28. Tuhan Telah Menjewernya
Setelah menunggu selama dua minggu, saat kondisi Edo sudah memungkinkan untuk dioperasi, maka hari itu operasi paru-paru Edo berjalan dengan mulus. Tiga hari kemudian, Edo sudah mampu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, meski cuma berbaring di tempat tidurnya. Kondisi fisiknya masih sangat lemah.
Selasa siang dua hari yang lalu, tanpa sepengetahuan Hesty, Mulyadi berkunjung ke rumah sakit. Untuk apa lagi kalau bukan untuk memastikan apakah kondisi Edo membaik atau sebaliknya. Ia sempat berdialog singkat dengan dokter Agustina, pura-pura peduli dengan kondisi Edo. Padahal dalam hati kecilnya, Mulyadi ingin agar Edo seharusnya mampus saja. Dengan demikian niat terselubungnya segera terkabul.
Hanya sekitar lima menit Mulyadi berada di rumah sakit itu. Dokter Agustina sedikit curiga, menangkap aroma aneh dari Mulyadi. Apalagi ketika ia pamit dengan dokter Agustina, ia sempat berpesan, bahwa kedatangannya jangan sampai diketahui Hesty dan juga Edo. Dokter Agustina mengangguk pelan penuh heran..
Maka sesampai di rumah, sehabis makan malam, dokter Agustina mencoba menghubungi Hesty via ponselnya. Hesty langsung menyambutnya. Hesty mengira ada berita gawat tentang Edo. Ia penasaran mengapa dokter Agustina menanyakan Mulyadi malam itu. Tadinya ia bersikukuh mengaku, bahwa Mulyadi adalah pamannya. Ia tidak mau orang lain, termasuk dokter yang baik itu, mengetahui bahwa ia sedang meniti badai demi kesembuhan suaminya. Ia sedang bermain sandiwara yang panjang dan melelahkan, sekaligus membuatnya jemu dan mual. Hesty tidak tahu persis kapan sandiwara ini akan berakhir, dan seperti apa ‘ending’-nya.
Ia tersentak kaget ketika dokter Agustina mengatakan, bahwa Tuan Mulyadi datang membesuk Edo. Hesty lebih kaget lagi waktu dokter muda itu mengatakan, bahwa kedatangan mantan majikannya itu berpesan jangan sampai ia mengetahuinya. Baik Hesty maupun dokter itu, menaruh curiga yang besar terhadap Mulyadi. Maka atas permintaan Hesty, dokter Agustina akan memberi perhatian dan pengawasan ekstra terhadap pasiennya yang satu ini. Hesty berbesar hati mendengarnya. Berulang-ulang ia mengucapkan terima kasihnya kepada dokter Agustina.
Pada saat siuman, pertama kali Edo mendapati Hesty sudah berada di sampingnya, memegangi lengannya, dengan tatapan mata penuh kasih sayang. Kasih sayang seorang istri yang solehahterhadap sang suami yang sedang mengalami penderitaan, yang sangat dicintainya.
“Mas . . . . !” sapa Hesty lembut.
“Ya . . . “ suaranya lemah sekali. Pelan-pelan matanya terbuka, dan menatap sayu pada istrinya. Hesty membalas dengan senyuman tulus.
Edo tidak mengetahui, bagaimana Hesty berminggu-minggu menguras energi, biaya, dan pikirannya. Lebih dari itu semua, pertarungan bathinnya, yang dahsyat, yaitu ketika berhadapan dengan mantan atasannya. Hesty bertekad, ia tidak akan pernah menceritakan berapa jumlah uang yang sudah terpakai untuk perawatan itu, sebelum Edo benar-benar pulih dan sudah berada di rumah. Termasuk dari mana dana itu ia dapatkan.
Dalam pada itu, yang paling menyakitkan perasaan Hesty, pinjaman uang tersebut bersyarat, yang tidak tangung-tanggung syaratnya, bahwa ia harus mempertaruhkan harkat dan martabatnya sebagai perempuan, yang masih berstatus istri yang sah dari seseorang yang sedang dalam perawatan serius. “Terima kasih, Hes! Kamu dengan susah payah mengurusi aku,” desis Edo dengan suara lemah dan masih parau itu.
“Tidak, Mas! Itu memang sudah semestinya. Berterima kasihlah kepada Yang di Atas!” ujar Hesty seraya lebih erat menggenggam tangan suaminya.
Edo menganggukkan kepalanya lemah, ia bangga dengan istrinya, yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah susah hati di hadapannya.
“Hes, sudah berapa lama aku di sini?”
“Kenapa, Mas?”
“Aku ingin tahu, Hes! Sudah berapa lama aku di sini?”
“Sudah berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan?” sambung Edo lagi, tanpa Hesty diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan pertama itu terlebih dahulu.
Raut wajah Hesty terharu menatap suaminya, yang masih tergolek lemah itu. Hesty paham mengapa suaminya mengajukan pertanyaan seperti itu, sebab Edo tahu persis ia tidak lagi punya penghasilan. Hati Edo bertambah miris, tanggungjawabnya sebagai seorang suami dan kepala keluarga, tak dapat ia penuhi. Hesty membetulkan ujung selimut pada kaki Edo.
Edo berusaha menatap Hesty lagi, tapi kelopak matanya hanya bergerak perlahan, nyaris tak terbuka. Hesty mendekati kuping suaminya.
“Mas tidak usah banyak pikiran, yang terpenting Mas segera sembuh,” dengan suara berbisik seperti anak kecil, Hesty melayani suaminya, yang masih terbujur lemah di atas ‘electric-hospitalbed’ itu. Edo mengangguk. Kali ini mimik wajahnya berubah jadi tenang.
Setiap selepas sembahyang fardhu, Hesty selalu bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sampai puluhan menit lamanya. Memohon doa untuk kesembuhan sang suami tercinta. Karena kesungguhannya bermohon itu, tak terasa air matanya meleleh, dan jatuh berderai-derai. Alhamdulillah, Allah SWT mengabulkan permohonannya. Dari hari ke hari kondisi Edo berangsur-angsur semakin membaik.
‘Amin . . . ya Allah, ya . . . Robhul ‘Alamin!’ tak henti-henti Hesty mengucapkannya setiap kali selesai berdoa’ untuk kesembuhan Edo, untuk kesehatan dirinya, anaknya, ayah-ibunya, dan terutama agar dirinya dikuatkan dari berbagai godaan, yang mungkin tak sanggup dihadapinya.Terutama godaan dari mantan atasannya; Mulyadi, yang nyaris setiap detik mengganggunya. Berdengung-dengung suara mantan atasannya itu dalam rongga telingannya.
Sementara, hutangnnya untuk pembiayaan suaminya, kini mulai menyesakkan dadanya. Sampai kini ia belum bicara sama Edo, terutama perihal pinjamannya pada Mulyadi. Niat Hesty untuk menjual rumah tempat kediaman mereka, juga belum disampaikannya pada Edo, ia kuatir akan berpengaruh pada kondisi suaminya itu.
Kemaren sore, setelah seminggu pasca operasi paru-paru suaminya itu, Hesty membesuknya, ternyata Edo sudah mampu bangun sendiri, ke kamar mandi tidak perlu lagi dipapah, dan menu makanannya tidak lagi seperti bubur makanan bayi, tapi nasi tim yang dicampur kuah sop kari ayam. Edo pun sudah tidak mau lagi disuapi, ia lebih leluasa menggunakan tangannya sendiri memegang sendok tanpa ragu meski dengan gerakannya yang masih lemah. Hesty menghargai keinginan suaminya itu.
“Aku kangen Ratri, Hes.”
“Ya, Mas! Dokter menyarankan untuk tidak membawanya kemari. Tadi saja Ratri ngambek, Mas. Waktu aku pamit ia tidak peduli,” papar Hesty.
“Tapi . . . ia baik-baik saja ‘kan?”
“Iyya . . . Mas! ia baik-baik saja”
Edo menatap Hesty penuh makna, memastikan ucapan istrinya tentang Ratri. Lalu, ia merebahkan tubuhnya di pembaringan itu. Hesty menggeser tiang botol infus, tanpa dirminta Edo, karena tangannya berpindah posisi.
“Sebaiknya kau pulang sekarang, Hes. Katakan sama Ratri, Papah kangen. Hati-hati di jalan, ya!” kata Edo lirih. Hesty tersenyum setengah dipaksakan.
Sebelum meninggalkan kamar perawatan Edo, Hesty mencium tangan suaminya, dan suaminya mengusap pipinya sekejap. Sungguh sebuah pemandangan yang indah lagi mengharukan.
“Maafkan aku, Hes!” kata Edo kemudian.
“Kamu . . . mau memaafkan aku, Hes . . . !“ sambung Edo lagi.
Hesty menatap tajam mata suaminya yang masih sayu itu. Tapi sekonyong-konyong pandangan mata itu membuat Hesty heran. Pandangan mata Edo seperti menyiratkan sebuah penyesalan atas suatu perbuatan. Perbuatan itu seolah tak termaafkan. Demikian Hesty menangkap pandangan mata suaminya tadi. Perbuatan dosa apa gerangan yang telah dilakukan Mas Edo selama ini, pikirnya.
Demi ketenangan hati suaminya, Hesty tidak akan menanyakan masa lalu Edo, apalagi sampai mengorek-ngoreknya. Dalam pandangan Hesty, suaminya seperti sudah keluar dari lorong hitam yang gelap gulita, yang sempat menyengsarakannya.
“Ya . . . Mas, aku maafkan!” ujar Hesty tanpa ekspresi, bingung, dan agak penasaran. Lalu, ia tidak peduli.
“Mas, istirahatlah dengan baik, ya!”
Belum genap sepuluh menit Hesty beranjak dari ruangannya, Edo menarik napasnya, agak panjang. Ia sekonyong-konyong teringat dengan segala hal, yang telah dilakukannya, segala hal yang negatif yang tidak diketahui oleh istrinya itu. Terutama perkara perselingkuhan beratnya dengan Mery sampai ke Singapura. Lalu, ia menderita sakit yang luar biasa, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit itu selama 37 hari.
Edo yakin, Tuhan telah menjewernya, karena rasa sayang kepada hambaNYA. Edo tahu ketika ia sadar, bahwa perbuatannya selama ini, memang sudah jauh menyimpang. Ia mengibaratkan dirinya seperti layang-layang yang putus, dibawa angin entah kemana. Untunglah, Hesty, sang istri mau mengejar layang-layang itu dengan kekuatan penuh, sehingga tidak sampai terdampar entah kemana.
Namun, nyaris setiap pria kadang sulit mengakui dan sekaligus mengapresiasi peran sang istri begitu menentukan dalam mewarnai maghligai rumah tangganya, termasuk berjuang habis-habisan demi tegaknya eksistensi sang suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H