Mohon tunggu...
Prabu
Prabu Mohon Tunggu... Pegawai Swasta -

Ngomong Indonesia Ngomong budaya Indonesia Ngomong budaya wayang Indonesia http://indonesiawayang.com https://www.facebook.com/bumiprabu https://www.facebook.com/wayangprabu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Mati Sang Tiran (2)

5 Januari 2016   22:14 Diperbarui: 5 Januari 2016   23:01 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dewi Banuwati"][/caption]

Duryudana dengan sengaja memuntahkan segala kebencian dan kemarahannya kepada musuh bebuyutannya, PANDAWA ... terutama JANAKA, di hadapan Banuwati. Dan benar saja, seketika wajah permaisuri Hastina itu menjadi pucat pias lantaran terkejut dan sedih, sangat berbeda ketika menerima berita kematian anaknya Lesmana tadi. Dan semakin menggunung kebencian Kurupati kepada Janaka.

Sebenarnyalah ... disisi paling dalam hati Duryudana terusik. Tlah difahaminya bahwa cinta Sang Banuwati bukanlah untuk dirinya namun apa daya rasa cinta kepada perempuan ini sungguh tlah menghunjam begitu dalam, nyaris tak ada celah tuk berbagi dengan yang lain. Kadang dirinya merasa heran atas sikapnya yang tiada berdaya. Tlah beribu kali disakiti, beribu kali perih terasakan dan beribu kali ingin lepas dari kungkungan itu, namun beribu kali pula terkalahkan oleh besar cintanya kepada putri Mandaraka itu. Bukannya berkurang, malah semakin menghunjam. Bukannya terkikis, bahkan tiada pernah habis.

Surem-surem diwangkara kingkin,
lir manguswa kang layon,
dennya ilang memanise,
wadanira layu,
kumel kucem rahnya meratani,

Suram sungguh suram cahya Sang Surya bersedih
laksana wewujudan yang mati
tlah hilang keindahannya
pengharapannya menunduk layu
kumal lusuh bermandikan darah

“Aneh ... aneh ... sungguh aneh kejadian ini, Banuwati”

“Kula wonten dawuh”

“Dikabari Lesmana mati, sama sekali kamu tidak menangis. Namun saat aku kabari Abimanyu mati, kamu malah menangis sedih. Apa maumu ?”

“Bat … tobat tobat …. tobaaat … Kalau Lesmana mati yang berduka itu kan hanya saya dan Paduka, tapi bila Abimanyu yang mati akan banyak orang yang berduka. Yang pertama tentu Arjuna, saya dapat merasakan tentu bagaimana sedihnya Arjuna menghadapi kematian anak kesayangannya itu. Yang kedua Wara Subadra, bagaimana rasanya kehilangan anak satu satunya. Belum istrinya Abimanyu, Siti Sendari dan Eyang Utari. Padahal warta yang saya dengar, Eyang Utari tengah mengandung tua. Bagaimana perasaannya ditinggal mati oleh guru lakinya, oleh suaminya.”

“Itu bukan urusankuuu ! Juga ... itu bukan urusanmuuuu ! Abimanyu istrinya dua terserah ... lima belas juga terserah. Mengandung ya biarin .... tidak ya nggak masalah ! Namun ternyata salah kiblatmu dalam mengungkapkan rasa cinta. Tidakkah engkau mengingat akan sikap dan tindakanku yang selalu mencintaimu dengan tulus. Setiap malam kulindungi engkau dengan selimut sutera, dengan senang hati aku membersihkan kakimu dengan air mawar. Dhahar tak ladeni ngunjuk tak caosi, makan slalu aku ladeni minum aku suguhkan. Ndak sungga kaya raja, ndak pundi kaya aji, ndak kemat kaya jimat. Dirimu kujunjung laksana raja, kuhormat laksana pusaka dan kupelihara bagai jimat. Tapi apa balasamu ?! Bukannya mendukung suaminya sendiri, mencintai anaknya sendiri, malah memkawatirkan keselamatan musuh. Modar ya ben, urip ya ben !!! Apakah itu yang dinamakan istri yang berbakti !?”

Dengan dada sesak menahan gejolak amarah lantaran merasa ditelanjangi perasaan yang terpendam dalam hatinya serta rasa malu karena diungkit kembali rahasia hati, tak peduli Banuwati ‘melawan’ kembali laki-laki yang sejatinya adalah berstatus resmi sebagai guru lakinya, suaminya itu

“Saya ini manusia, Sinuwun !”

“Lha iya, saya tahu itu !”

“Kalau berdasarkan pemikiran bahwa saya ini adalah manusia, tentunya harus menggunakan rasa kemanusiaan”

“Yang tidak memiliki rasa kemanusiaan itu AKU atau Pandawa-mu itu !”

“Paduka berkata seperti itu atas dasar apa ?”

“Pandawa tidak mungkin kalau tidak tahu bahwa Kurawa itu adalah saudara saudara tuanya. Mengapa berani melawan ? Pandawa bila lengkap nalar dan panca indranya, tentu ingat bahwa Resi Bhisma itu adalah guru dan orang tua yang harus dijunjung dan dihormati. Namun apa yang dilakukan mereka ? Pandawa tega membunuhnya, sekujur tubuhnya dipenuhi oleh panah-panah yang mereka lepaskan dari busur dengan tiada rasa sesal sedikitpun. Kamu tahu gugurnya tiga satria Wirata, Seta, Utara dan Wratsangka ? Siapakah mereka ? Ya .... merekalah yang berjasa menampung para Pandawa setelah menjalani hukuman buang di hutan Kamiyaka selama dua belas tahun, untuk menjalani penyamaran selama satu tahun. Namun apa yang dilakukan Pandawa sebagai balas budi ? Dasar tidak punya rasa kemanusiaan ... bukannya diangkat derajatnya, malah dikorbankan dalam perang dengan alasan atas kehendak mereka sendiri. Apakah itu yang disebut sebagai satria utama ? Bukankah layak di sebut sebagai pecundang dan serendah rendahnya derajat bagi orang yang memiliki sifat dan watak seperti itu ? Kebaikan malah dibalas dengan nista. Padahal saat mereka lepas dari hutan Kamiyaka, Pandawa tidak punya apa apa .... Pandawa kereeeee ... bahkan berderajat lebih rendah dari SUDRA sekalipun ! Seperti itu, aku sebut Pandawa adalah TELAS TILASING JANMA, serendah rendahnya manusia !!! Habisss … derajat kemanusiaannya !!! Para Pandawa berwujud tidak ubahnya seperti binatang hutan yang ganas, mencari darah manusia untuk menuntaskan haus dan laparnya. Manusia yang seperti itu yang engkau unggulkan ... engkau cintai.. heh …!!!”

Terengah engah Suyudana memuntahkan semua kebenciannya terhadap Pandawa dihadapan Banuwati. Matanya masih merah menebarkan amarah. Namun dengan tenang, Banuwati kemudian menjawab logika berfikir suaminya itu

“Sinuwun”

“Apa”

“Kalau diperkenankan saya berbicara lagi”

“Ya cepat berbicaralah ... aku tidak mau kalau engkau kalahkan dalam pembicaraan ini !”

Dalam berbagai lakon kisah Mahabarata, Duryudana adalah tokoh antagonis. Sifat dan sikap buruk hampir selalu menyertainya. Kejam, tidak peduli dan mau menang sendiri terhadap saudara-saudaranya, tidak menghargai dan mengindahkan nasehat para sesepuh dan berbagai watak yang tidak baik selalu terjadi disetiap kisah yang melibatkannya. Para dalang sering mengungkapkan hal tersebut saat menjelaskan tentang Duryudana.

Duryudana disebut sebagai Narendra BERBANDA yang mengandung maksud raja dengan kekayaan yang tiada tara, melimpah ruah seakan sepertiga dunia telah dimilikinya. BERBANDU yang artinya memiliki banyak saudara, Kurawa seratus, namun sangat disayangkan hampir semua saudara-saudaranya itu memiliki sifat dan watak yang tak ubah seperti dirinya. Juga watak adigang adiging adiguna. Itulah Duryudana.

Namun saat menghadapi Banuwati, istrinya tercinta .......

Terkungkung .... tak berdaya ..... begitulah memang nasib Duryudana dalam bercinta. Lihatlah kisah perjalanan panjang dalam meraih cintanya ... kegagalan, kekecewaan kerap ditemuinya.

Awalnya saat diangkat menjadi Raja Muda Hastina, oleh kakeknya Bhisma dan ayahnya Destarastra, Jaka Pitana diperintahkan mengikuti sayembara untuk ‘memperebutkan’ putri Pancalaradya, Dewi Drupadi. Namun apadaya kedigdayaannya belum mampu menandingi Pandawa (Arjuna) untuk mengangkat, membentangkan busur pusaka Pancala itu, untuk kemudian memanah sasaran sesuai yang dipersyaratkan. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh Pandawa, dan Drupadi kemudian dipersunting oleh sulung Pandawa, Yudistira (baca lakon Sayembara Mentang Langkap, dalam versi India : Drupadi menjadi istri kelima Pandawa)

Jaka Pitana bergerak cepat, didengarnya Raja Mandaraka tengah mengalami malapetaka yaitu hilangnya anak sulung putri mereka, Dewi Herawati oleh durjana yang belum diketahui jati dirinya. Jaka Pitana mengerahkan wadyabala Kurawa dan di terima oleh Prabu Salya raja Mandaraka dengan baik untuk dijanjikan apabila mampu menemukan Herawati dengan selamat, maka akan dijadikan sebagai anak mantunya. Namun kegagalan kembali dialaminya. Ternyata yang mampu membebaskan Dewi Herawati dari durjana itu adalah Kakrasana atau Baladewa muda (baca lakon Kartapiyoga Maling).

Gagal dengan Herawati, putri Prabu Salya yang lain yaitu Surtikanti menjadi sasaran tembaknya. Hampir sama kejadiannya, akhirnya Duryudana merelakan Surtikanti untuk dinikahi oleh Basukarna (lakon Alap-alap Surtikanti). Dua kali gagal di Mandaraka rupanya Duryudana tidak kapok juga, masih ada adik Herawati dan Surtikanti yaitu Banuwati. Ternyata Banuwati adalah wanodya yang lebih menawan dibanding kakak kakaknya. Lebih molek, sesiapa yang memandang pasti langsung jatuh hati. Mranani ati, apalagi kalau sudah bercakap dan bersenda gurau, bahasa mulut dan bahasa tubuh bila mendengar dan melihatnya bisa membuat hati klepek klepek .....

Dan Jaka Pitana sudah langsung cinta mati. Tidak bisa tidak ... harus menjadi milikku dengan segala cara dan rekadaya ... begitu janji hati Sang Raja Muda Hastina.

“Saya tak ingin mengalahkan, Sinuwun ! Namun bila Pandawa dikatakan telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu kenyataannya ?!

“Kata kataku selalu benar !”

“Menurut pandangan saya, adanya perang Baratayudha ini sebenarnya akibat dari tipis rasa kemanusiaanya Paduka sendiri !”

“Perkara apa ?! Perkara yang mana ?! Ayo cepat katakan !”

“Sebenarnya saya agak takut mengungkapkannya. Sudah sekian lama saya simpan dalam hati dan menjadi rahasia pribadi. Kali ini sepertinya terpaksa harus saya katakan. Sudah bertahun tahun saya tahan, rasanya tidak kuat lagi”

“Iya ... cepat engkau katakan walaupun itu tidak akan dapat merubah apapun !”

“Mengapa tadi saya mengatakan bahwa yang tipis rasa kemanusiaannya itu adalah Paduka sendiri ? Coba Sinuwun pikir dan rasakan dalam hati, siapakah yang sebenarnya berhak atas negara Hastina ini, Paduka atau Pandawa ? Namun pernahkan Pandawa menagih haknya ? Kapan Pandawa menuntut yang menjadi miliknya !? Kapan Pandawa meminta kepada Paduka untuk menyerahkan negri Hastina ?! Kapan, Sinuwun ?! Tidak pernah, bukan ?!”

Begitu gencar Banuwati menumpahkan semua uneg uneg dalam benaknya laksana banjir bandang menerjang

“Namun Pandawa tidak pernah memikirkan itu, mereka justru mampu membangun negara baru hasil keringatnya sendiri. Negri Amarta dibangun tanpa bantuan Paduka sedikitpun, tanpa menggunakan tanah Hastina secuilpun. Sudah begitu, Paduka masih saja membuat rekadaya untuk menjatuhkan Pandawa. Hingga kemudian terjadilah permainan dadu yang telah Paduka rekayasa untuk kekalahan Pandawa. Negara Ngamarta dipun blengkrah, para Pandawa dipun gusah. Negara Amarta Paduka obrak abrik, Pandawa paduka usir seperti hewan saja. Paduka mempreteli baju baju mereka, Paduka menghancurkan kehormatan mereka, Paduka membuang mereka ke dalam hutan. Paduka begitu tega tanpa perasaan. Bukankah Pandawa adalah juga saudara Paduka, Sinuwun ?”

“Tidak usah dibahas itu ! Tidak benar begitu !”

“Silahkan Paduka memberi alasan”

“Tentang permainan dadu, sudah jamak kalau yang ikut main pasti mengharapkan kemenangan”

(dilanjutkan ke bag 3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun