[caption caption="Dewi Banuwati"][/caption]
Duryudana dengan sengaja memuntahkan segala kebencian dan kemarahannya kepada musuh bebuyutannya, PANDAWA ... terutama JANAKA, di hadapan Banuwati. Dan benar saja, seketika wajah permaisuri Hastina itu menjadi pucat pias lantaran terkejut dan sedih, sangat berbeda ketika menerima berita kematian anaknya Lesmana tadi. Dan semakin menggunung kebencian Kurupati kepada Janaka.
Sebenarnyalah ... disisi paling dalam hati Duryudana terusik. Tlah difahaminya bahwa cinta Sang Banuwati bukanlah untuk dirinya namun apa daya rasa cinta kepada perempuan ini sungguh tlah menghunjam begitu dalam, nyaris tak ada celah tuk berbagi dengan yang lain. Kadang dirinya merasa heran atas sikapnya yang tiada berdaya. Tlah beribu kali disakiti, beribu kali perih terasakan dan beribu kali ingin lepas dari kungkungan itu, namun beribu kali pula terkalahkan oleh besar cintanya kepada putri Mandaraka itu. Bukannya berkurang, malah semakin menghunjam. Bukannya terkikis, bahkan tiada pernah habis.
Surem-surem diwangkara kingkin,
lir manguswa kang layon,
dennya ilang memanise,
wadanira layu,
kumel kucem rahnya meratani,
Suram sungguh suram cahya Sang Surya bersedih
laksana wewujudan yang mati
tlah hilang keindahannya
pengharapannya menunduk layu
kumal lusuh bermandikan darah
“Aneh ... aneh ... sungguh aneh kejadian ini, Banuwati”
“Kula wonten dawuh”
“Dikabari Lesmana mati, sama sekali kamu tidak menangis. Namun saat aku kabari Abimanyu mati, kamu malah menangis sedih. Apa maumu ?”
“Bat … tobat tobat …. tobaaat … Kalau Lesmana mati yang berduka itu kan hanya saya dan Paduka, tapi bila Abimanyu yang mati akan banyak orang yang berduka. Yang pertama tentu Arjuna, saya dapat merasakan tentu bagaimana sedihnya Arjuna menghadapi kematian anak kesayangannya itu. Yang kedua Wara Subadra, bagaimana rasanya kehilangan anak satu satunya. Belum istrinya Abimanyu, Siti Sendari dan Eyang Utari. Padahal warta yang saya dengar, Eyang Utari tengah mengandung tua. Bagaimana perasaannya ditinggal mati oleh guru lakinya, oleh suaminya.”
“Itu bukan urusankuuu ! Juga ... itu bukan urusanmuuuu ! Abimanyu istrinya dua terserah ... lima belas juga terserah. Mengandung ya biarin .... tidak ya nggak masalah ! Namun ternyata salah kiblatmu dalam mengungkapkan rasa cinta. Tidakkah engkau mengingat akan sikap dan tindakanku yang selalu mencintaimu dengan tulus. Setiap malam kulindungi engkau dengan selimut sutera, dengan senang hati aku membersihkan kakimu dengan air mawar. Dhahar tak ladeni ngunjuk tak caosi, makan slalu aku ladeni minum aku suguhkan. Ndak sungga kaya raja, ndak pundi kaya aji, ndak kemat kaya jimat. Dirimu kujunjung laksana raja, kuhormat laksana pusaka dan kupelihara bagai jimat. Tapi apa balasamu ?! Bukannya mendukung suaminya sendiri, mencintai anaknya sendiri, malah memkawatirkan keselamatan musuh. Modar ya ben, urip ya ben !!! Apakah itu yang dinamakan istri yang berbakti !?”
Dengan dada sesak menahan gejolak amarah lantaran merasa ditelanjangi perasaan yang terpendam dalam hatinya serta rasa malu karena diungkit kembali rahasia hati, tak peduli Banuwati ‘melawan’ kembali laki-laki yang sejatinya adalah berstatus resmi sebagai guru lakinya, suaminya itu