada waktu untuk melakukannya sendiri, Anda tetap punya kontrol penuh atas segalanya dari hulu hingga ke hilir. Para freelancer yang Anda sewa hanya mengikuti kemauan Anda sebagai pemberi kerja.
Andalah yang mengatur bagaimana rupa perwajahan buku dari depan sampai belakang, termasuk menentukan jenis huruf yang dipakai. Anda juga yang memutuskan seperi apa cover-nya. Lalu kalau mau pakai ilustrasi, seperti apa dan di halaman mana saja meletakkannya.
Terakhir, Anda juga yang memilih bakal dicetak di percetakan mana buku-buku yang sudah siap terbit tadi. Anda yang menentukan jenis kertas untuk sampul, jenis kertas untuk isi buku, sampai menentukan jenis cetakannya.
Mana Lebih Menguntungkan?
Sepintas lalu, proses self publishing terlihat lebih merepotkan. Selain itu, ujung-ujungnya sama saja dengan vanity publishing: begitu buku cetak sampai di tangan penulis, urusan pemasaran dan penjualan berada sepenuhnya di tangan penulis.
Kalau penulisnya jago jualan, ya bakal laku banyak. Kalau tidak, ya alamat banyak yang tidak laku dan pada akhirnya menumpuk dimakan rayap.
Saya tidak akan membantah ini. Justu di titik inilah yang membuat penerbit pelaku praktik vanity publishing bermunculan. Mereka memanfaatkan betul banyaknya penulis yang ingin menghasilkan buku, tetapi tidak mau repot sendiri menempuh semua proses dari A sampai Z. Termasuk keawaman kebanyakan penulis terhadap proses penerbitan buku.
Padahal kalau mau sedikit bersusah-payah dan belajar, secara hitung-hitungan matematika bakal lebih menguntungkan menempuh cara self publishing betulan. Uang yang dibayarkan pada penerbit vanity publishing seperti Penerbit Angin Ribut tadi bisa dipakai untuk mencetak buku lebih banyak.
Sebagai gambaran, tahun 2018 saya pernah menjadi koordinator proyek self-publishing sebuah buku berjudul To Ado Re!; A Memorable Adventure to the Land of Exotic Beauty. Waktu itu saya memakai jasa penerbitan milik seorang rekan blogger untuk seluruh pengerjaan teknis, juga meminjam nama penerbit tersebut untuk mengambil ISBN.
Setelah di-layout oleh teman blogger tadi, jadinya adalah sebuah buku paperback setebal 260 halaman (total halaman prancis dan halaman isi), sampul full colour depan-belakang, serta ada puluhan foto hitam-putih di dalam. Kami memakai jasa percetakan POD milik Grup Gramedia dan mencetak sebanyak 250 eksemplar.
Coba tebak berapa biaya keseluruhannya?
Saya lupa nominal persisnya berapa, sudah saya ubek-ubek laptop tetapi catatannya belum ketemu. Namun seingat saya total biaya cetak plus biaya jasa layout dan pembuatan cover, totalnya Rp 9 juta. Jadi, jatuhnya di angka Rp38.000-Rp42.000 per eksemplar.
Bandingkan sendiri dengan tarif yang dibebankan Penerbit Angin Ribut tadi. Bedanya sangat jauh sekali, bukan? Lewat Penerbit Angin Ribut, Anda butuh duit Rp 20 juta untuk mendapatkan 250 eksemplar. Selisihnya Rp 11 juta!
Itu dari segi materiil. Dari segi pengalaman, saya jadi tahu apa saja biaya yang harus ditanggung oleh seorang self publisher. Jasa proofreading berapa, jasa editing berapa, jasa layout halaman berapa, jasa pembuatan cover berapa, jasa pembuatan ilustrasi berapa, serta jasa cetak per eksemplar berapa.
Salahkah Vanity Publishing?
Sebagai konklusi, penerbit seperti Penerbit Angin Ribut tadi tak ubahnya publishing service yang menawarkan jasa pengerjaan naskah mentah menjadi materi siap cetak. Sebetulnya kurang pas kalau disebut penerbit.
Mereka memadukan jasa tersebut dengan jasa percetakan, sehingga melahirkan harga Rp80.000 per eksemplar tadi. Dari jasa-jasa inilah sumber keuntungan sebuah vanity publisher berasal. Berbeda dengan penerbit tradisional yang keuntungannya berasal dari penjualan buku.
Kalau mereka tidak punya percetakan sendiri--dan biasanya memang tidak, mereka juga mengambil keuntungan dari selisih biaya cetak. Dapat harga dari percetakan berapa, mereka bebankan ke penulis berapa.
Maka, tidak heran kalau biaya cetak yang dibebankan ke penulis bisa mencapai dua kali lipat dari tarif percetakan jika penulis mengurus sendiri pencetakan bukunya. Contohnya ya, seperti pengalaman saya tadi.
Lantas, apakah menerbitkan buku melalui vanity publisher salah?
Tidak juga, sih. Namun Anda harus paham bahwa ini bukanlah self publishing dalam makna yang sebenarnya. Lagi pula, ilustrasi di atas menggambarkan bakal lebih menguntungkan jika Anda mau sedikit repot mengerjakan sendiri seluruh proses penerbitan buku Anda.
Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI