“Perkara apa ?! Perkara yang mana ?! Ayo cepat katakan !”
“Sebenarnya saya agak takut mengungkapkannya. Sudah sekian lama saya simpan dalam hati dan menjadi rahasia pribadi. Kali ini sepertinya terpaksa harus saya katakan. Sudah bertahun tahun saya tahan, rasanya tidak kuat lagi”
“Iya ... cepat engkau katakan walaupun itu tidak akan dapat merubah apapun !”
“Mengapa tadi saya mengatakan bahwa yang tipis rasa kemanusiaannya itu adalah Paduka sendiri ? Coba Sinuwun pikir dan rasakan dalam hati, siapakah yang sebenarnya berhak atas negara Hastina ini, Paduka atau Pandawa ? Namun pernahkan Pandawa menagih haknya ? Kapan Pandawa menuntut yang menjadi miliknya !? Kapan Pandawa meminta kepada Paduka untuk menyerahkan negri Hastina ?! Kapan, Sinuwun ?! Tidak pernah, bukan ?!”
Begitu gencar Banuwati menumpahkan semua uneg uneg dalam benaknya laksana banjir bandang menerjang
“Namun Pandawa tidak pernah memikirkan itu, mereka justru mampu membangun negara baru hasil keringatnya sendiri. Negri Amarta dibangun tanpa bantuan Paduka sedikitpun, tanpa menggunakan tanah Hastina secuilpun. Sudah begitu, Paduka masih saja membuat rekadaya untuk menjatuhkan Pandawa. Hingga kemudian terjadilah permainan dadu yang telah Paduka rekayasa untuk kekalahan Pandawa. Negara Ngamarta dipun blengkrah, para Pandawa dipun gusah. Negara Amarta Paduka obrak abrik, Pandawa paduka usir seperti hewan saja. Paduka mempreteli baju baju mereka, Paduka menghancurkan kehormatan mereka, Paduka membuang mereka ke dalam hutan. Paduka begitu tega tanpa perasaan. Bukankah Pandawa adalah juga saudara Paduka, Sinuwun ?”
“Tidak usah dibahas itu ! Tidak benar begitu !”
“Silahkan Paduka memberi alasan”
“Tentang permainan dadu, sudah jamak kalau yang ikut main pasti mengharapkan kemenangan”
(dilanjutkan ke bag 3)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H