Mohon tunggu...
Prabu
Prabu Mohon Tunggu... Pegawai Swasta -

Ngomong Indonesia Ngomong budaya Indonesia Ngomong budaya wayang Indonesia http://indonesiawayang.com https://www.facebook.com/bumiprabu https://www.facebook.com/wayangprabu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Mati Sang Tiran (1)

5 Januari 2016   20:23 Diperbarui: 6 Januari 2016   18:18 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Duryudana raja Hastina"][/caption]

Tidak selamanya Duryudana dan Kurawa berperilaku buruk, begitupun tidak selalu para Pandawa melangkah dalam kebaikan. Ingat kan kisah Bambang Ekalaya dengan guru imajinasinya Begawan Durna ? Tindakan Guru Durna yang cenderung ‘membela’ Arjuna sungguh tidak layak diteladani. Begitupun hasrat Arjuna yang menginginkan Anggraeni, istri Ekalaya.

Atau kisah nan memilukan ‘Samba Juwing’ cinta segitiga antara dua putra Prabu Kresna, Bomanarasura dan Samba dengan Dewi Hagnyanawati yang adalah istri dari Bomanarasura yang berujung kematian mengenaskan. Pada kisah itu, para satria yang ‘biasa’ nya bertindak dalam kebenaran, ternyata justru ‘mendukung’ kenistaan, merusak pager ayu dan mengkoyak-koyak tali persaudaraan dan kekeluargaan.

Juga kisah pada jaman Kalimatoya yaitu setelah perang Baratayudha berakhir, pada tokoh yang bergelar Prabu Arjunapati maka Arjuna kembali membuat kekeliruan. Sumber masalah adalah istri Arjunapati, Dewi Citrahoyi, yang sangat mirip dengan cinta pertama Arjuna, Dewi Banuwati, yang telah dibunuh oleh Aswatama (lakon Lahirnya Parikesit atau Aswatama Nglandak).

Bosan ngomong tokoh baik-baik, lebih baik kita memperlihatkan sisi baik dari tokoh sentral Negri Hastina yaitu Jaka Pitana or Duryudana or Suyudana or Kurupati or Gendarisuta or Narpati Jayapitana or Dhestrarastraputra or Tripamangsah, yang meskipun terkenal berkarakter tidak baik namun pasti ada juga hal yang baik untuk diangkat dan dicermati demi kebaikan kita bersama ... (baik .. baik ... he he he)

Ini adalah dialog Duryudana dengan istrinya tercinta, Sang Banuwati, dalam lakon perang Baratayudha episode Abimanyu Ranjab atau Gugurnya Abimanyu, diilhami dari lakon yang dibawakan oleh Sang Maestro Ki Nartosabdho.

<<< ooo >>>

“Paduka telah datang Sinuwun, kuhaturkan sujud bakti di hadapanmu, Kanda”

“Iya Kanjeng Ratu, Dinda menyampaikan bakti kepada Kanda membuat seluruh raga ini seolah tersiram oleh air sejuk dingin menyegarkan”

“Mengapa demikian ?”

“Siapa orangnya yang tak tersiksa pisah dengan istri tercinta di tengah menghadapi peperangan besar ini”

“Mengapa perasaan Paduka masih seperti itu, padahal saya dan Paduka bukan penganten baru lagi, bahkan telah menjalani perkawinan selama tiga puluh tahun. Juga mengingat kita telah dikaruniai anak, tidak seharusnya Kanda berperasaan seperti itu”

“Baiklah .... Kanda ingin tahu tentang tiga hal yang akan aku tanyakan kepada Dinda. Pertama, bagaimana keadaan negara Hastina selama aku tinggalkan ?”

“Atas doa dan perkenan dari Paduka tidak ada sesuatu yang buruk terjadi, para prajurit jaga bergiliran melakukan ronda, tidak ada yang melalaikan kewajiban, sinuwun”

“Syukurlah .... yang kedua bagaimana dengan keadaan dan perasaan Dinda sendiri ?”

“Atas perkenan dan doa Paduka juga, saya dalam keadaan sehat selalu. Pabila Kanda bertanya masalah keadaan hati, tentu saja hati ini tidak terlalu tenteram mengingat bahwa negara ini tengah diancam bahaya peperangan, mau tidak mau hal tersebut membuat hati ini gundah, Sinuwun”

“Ya”

“Apakah perang sudah selesai, kok Paduka pulang ke Hastina ?”

“Nanti dulu ... yang ketiga ... Dinda jangan terkejut kalau aku kabarkan berita yang menyebabkan kita kehilangan mustika yang jauh lebih berharga dari seluruh harta di Hastina ini”

“Apa maksudnya ? Lebih baik Paduka berterus terang saja tentang hal ini”

“Nanti dulu .... akan aku pikirkan sebelum mewartakan hal ini. Kanda tidak menginginkan apabila setelah mengetahuinya, hati Dinda hancur dan perasaan tercabik. Bahkan mungkin Dinda sampai mengorbankan jiwa dikarenakan nelangsanya hati. Apabila sampai hal itu terjadi, sungguh lebih baik Kanda yang menggantikannya. Dinda !”

“Ya Kanda”

“Kanjeng Ratu”

“Ya Kanda”

“Sesungguhnya bukan keinginan Kanda, pesanggrahan anakmu Lesmana Mandrakumara yang telah dijaga dengan ketat oleh laksaan prajurit, namun entah bagaimana sebabnya Anakmu dapat keluar tanpa seinjin Kanda untuk ikut dalam peperangan menggempur Pandawa”

“Saya percaya para Pandawa tidak akan tega membunuh Lesmana, apalagi Dimas Janaka tentu saja tidak akan tega. Seandainya berani membunuh Lesmana, itu kan sama saja dengan membunuh anu ... anu ... anunya sendiri kan”

“Maksudmu ?”

“Sama saja dengan membunuh keponakannya sendiri !”

“Iya ... tapi tidak seperti yang engkau harapkan. Lesmana maju perang musuhnya bukan Janaka .... lawannya bukan Janaka !”

“Lalu siapa yang berani menghadapi Lesmana, Sinuwun”

“Saat itu Abimanyu telah roboh di arena, kemudian Lesmana mendekat. Lesmana membawa pusaka milik Kanda yaitu Kyai Kokop Ludira. Pusaka itu sedianya bakal dihunjamkan ke dada Abimanyu, namun ternyata ... Lesmana kalah cepat sehingga malah terkena senjatanya Abimanyu. Anakmu hari ini mati di tengah peperangan !”

Banuwati hanya terdiam sejenak … tidak ada rona terkejut ataupun sedih di wajahnya, malah dengan ketus kemudian berujar

“Jadi anak kok selalu memaksakan keinginan sendiri, tidak pernah nurut sama orang tua, bertindak tanpa restu orang tua. Beginilah jadinya !”

“Bukan begitu ! Kamu tadi saya kabari tentang kematian anakmu kok sama sekali tidak bereaksi. Tidak terlihat sedih sama sekali, tidak kaget, ini bagaimana maumu ?!”

“Apakah kesedihan hati itu harus selalu diperlihatkan ! Kalau seperti itu seandainya saya diperkenankan bicara, bukan salahnya Lesmana tapi salahnya Paduka !”

“Lho ... salahku yang mana .... salahku apa ?!”

“Dapat saya katakan bahwa Paduka kurang hati-hati, Sinuwun”

“Dalam perang Baratayudha ini, tidak hanya satu tugas yang Kakang jalankan. Disamping Kanda harus melindungi diri sendiri, juga Kanda harus mengatur barisan prajurit Kurawa sehingga tidak menyangka anakmu berani melangkahkan kaki menuju medan pertempuran”

“Ya lantaran Paduka memberi perintah yang tidak jelas itu maka Lesmana memaksakan diri untuk terjun dalam peperangan”

“Ya seperti itulah ..... mungkin”

“Atas dasar apa saya merasa kecewa dan menyesal ? Apabila anak itu senantiasa menurut, selalu tunduk dan patuh kepada Rama Ibunya serta mau menerima nasehat, tak akan ada rasa penyesalan ini. Namun bagaimana kenyataannya ? Sepanjang hidupnya, langkah dan tindakan Lesmana selalu memalukan dan mengecewakan. Sudah berapa kali Lesmana mau kawin namun akhirnya batal ?! Menginginkan Siti Sendari, kalah bersaing dengan Abimanyu. Akhirnya gagal, kemudian mengarahkan sasarannya kepada Pergiwa, dan meskipun sudah dibantu oleh Paduka, namun tetap saja gagal dan Gatotkacalah yang berhasil mempersunting Pergiwa. Gagal sama Pergiwa, adiknya Pergiwatipun menjadi sasaran berikutnya. Namun berakhir gagal dan gagal lagi. Sungguh memalukan mempunyai anak seperti itu, bukan ? Yang ditiru itu siapa ? Punya anak kok membuat sebel seperti itu, yang ditiru itu siapa coba ?”

Duryudana diam sejenak, wajahnya memerah menegang. Ditahan dadanya yang menggelegak dihantam kemarahan. Sebagai seorang raja besar, pemimpin negara super power Hastina, tidak pernah ada orang yang berani menentangnya apalagi memarahinya dengan kata-kata yang begitu menyakitkan. Pabila ada yang melakukan tindakan seperti itu, tentu tanpa menunggu jeda, dengan tangannya sendiri bakal dirobek mulut orang yang mencacinya itu. Namun di depannya adalah Banuwati, satu satunya istri yang dimilikinya dan satu satunya orang yang dicintai melebihi segala yang dikuasainya. Seratus saudara, jabatan penguasa Hastina, wilayah luas negara jajahan, harta melimpah, tidak sebanding dengan cintanya kepada Banuwati. Telah berulang kali hatinya disakiti, namun begitu berdekatan dan memandang wajah jelita istrinya, maka keangkuhannya luluh seketika.

Dan memang benar apa yang dikatakan istrinya itu. Apabila kemudian diingat kembali kisah masa lalu maka nasib Lesmanapun tiada beda dengan nasib dirinya sebelum berhasil memperistri Banuwati. Kebencian kepada Pandawa dan anak turunnya semakin membuncah. Ya ... rentetan kegagalan yang dialami oleh dirinya dan anaknya Lesmana, semua disebabkan oleh kekalahan dalam bersaing dengan Pandawa dan anak turunnya. Kini, dalam perang besar yang tengah dilakoninya sekarang inipun, yang dihadapinya adalah lawan yang sama ... Pandawa ... terutama Arjuna.

Namun kemarahannya mengendur sejenak setelah berfikir bahwa kematian Abimanyu akan membuat Arjuna bakal terperosok dan tersedot dalam pusaran lumpur duka ... begitupun dengan istrinya .... Banuwati.

"Ya ... tapi ada hal yang membuat hatiku lega dan luar biasa gembiranya. Walaupun anakku Lesmana telah mati, disesali jutaan kalipun tidak ada gunanya. Tidak akan mungkin kemudian Lesmana hidup lagi. Namun memang seimbang, kematian Lesmana sungguh sangat adil !”

“Apa maksud Paduka ? Adilnya bagaimana ?”

“Ketika Lesmana roboh bersimbah darah, saudaramu Banakeling si Jayadrata kemudian maju dengan bersenjatakan gada andalannya. Abimanyu yang tengah merangkak kesakitan, seketika dihantam kepalanya oleh Jayadrata. Kepala pecaaaaaahhh !!!, Abimanyu MODAAAAAAAARRRRR !!!”

(dilanjutkan ke bagian 2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun