Anisa juga menyadari, ingin seperti ibu-ibu yang lain. Memberikan anaknya asupan gizi yang lengkap. Memperhatikan setiap tumbuh kembangnya. Dalam situasi yang demikian, ia hanya bisa menjadi ibu yang terbaik dengan memberikan yang terbaik versinya. Tentu, tidak seperti ibu di luar sana, melainkan dengan caranya sendiri. Dengan doa yang tulus dan penuh keikhlasan yang bisa ia lakukan untuk saat ini.
                              ***
Lantunan surah al-waqi'ah, terdengar merdu sekali. Bacaan tajwidnya nyaris sempurna. Ngewes.Lulusan pondok pesantren lulusan terbaik tidak membuat Munir terlena dan menyombongkan diri. Mengamalkan ilmu yang pernah ia tempuh dulu.Selepas surah an-nas, ia melanjutkan surah al-fatihah sebagai penutup kegiatan ngajinya.
"Shadaqallahul-'adzim'", Munir mengakhiri ngajinya dan meletakkan speaker di atas meja.
Menyeruput secangkir air putih yang telah disediakan untuk membasahi tenggorokannya.
"Assalamualaikum". Suara lelaki berkopyah putih dengan sarung kotak-kotak berwarna hijau menghampiri Munir dan berjabatan tangan.
"Wa'alaikumsalam, eh Mas Abdi. Senang sekali bisa bertemu disini". Ujar Munir dengan perasaan bahagia karena sudah beberapa hari ini, ia tidak bertemu dengan teman jamaah di masjid tak jauh dari rumahnya.
"Iya, Mas. Saya kebetulan lewat sini. Saat terdengar lantunan ayat suci Al-qur'an saya pernah kenal suaranya. Ternyata benar, itu suara Mas Munir." Sambil membetulkan kopyahnya yang miring ke arah kanan.
"Kemarin, ada kumpulan di Masjid Al- Akbar, Mas Munir kenapa tidak ikut?" tanya Abdi dengan penuh penasaran.
"Iya, kemarin saya berhalangan hadir. Cuaca tidak mendukung, dirumah hujan deras. Depan rumah banjir. Alhamdulillah begitu hujan berhenti mulai  surut, untunglah rumah dekat dengan sawah." Jawab Munir meyakinkan.
"Ini, mas." Abdi menyodorkan secarik kertas bertuliskan tinta hitam yang tidak begitu jelas untuk di baca jika di lihat sekilas.