Mohon tunggu...
Bunga Puspitasari
Bunga Puspitasari Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Menulis itu perihal rasa dan cinta

nutritionist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Esensi Kehidupan

18 Maret 2020   10:21 Diperbarui: 18 Maret 2020   10:24 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Esensi Kehidupan

Rembulan tampak cemerlang dipadukan dengan bintang- bintang betebaran layaknya pasangan serasi.Bersinar terang menebarkan cahaya ke seluruh negeri. Sesekali suara jangkrik di semak-semak tak mau kalah ikut mengiringi indahnya malam . Nyamuk-nyamuk beradu untuk mendarat ke permukaan kulit sebagai pelepas dahaga. Heningnya malam membuat orang-orang meringkuk di atas kasur menikmati mimpi indahnya. Terlelap dan terjaga sepanjang tidur.

Namun, tidak bagi Munir. Ia bermunajat di sepertiga malam. Membawa keluh kesah. Air matannya membasahi sajadahnya yang sudah usang. Merengek seperti anak yang ingin meminta sesuatu pada orang tuanya. Dalam doanya, begitu khusyuk. Penuh harapan.

"Ya Allah, limpahkan rezeki yang barokah untuk keluargaku.Panjangkan dan berkahilah umurku. Berikanlah hamba kesempatan untuk membahagiakan keluarga hamba.Aamiin." Sambil menelangkupkan kedua tangan ke wajahnya.

                                                            ***

Matahari mulai menyongsong, berbanding lurus akan harapan yang baru bagi setiap insan dalam menapaki setiap jengkal kehidupan, mencapai hari yang lebih baik dari sebelumnya. Pun demikian dengan Munir, setiap harinya berharap hidupnya akan penuh keberkahan dan bisa merubah nasibnya menjadi lebih baik. 

Pekerjaan yang tidak menentu membuatnya harus lebih kerja keras lagi untuk mnafkahi keluarganya, mengingat ia kepala rumah tangga. Jika ramai, orang mencari tanah untuk dijual, Munir muncul beradu harga dengan pembeli. Bisa dibilang, ia mahir bernegosiasi hingga mencapai keputusan akhir. Jika pekerjaannya sebagai makelar tanah sedang sepi, ia mengambil job sebagai pembaca al-qur'an yang di panggil dari rumah ke rumah. 

Tak perlu membuka kitab Al-qur'an untuk dibaca dan disimak, baginya membaca al-qur'an tanpa melihat sudah menjadi kebiasaannya. Benar saja, ia seorang hafidz qur'an. Tak sedikit pula yang merendahkannya, bukan karena ia seorang hafidz qur'an, tetapi sebagai orang "Melarat" dan tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Bahkan, beberapa keluarganya pun berpikir demikian.Akan tetapi, tak sedikitpun perasaan minder melekat padanya, ucapan orang-orang mengenai dirinya, dijadikan cambukan untuk berevolusi baik untuk dia dan keluarganya.

"Umi, hari ini abi ada undangan ngaji di desa Sumber Agung, kemungkinan pulang agak siang. Bismillah, nanti jika ada pemasukan tambahan walaupun tidak banyak setidaknya bisa membantu untuk membayar ujian  Najwa di pondok, sisanya kita cari lagi." Pungkasnya, sambil mengambil tempe goreng yang diletakkan di piring untuk menemani 1 entong nasi, tak ketinggalan pelengkap andalan krupuk adalah menu wajib yang harus ada dalam setiap kali makan. 

"Nggih, abi."Pungkas istrinya. Tak banyak dialog pagi itu.Karena memang Anisa, istri Munir sedang sibuk menggoreng tempe di dapur dengan didoninasi tembok kuning kecoklatan berukuran tak terlalu luas, mungkin hanya 2x1 meter. Dipindahkannya, tempe goreng yang telah matang ke serok menggunakan sutil, menyilangkan dan mematikan kompor. Kemudian bergabung satu meja dengan suaminya, ikut sarapan.

Sehari-hari, tempe dan tahu menjadi primadona dalam menu makannya. Mereka punya prinsip, asal makan bersama dan pengganjal lapar apapun lauknya tidak masalah. Lagipula, keuangan juga seret. Jadi mereka harus menghemat. Belum lagi harus menghidupi ke empat anaknya. Si bungsu masih berumur 1,5 tahun. 

Anisa juga menyadari, ingin seperti ibu-ibu yang lain. Memberikan anaknya asupan gizi yang lengkap. Memperhatikan setiap tumbuh kembangnya. Dalam situasi yang demikian, ia hanya bisa menjadi ibu yang terbaik dengan memberikan yang terbaik versinya. Tentu, tidak seperti ibu di luar sana, melainkan dengan caranya sendiri. Dengan doa yang tulus dan penuh keikhlasan yang bisa ia lakukan untuk saat ini.

                                                            ***

Lantunan surah al-waqi'ah, terdengar merdu sekali. Bacaan tajwidnya nyaris sempurna. Ngewes.Lulusan pondok pesantren lulusan terbaik tidak membuat Munir terlena dan menyombongkan diri. Mengamalkan ilmu yang pernah ia tempuh dulu.Selepas surah an-nas, ia melanjutkan surah al-fatihah sebagai penutup kegiatan ngajinya.

"Shadaqallahul-'adzim'", Munir mengakhiri ngajinya dan meletakkan speaker di atas meja.

Menyeruput secangkir air putih yang telah disediakan untuk membasahi tenggorokannya.

"Assalamualaikum". Suara lelaki berkopyah putih dengan sarung kotak-kotak berwarna hijau menghampiri Munir dan berjabatan tangan.

"Wa'alaikumsalam, eh Mas Abdi. Senang sekali bisa bertemu disini". Ujar Munir dengan perasaan bahagia karena sudah beberapa hari ini, ia tidak bertemu dengan teman jamaah di masjid tak jauh dari rumahnya.

"Iya, Mas. Saya kebetulan lewat sini. Saat terdengar lantunan ayat suci Al-qur'an saya pernah kenal suaranya. Ternyata benar, itu suara Mas Munir." Sambil membetulkan kopyahnya yang miring ke arah kanan.

"Kemarin, ada kumpulan di Masjid Al- Akbar, Mas Munir kenapa tidak ikut?" tanya Abdi dengan penuh penasaran.

"Iya, kemarin saya berhalangan hadir. Cuaca tidak mendukung, dirumah hujan deras. Depan rumah banjir. Alhamdulillah begitu hujan berhenti mulai  surut, untunglah rumah dekat dengan sawah." Jawab Munir meyakinkan.

"Ini, mas." Abdi menyodorkan secarik kertas bertuliskan tinta hitam yang tidak begitu jelas untuk di baca jika di lihat sekilas.

Sejenak, tidak ada aktivitas yang bermakna. Munir fokus pada kertas yang diberikan oleh Abdi.

"Bagaimana Mas Munir? Mas berminat untuk mendaftar?" tanya Abdi dengan penuh harap, berharap jawaban Munir sejalan dengan pemikirannya.

" Bismillah." Senyuman tipis tertaut di wajah Munir, memberikan aura yang semakin positif.

 

"Alhamdulillah, kalau begitu besok saya daftarkan ke Ustad Rohman ya. Kebetulan beliau besok mengisi kajian di masjid sore hari." Jawab Abdi dengan antusias. Ia senang sekali karena Munir setuju untuk mengikuti Lomba Hafidz Qur'an tingkat Kabupaten. Abdi dan Munir tidak hanya sekedar satu jamaah saja, tetapi mereka sudah bersahabat sejak kecil. Seluk beluk dan peringai Munir, Abdi tau betul. Terlebih lagi kondisi keuangan Munir yang sulit seperti sekarang. Walaupun Munir sendiri tidak ingin meminta belas kasih dan tidak pernah mengeluh dalam menjalani hidupnya. Di sisi lain, Abdi tulus membantu sahabat kecilnya itu. Ia tau bahwa Munir memiliki potensi di bidangnya sebagai penghafal qur'an. Sangat disayangkan bila kesempatan emas itu harus dilewatkan begitu saja.

"Wah, tidak enak merepotkan Mas Abdi terus. Besok saya ikut kajian kok. Biar nanti sekalian daftar". Jawab Munir sambil membuka kopyah warna putihnya, menggaruk-garuk kepala padahal ia tidak sedang gatal, itu caranya menahan rasa sungkan.

            Matahari semakin meninggi, panasnya menyengat. Terasa terbakar di telapak tangan dan kaki. Bagi Munir sudah biasa terkena teriknya panas matahari,hingga telapak tangannya mengapal.Munir menyalakan motor butut kesayangannya. Kedua kaca spionnya hilang entah kemana. Pedalnya sudah ada yang robek, namun ada juga yang ditambal untuk menutupi robekan tersebut dengan lakban berwarna hitam. Menyalakan mesin motornya menggunakan kaki. Meletakkan pada bagian depan, kresek putih berisi berkatan yang dia dapat dari undangan ngaji.Melaju dengan kecepatan sedang, sementara sahabatnya, Abdi sudah terlebih dulu pulang karena jalan arah rumah mereka bersisihan karena Abdi sudah tidak tinggal di dekat rumah Munir lagi.

            Setibanya di rumah, Munir memberitahukan kabar gembira bahwa dia ingin mengikuti lomba Al-qur'an kepada istrinya.

            " Assala'mualaikum, Umi. Abi sudah datang." Sambil membuka pintu rumah. Tidak ada tetangga ataupun orang berlalu lalang. Mereka tinggal di sekeliling sawah, kalau pun ingin bermain ke tetangga harus berjalan kira-kira 200 meter dari jarak rumah mereka. Belakang rumah, terhampar pepohonan pinus dan semak belukar. Kadang di temukan ular di rumah mereka saat musim hujan seperti sekarang.

            "Wa'alaikumsalam Abi." Muncul sosok wanita berhijab keluar dari kamar menghampiri Munir. Ya, istrinya, Anisa. Mengenakan gamis abstrak yang di dominasi oleh warna hitam, tampak serasi dengan hijab yang ia kenaka. Hitam warnanya. Menjulur menutupi dada. Anisa mencium punggung tangan suaminya. Munir memberikan 1 kantong kresek berisi berkat yang ia dapat dari undangan ngaji.

            " Alhamdulillah, dapat berkat. Pasti Choir dan Syafa suka. Mereka masih belum pulang sekolah. Mungkin sebentar lagi." Ujar Anisa, sembari menatap jam diding yang terletak diruang tamu menunjukkan pukul setengah 12 siang. Choir dan Syafa adalah anak kedua dan ketiga, usianya selisih 5 tahun, duduk di bangku sekolah dasar yang tak jauh dari rumah. Mereka berdua anak yang mengerti dengan kondisi orang tuanya. Mungkin, mereka pernah mendambakan sesuatu hal, orang tuanya tidak mampu mewujudkannya, tak lantas mebuat mereka merengek memaksakan keadaan. Suka membantu pekerjaan orang tuanya. Tak kalah pentingnya, Anisa selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu rukun satu dengan yang lainnya.

            Munir merogoh kantong baju koko bewarna putih, lebih tepatnya agak kekuningan. Dikeluarkannya, amplop putih dan selembar kertas untuk diberikan kepada istrinya serta menyampaikan niatnya untuk mengikuti lomba Hafidz Qur'an yang diselenggarakan 2 hari lagi.

            " Umi, ini hasil ngaji tadi. Memang hasilnya tidak seberapa. Tapi cukup untuk makan kita selama 2 hari kedepan." Kata Munir dengan bernada memelas.

            Senyum tipis mengembang dari bibir Anisa. Namun, ia juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Tak tertahan, air matanya melintas di pipi.            "Terima kasih abi, umi bersyukur kita masih diberikan rezeki. Insyaa Allah jika kita bersyukur, ada rezeki yang Allah simpan untuk kita dan entah kapan datangnya." Seru Anisa dengan mengusap air mata di pipi yang masih basah.

            "Itu kertas apa bi?." Anisa penasaran dengan selembar kertas yang di pegang oleh suaminya. Munir maju mundur ingin cerita. Karena biaya pendaftarannya berbayar. Takut, gelisah. Karena hanya uang dari amplop yang dapat diandalkan untuk saat ini. Sedangkan, makelaran tanah masih sepi. Panggilan ngaji juga baru 3 hari lagi. Munir bingung mengutarakan isi hatinya. Pikirannya kacau. 

            "Abi, kenapa bengong?". Pungkas istrinya yang sedari tadi tak di gubris oleh Munir.

            " Aaaaabi... aa...bi". Munir terbata-bata, bingung apa yang harus ia katakan. Menarik napas panjang. Menghembuskannya perlahan. Suasana menegang.Hanya suara kipas angin tua yang memenuhi suara di ruang tamu. Munir sedang menata kata-kata yang akan ia katakan pada istrinya.

            "Bismillah....". Lirih Munir

            "Begini umi, tadi sewaktu abi ngaji, Mas Abdi nyamperin menyodorkan kertas pendaftaran lomba menghafal qur'an yang akan diselenggarakan 2 hari lagi. Jadi besok pendaftarannya terakhir. Niatnya, abi mau ikut, besok abi mau daftar sekalian ke kajiannya Ustad Rohman. Kendalanya, lomba tersebut harus membayar sebesar 50 ribu". Kata Munir. 

            " Nah, terus apa yang menjadi peghambat abi?umi mendukung 100%, dan berada di garis depan sebagai pendukung setia.Heheheh" Sambil mengepalkan kedua  tangan ke atas layaknya para pahlawan yang menang di medan peperangan.

            " Masalahnya adalah, uang yang di pakai untuk daftar tidak ada umi. Itu amlop isinya hanya 100ribu. Besok dan lusa kita makan apa. Umi juga tau, kalau kerjaan abi masih sepi." Ungkap Munir dengan perasaan hati gelisah yang tak bisa di sembunyikan dari ekspresi wajahnya dan bahasa tubuhnya mengisyaratkan demikian.

            " Abi jangan khawatir, ini kan demi keinginan yang baik. Lagi pula, jika ingin melakukan sesuatu hal, harus ada yang dikorbankan". Istrinya meyakinkan.

            " Soal makan, kita masih ada persediaan beras. Garam juga ada. Seperti biasa, makan pakai garam apa masalahnya abi?". Tanya Anisa sembari menatap suaminya penuh makna.

            " Abi bersyukur punya istri umi". Kata Munir,matanya berkaca-kaca.

            "Ah,abi ... pemuda di desa ini dulu juga bilang begitu, andaikan memiliki punya istri seperti umi pasti beruntung". Guyon Anisa, sengaja ia membuat situasi demikian. Supaya tidak semakin larut dalam kesedihan yang ia simpan entah mulai kapan, yang pasti sudah lama. Tapi ia berusaha membesarkan hatinya supaya tidak semakin larut memikirkan kehidupannya. Mereka tenggelam dalam gelak tawa, teringat saat pengantin baru 15 tahun yang lalu. Saling menebar senyum, tawa. Untuk sejenak, mereka seperti terhipnotis akan cinta suci yang mereka ciptakan. Antara Munir dan Anisa. Suara rengekan balita mengusik keromantisan mereka, si bungsu bangun dari tidurnya.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun