Hesty menatap tajam mata suaminya yang masih sayu itu. Tapi sekonyong-konyong pandangan mata itu membuat Hesty heran. Pandangan mata Edo seperti menyiratkan sebuah penyesalan atas suatu perbuatan. Perbuatan itu seolah tak termaafkan. Demikian Hesty menangkap pandangan mata suaminya tadi. Perbuatan dosa apa gerangan yang telah dilakukan Mas Edo selama ini, pikirnya.
Demi ketenangan hati suaminya, Hesty tidak akan menanyakan masa lalu Edo, apalagi sampai mengorek-ngoreknya. Dalam pandangan Hesty, suaminya seperti sudah keluar dari lorong hitam yang gelap gulita, yang sempat menyengsarakannya.
“Ya . . . Mas, aku maafkan!” ujar Hesty tanpa ekspresi, bingung, dan agak penasaran. Lalu, ia tidak peduli.
“Mas, istirahatlah dengan baik, ya!”
Belum genap sepuluh menit Hesty beranjak dari ruangannya, Edo menarik napasnya, agak panjang. Ia sekonyong-konyong teringat dengan segala hal, yang telah dilakukannya, segala hal yang negatif yang tidak diketahui oleh istrinya itu. Terutama perkara perselingkuhan beratnya dengan Mery sampai ke Singapura. Lalu, ia menderita sakit yang luar biasa, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit itu selama 37 hari.
Edo yakin, Tuhan telah menjewernya, karena rasa sayang kepada hambaNYA. Edo tahu ketika ia sadar, bahwa perbuatannya selama ini, memang sudah jauh menyimpang. Ia mengibaratkan dirinya seperti layang-layang yang putus, dibawa angin entah kemana. Untunglah, Hesty, sang istri mau mengejar layang-layang itu dengan kekuatan penuh, sehingga tidak sampai terdampar entah kemana.
Namun, nyaris setiap pria kadang sulit mengakui dan sekaligus mengapresiasi peran sang istri begitu menentukan dalam mewarnai maghligai rumah tangganya, termasuk berjuang habis-habisan demi tegaknya eksistensi sang suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H