Mohon tunggu...
Prabu
Prabu Mohon Tunggu... Pegawai Swasta -

Ngomong Indonesia Ngomong budaya Indonesia Ngomong budaya wayang Indonesia http://indonesiawayang.com https://www.facebook.com/bumiprabu https://www.facebook.com/wayangprabu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wudun dan Fenomena Alam

6 Maret 2012   01:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:27 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siang itu panas sungguh terik. Matahari seakan menumpahkan semua energi yang dimilikinya ke permukaan bumi dengan tak menemui halangan sedikitpun. Langit begitu bersih dan benderang, awan-awan berarak seakan bergerak ke atas mempersilahkan cahaya mentari memanasi bumi. Air yang menggenangi sawah menjadi hangat terasa. Hingga kerbau yang tengah bekerja menarik bajak dan tuannya untuk menggemburkan tanah sawah, terlihat ragu dan enggan untuk melanjutkan tugasnya mengitari sawah.

Dan entah dimana kini keberadaan angin semilir. Biasanya anak buah Batara Bayu ini cukup kencang bertiup, membelai mesra tubuh panas berkeringat kerbau dan tuannya, sehingga mampu menjaga semangat untuk terus tetap bekerja. Siang ini hanya sekali-sekali saja angin hadir dan itupun dengan desir pelan.

Melihat kondisi ini, maka Semar menyuruh Gareng dan Petruk untuk menghentikan kerja membajak sawah sementara. Kemudian merekapun melepas bajak dari kerbau untuk kemudian digiring ke atas dan dibiarkan beristirarat seraya menikmati snack siang rumput yang telah tersaji.

Dengan badan yang basah oleh baur antara keringat dan air sawah, mereka bertiga kemudian menuju ke bawah rindang pohon dipinggir jalan dekat sawah. Menghampiri kendi air yang tersisa dan secara bergantian kemudian meneguknya untuk mengusir haus dan panas.

Sambil menyodorkan pincuk berisi telo rebus sisa tadi pagi kepada anaknya, Semar bergumam:

“Huuuh panas tenan awan iki yo Le”

“Inggih Rama. Pancen benten panas siyang puniko, mboten kados sabene. Rak yo ngono sing mbok rasake to Truk ?” Gareng menimpali ucapan bapaknya sekaligus meminta pendapat adiknya.

“Oooo inggih leres Rama. Bener kang Gareng, sing tak rasake ki awan iki puuuanaas tenan. Nek tak kira-kira, suhune munggah sekitar lima derajat celcius. Nek ngene ki mengko bengi mesti saya tambah adem. Wah awake dhewe kudu ngerti apa sing dadi jalaran saka kahanan iki, kang Gareng. Iki mesti ana apa-apane. Mungkin iki sing dijenengake hukum alam, sunatullah. Nek alam dipilara mesti liya dina alam arep mbales. Lha iki wayahe wis cerak” seperti biasa Petruk langsung nrocos begitu diberi kesempatan bicara.

“Oalah … kowe ki ngomong apa to le. Lha wong mung tambah panas kaya ngene wae mbok sambungna karo macem-macem” semar tersenyum mendengar celoteh anaknya.

“Ooo … niki saget dijlentrehke secara ilmiah Rama. Niki adalah fenomena alam. Alam niku nggih ciptaan Gusti Allah, rak nggih ngoten ta Rama. Lha nek alam ki kerep dipilara, manungsa seneng ngrusak lan wis ra perduli karo kelestariane, eee … tunggu tanggal maine … alam suatu saat mesti take in action.” kali ini Petruk mengekspresikan ucapannya sambil bergaya pencak silat.

Gareng tersenyum dan Semar pun tertawa lirih seraya menepuk-nepuk bahu Petruk.

“Guuayaaa mu le. Nek tak rungoke omonganmu mau kaya omongan para sarjana ning kotaraja kae. Ketoke interesting topic ki, lanjutno Le … Rama tak mirengake”

Kali ini Gareng yang tertawa pelan : “Menapa ingkang dipun sebat Rama wau, … interesting topic … basa pundi niku Rama lan napa maknanipun?”

“Wis takonno adimu kae. Dheweke sing arep njlentrehke artine sekalian deskripsi bab fenomena alam mau, rak yo ngono to bocah bagus anake Rama, Petruk ?” seraya tersenyum bijak (dan nakal) Semar melirik kepada Petruk.

Dan Petruk semakin larut dalam kebiasaan sekaligus hobinya, yaitu menjelaskan masalah dengan berpanjang lebar. Dengan membusungkan dada pianonya, mata sipitnya dipelototkan dan wajah diwibawa-wibawakan, maka kemudian Petruk bersabda

“Wah Rama sampun trep menawi nunjuk kula kangge menjelaskan masalah punika. Monggo para sedherek sadaya dipun perhatosaken penjelasan saking kula” cengengesan Petruk kemlinthi.

“Nggih Pak Guru !” teriak Gareng

“Monggo Pak Dosen !” kalem Semar

“Supados penjelasan puniko langkung klop lan saget ngresep wonten ing nalar lan rasa panjenengan sami, kula badhe nyaosi penjelasan ngagem Bahasa Indonesia nggih !” tanpa menunggu jawaban Petruk langsung menyambung

“Begini Saudara-saudara semua. Seperti telah kita dengar dan saksikan bersama bahwa di beberapa daerah di negara Amarta yang kita cintai ini, telah terjadi bencana alam. Amarta sedang dirundung musibah dan malapetaka. Rama Semar dan Kang Gareng tentu telah mendengar, banjir bandang telah melanda kampung Karang Anom dekat sungai Kangka, belum lama ini kampung Karang Dawa yang berlokasi dekat pantai utara ludes tersapu ombak sebesar rumah yang menenggelamkan seluruh warga dan harta bendanya (maksud Petruk ombak sebesar rumah itu adalah Tsunami). Belum lama ini, kampung Jetis di kaki gunung Hima yang dulunya begitu hijau dan asri, kini hilang berganti menjadi tanah tandus akibat serbuan awan panas beracun yang terkenal bernama “Sapi Meteng”. Dan masing banyak lagi bencana alam yang menimpa negri ini.”

“Salah siapa ini? Petruk diam sesaat untuk menunggu respon dari Rama dan kakaknya, namun mereka begitu serius terpaku ditempat sambil bengong memperhatikan penjelasan dari Petruk (atau pura-pura bersikap begitu untuk menyenangkan hati Petruk he he he).

Petruk semakin bersemangat melanjutkan penjelasannya

“Rama, perkenankan saya mengutip kitab suci Al Qur’an untuk menjelaskan ini. Coba nanti Rama dan Kang Gareng buka surah An-Nisaa ayat 79, artinya kurang lebih begini:

“apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”

“Jadi saudara-saudara, bencana yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnyalah karena perbuatan kita sendiri. Kalian tentu masih ingat kira-kira sepuluh tahun yang lalu, desa kita ini masih begitu sejuk. Meskipun siang cukup panas pada musim katiga, namun tidak seperti hari ini. Dulu embun pagi dan kabut kerap masih berlama-lama menyelimui dusun kita ini pada setiap pagi hari. Skarang hampir tidak pernah itu terjadi lagi.”

“Jadi sudah selayaknyalah kita semua interupsi eh … inspeksi … eh salah ding … kita harus instropeksi, harus mawas diri terhadap semua yang terjadi menimpa kita dan alam ini. Namun ingat, pada dasarnya semua itu hanyalah ujian yang Allah berikan kepada kita, manusia sang khalifah alam, untuk selalu sabar. Bagaimana sabar itu? Menyerahkan segalanya kepada Gusti Pangeran setelah kita melaksanakan tanggung jawab kita sebagai khalifah dengan baik. Kita bertanggung jawab lho terhadap alam ini. Ekosistem harus dijaga, keharmonisan harus dipelihara dan eksplorasi terhadap alam harus tetap mempertimbangkan kelestariannya, tidak asal-asalan yang berakibat merusak alam itu sendiri. Ehm … mengerti yang saya jelaskan saudara-saudara?” telunjuk Petruk masih diatas saat mengakhiri segmen penjelasannya ini.

Gareng manthuk-manthuk, Rama Semar mlongo nganti ngeces melihat “hebat”nya Petruk memberikan penjelasan tingkat tinggi itu.

Gareng ngacung :”Nuwun sewu Pak Guru, siswa Gareng mau bertanya.”

“Oooo silahkan Nak …. kalau belum jelas atau membutuhkan info lain yang terkait silahkan bertanya. Pak Guru akan berusaha menjawabnya dengan baik !” kali ini gaya sedakep ala Gogon diperagakan oleh Petruk.

Semar terlihat mesam-mesem melihat aksi anak-anaknya ini.

Dengan ngapurancang kemudian Gareng mencap-mencep :

“Begini Pak Guru, saya mempunyai masalah yang mungkin Bapak dapat memberikan solusinya. Maaf … ada bisul yang sudah cukup besar dan siap di-plothot di pantat kiri saya. Untuk melakukannya tentu saya tidak bisa sendiri. Apakah bapak berkenan membantu saya mensolusikan ini agar saya tidak tersiksa lagi dengan bisul ini. Mohon bantuannya” sendu Gareng mengabarkan hal ini.

Mak jenggirat Petruk berdiri tegak, seperti Raden Gatotkaca siap-siap bertempur sikapnya sekarang. Mulut senyumnya berganti dengan monyong, mengkerung.

“Kang Gareng ki piye to, lha wong lagi mbahas masalah fenomena alam, musibah, bencana, khalifah, malah dikon mlotot wudun. Ra ana sambungane kang. Basa apike, tidak ada korelasinya. Wah … kang Gareng ki ra ilmiah. Wudun dibahas, ning bokong meneh. Ra sudi aku …” mencak-mencak Petruk menanggapi permintaan kakaknya.

Dengan entengnya Gareng melanjutkan

“Eee…. siapa bilang tidak ada korelasinya Truk. Wudun alias bisul itu juga adalah fenomena alam. Memang lingkupnya lebih kecil, yaitu hanya sebatas tubuh kita. Namun kita kan juga bagian dari alam ini to, kita juga makhluk ciptaan Gusti Allah. Dan satu hal lagi Truk, kalau kita mempelajari proses terjadinya wudun, maka tidak beda jauh dengan penjelasanmu soal fenomena alam tadi.”

“Mosok ngono … ra ilmiah kuwi!” masih mangkel Petruk membalas

“Tak jelaske yo adiku bocah bagus, bocah pinter … Ngene. Bisul itu adalah manifestasi dari sistem pertahanan tubuh yang terpola dan terorganisir secara ekselen melalui algoritma-algoritma yang njlimet namun canggih.”

“Wah basamu kang, ra mudeng aku” sungut Petruk

Gareng tersenyum menang

“Aku kan melu-melu wae sliramu adimas, nggunake basa sing kandane ilmiah (dalam hati Gareng tersipu seraya menyadari bahwa sebagian besar artinya dia juga nggak mudeng). Kalau tubuh kita yang sudah dalam kondisi harmonis ini tiba-tiba dimasuki maling atau perampok, misalnya bakteri, tentu mereka tidak akan berdiam diri. Mereka berusaha akan melawan dan memusnahkan musuh itu. Hasilnya ya bisul itu. Nanah yang ada di bisul adalah pasukan perang tubuh manusia, yaitu darah putih, yang menjadi korban dalam melawan musuh. Prinsipnya tubuh ingin selalu harmonis seperti halnya alam juga. Jadi nyambung to.”

“Wis … saiki tulung plothotno wudunku iki. Ketoke wis senut-senut je, wis wayahe” dengan seenaknya kemudian Gareng membelakangi Petruk dan membuka celananya untuk memperlihatkan wudunnya, si musibah.

Semar semakin lebar senyumnya dan menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anak-anaknya.

Sementara itu Petruk yang disodori udun di pantat kakaknya, dengan pelan-pelan mengambil golok disebelahnya dan dengan secepatnya memukul bisul di pantat kakaknya dengan gagang kayu golok tadi. Dan secepatnya dia melarikan diri menjauhi tempat itu sambil tertawa-tawa senang. Selagi berlari kencang menuju rumah, sayup-sayup terdengar suara keras kakaknya, entah teriakan, cacian atau mungkin malah tangisan.

Salam, Prabu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun