Mohon tunggu...
buldozer for
buldozer for Mohon Tunggu... Freelancer - Jasa Freelancer

Jasa freelancer, buzzer, influencer.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Di Balik Banyaknya PHK: Apakah Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5% Adalah Data Real?

20 November 2024   09:19 Diperbarui: 20 November 2024   09:32 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir. Data terbaru menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5%. Namun, laporan yang menyebutkan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memunculkan pertanyaan: Apakah angka pertumbuhan ekonomi tersebut mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya? Artikel ini akan membahas realitas di balik data pertumbuhan ekonomi Indonesia, fenomena PHK massal, dan implikasinya terhadap pasar tenaga kerja dan masyarakat.

Pertumbuhan Ekonomi 5% dan Realitas PHK

Data pertumbuhan ekonomi 5% sering kali dianggap sebagai pencapaian positif yang mencerminkan stabilitas ekonomi. Namun, fakta bahwa lebih dari 63.947 pekerja terkena PHK di tahun 2024, seperti dilaporkan oleh berbagai sumber, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya menjawab tantangan di sektor tenaga kerja. Sumber dari Suara Surabaya menyebutkan angka PHK tersebut mencakup berbagai sektor, dengan Jakarta menjadi wilayah dengan jumlah korban PHK terbanyak.

Sementara itu, laporan dari CNBC Indonesia menunjukkan bahwa sektor manufaktur, terutama tekstil, menjadi salah satu penyumbang terbesar angka PHK. Sebanyak 30 pabrik tekstil tutup, dan lebih dari 11.200 buruh kehilangan pekerjaan. Salah satu perusahaan yang terdampak adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang dilaporkan merencanakan PHK puluhan ribu pekerjanya akibat menipisnya stok bahan baku.

Sektor yang Terdampak dan Perusahaan Terlibat

PHK tidak hanya terjadi di sektor tekstil. Perusahaan di sektor keuangan dan teknologi juga melakukan langkah serupa. BFI Finance, misalnya, dikabarkan telah memutus hubungan kerja dengan 1.167 karyawan dan menutup empat kantor cabang sepanjang Maret hingga September 2024 (Okezone). Perusahaan ini mengklaim langkah tersebut diambil sebagai respons terhadap efisiensi operasional dan penyesuaian dengan kondisi pasar.

Perusahaan teknologi seperti Shopee dan Tokopedia juga turut melakukan perampingan. Tempo melaporkan bahwa Shopee Indonesia memutuskan untuk merelokasi karyawannya ke Yogyakarta dan Solo sebagai alternatif PHK massal. Sementara itu, Tokopedia, bagian dari GoTo, dilaporkan telah merumahkan 70 karyawan pada pertengahan tahun ini.

Dalam laporan lain, sektor otomotif juga mengalami tekanan. PHK massal terjadi di perusahaan yang mendukung industri ini, seperti BFI Finance, yang menjadi salah satu penyedia pembiayaan kendaraan.

Apakah Pertumbuhan Ekonomi 5% Cukup Representatif?

Data pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan output domestik bruto (PDB) yang mencakup seluruh aktivitas ekonomi. Namun, angka ini tidak selalu mencerminkan distribusi ekonomi yang merata atau kondisi mikroekonomi, seperti daya beli masyarakat dan kesehatan pasar tenaga kerja.

Fakta bahwa puluhan ribu pekerja kehilangan pekerjaan dalam setahun menunjukkan adanya tantangan struktural yang tidak terakomodasi dalam data pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor yang memengaruhi fenomena ini meliputi:

Tekanan Global: Perubahan ekonomi global, seperti perlambatan permintaan ekspor dan inflasi internasional, memengaruhi industri manufaktur dan teknologi.

Digitalisasi dan Automasi: Sektor teknologi cenderung menggantikan tenaga kerja manual dengan teknologi otomatisasi untuk efisiensi.

Masalah Internal: Beberapa perusahaan menghadapi manajemen yang kurang efektif, seperti yang dilaporkan pada kasus Sritex terkait krisis bahan baku

Efisiensi Pasar: Perusahaan seperti BFI Finance melakukan PHK sebagai langkah efisiensi untuk menyesuaikan dengan dinamika pasar, meskipun di sisi lain hal ini menimbulkan dampak sosial.

Apakah banyak phk karena berlakunya omnibus law?

Hubungan antara meningkatnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan berlakunya Omnibus Law, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja, menjadi salah satu topik yang banyak dibahas di Indonesia. Omnibus Law, yang mulai diberlakukan sejak tahun 2020, bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja, menyederhanakan regulasi, dan meningkatkan daya saing investasi di Indonesia. Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan ini juga memiliki dampak negatif terhadap stabilitas ketenagakerjaan, termasuk meningkatnya PHK.

Faktor yang Menghubungkan Omnibus Law dan PHK

Ada beberapa alasan mengapa Omnibus Law diduga berkontribusi terhadap tingginya angka PHK:

1. Fleksibilitas Tenaga Kerja yang Tinggi

Omnibus Law memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada perusahaan dalam hal perekrutan dan pemberhentian karyawan. Regulasi ini dianggap mempermudah prosedur PHK, misalnya dengan mengurangi pesangon yang harus dibayarkan kepada pekerja.

Sebelum Omnibus Law, perusahaan diwajibkan membayar pesangon hingga 32 kali upah bulanan. Setelah diberlakukannya Omnibus Law, jumlah pesangon maksimum yang wajib dibayar oleh perusahaan dikurangi menjadi 19 kali gaji.

Proses PHK juga dianggap lebih cepat karena prosedur yang sebelumnya rumit dihapuskan.

Fleksibilitas ini memudahkan perusahaan melakukan efisiensi tenaga kerja, terutama dalam situasi ekonomi yang tidak stabil.

2. Penghapusan Beberapa Perlindungan Tenaga Kerja

Omnibus Law mengubah beberapa regulasi ketenagakerjaan yang dianggap melindungi pekerja, seperti pengurangan hak atas cuti panjang dan ketentuan kerja kontrak yang lebih longgar. Hal ini menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan meningkatkan potensi PHK, terutama bagi pekerja kontrak.

3. Insentif untuk Perusahaan

Undang-Undang Cipta Kerja memberikan insentif pajak dan kemudahan perizinan bagi perusahaan, yang bertujuan untuk menarik lebih banyak investasi. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini dinilai belum mampu meningkatkan jumlah lapangan kerja yang signifikan. Sebaliknya, banyak perusahaan justru memanfaatkan fleksibilitas hukum untuk melakukan efisiensi melalui PHK.

4. Krisis Ekonomi Global

Meskipun Omnibus Law dianggap memperburuk situasi ketenagakerjaan, faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi global juga berkontribusi terhadap banyaknya PHK. Dalam hal ini, perusahaan yang menghadapi penurunan permintaan global, seperti sektor manufaktur dan tekstil, menggunakan kemudahan yang diatur dalam Omnibus Law untuk melakukan pengurangan tenaga kerja.

Pendapat dari Berbagai Pihak

Pemerintah

Pemerintah menyatakan bahwa Omnibus Law bertujuan untuk meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, dan memperbaiki iklim bisnis di Indonesia. Dalam pandangan pemerintah, peningkatan angka PHK lebih disebabkan oleh tekanan ekonomi global dan perlambatan ekonomi domestik akibat pandemi serta ketidakpastian pasar internasional.

Serikat Buruh

Berbeda dengan pemerintah, serikat buruh melihat bahwa Omnibus Law memberikan keuntungan besar kepada pengusaha dengan mengorbankan perlindungan bagi pekerja. Serikat buruh mengkritik fleksibilitas PHK dan pengurangan hak pekerja sebagai pemicu ketidakamanan kerja (job insecurity) yang lebih tinggi.

Ekonom

Beberapa ekonom menilai bahwa Omnibus Law tidak sepenuhnya buruk, tetapi implementasinya perlu diawasi ketat. Mereka menyarankan agar pemerintah memastikan bahwa perusahaan yang mendapatkan insentif juga berkomitmen untuk menciptakan lapangan kerja yang stabil, bukan justru melakukan PHK massal.

Apakah Omnibus Law Memicu Lonjakan PHK?

Lonjakan angka PHK seperti yang dilaporkan di tahun 2024 memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan pada Omnibus Law. Beberapa faktor lain juga memengaruhi, seperti:

Tekanan Ekonomi Global: Perlambatan ekonomi global akibat inflasi, konflik geopolitik, dan menurunnya permintaan ekspor memukul sektor manufaktur dan teknologi.

Efisiensi dan Digitalisasi: Banyak perusahaan mengurangi tenaga kerja manual karena beralih ke teknologi otomatisasi dan efisiensi operasional.

Krisis di Sektor Tertentu: Beberapa sektor, seperti tekstil dan otomotif, mengalami tekanan akibat meningkatnya biaya bahan baku dan persaingan internasional.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa Omnibus Law memberikan perusahaan alat hukum yang lebih fleksibel untuk mengurangi jumlah pekerja dengan biaya yang lebih rendah. Kebijakan ini, meskipun dirancang untuk meningkatkan efisiensi, justru dapat memperburuk kondisi tenaga kerja dalam situasi ekonomi yang sulit.

Untuk mengurangi dampak negatif Omnibus Law, pemerintah perlu:

Memperketat Pengawasan: Pastikan perusahaan yang menggunakan fleksibilitas Omnibus Law tetap mematuhi hak-hak pekerja.

Memberikan Insentif Bagi Perusahaan yang Menciptakan Lapangan Kerja: Insentif pajak dan kemudahan perizinan harus diberikan kepada perusahaan yang berkomitmen untuk tidak melakukan PHK.

Memberikan Dukungan untuk Korban PHK: Program pelatihan ulang dan bantuan sosial untuk pekerja yang terkena dampak harus menjadi prioritas.

Meningkatkan Dialog Sosial: Pemerintah harus menjembatani kepentingan antara pengusaha dan pekerja untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil.

Dengan demikian, keberhasilan Omnibus Law tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi atau investasi, tetapi juga dari keseimbangan antara produktivitas perusahaan dan kesejahteraan tenaga kerja.

Implikasi PHK terhadap Masyarakat dan Perekonomian

Angka PHK yang tinggi memiliki dampak domino pada perekonomian. Beberapa implikasi utamanya adalah:

Pengangguran dan Daya Beli

PHK massal meningkatkan tingkat pengangguran, yang secara langsung memengaruhi daya beli masyarakat. Dengan lebih sedikit orang yang bekerja, konsumsi rumah tangga sebagai komponen utama PDB dapat menurun.

Ketidakstabilan Sosial

PHK juga memunculkan potensi ketidakstabilan sosial, terutama ketika masyarakat kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kemiskinan dan ketimpangan.

Kepercayaan terhadap Pemerintah dan Institusi

Jika angka PHK terus meningkat sementara pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi stabil, kepercayaan masyarakat terhadap data resmi dan institusi dapat menurun.

Tekanan pada Jaminan Sosial

Dengan meningkatnya pengangguran, program jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan akan menghadapi tekanan yang lebih besar.

Tantangan ke Depan

Untuk memastikan bahwa angka pertumbuhan ekonomi mencerminkan kondisi yang sebenarnya, beberapa langkah perlu dilakukan:

Transparansi Data

Pemerintah harus memastikan bahwa data ekonomi yang dirilis mencakup gambaran mikroekonomi, termasuk tingkat pengangguran dan kondisi sektor-sektor tertentu.

Diversifikasi Ekonomi

Perlunya diversifikasi sektor ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada industri tertentu, seperti manufaktur dan teknologi.

Dukungan untuk Korban PHK

Pemerintah dan perusahaan harus menyediakan pelatihan ulang (reskilling) dan bantuan untuk pekerja yang terdampak PHK agar dapat kembali memasuki pasar kerja.

Penguatan Kebijakan Industri

Kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri, seperti insentif untuk bahan baku atau pengurangan biaya operasional, dapat membantu mencegah penutupan pabrik.

Kesimpulan

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% mungkin mencerminkan stabilitas di level makroekonomi, tetapi belum sepenuhnya mewakili realitas yang dihadapi oleh pekerja di sektor riil. Gelombang PHK massal menunjukkan adanya tantangan struktural dalam perekonomian Indonesia yang harus segera diatasi. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Transparansi data, diversifikasi ekonomi, dan dukungan untuk pekerja terdampak menjadi kunci untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya angka, tetapi juga kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Omnibus Law tidak dapat sepenuhnya disalahkan atas tingginya angka PHK di Indonesia, tetapi kebijakan ini jelas memiliki implikasi yang signifikan terhadap fleksibilitas hubungan kerja. Kebijakan yang bertujuan untuk menarik investasi dan meningkatkan daya saing ini ternyata juga memberikan dampak sampingan berupa meningkatnya ketidakamanan kerja bagi pekerja.

Referensi

Suara Surabaya. (2024). Pekerja Indonesia Terkena PHK Tembus 63.947 Orang

CNBC Indonesia. (2024). Korban PHK Naik Jadi 64 Ribu, Tertinggi di DKI Jakarta, Intip Sektornya

CNBC Indonesia. (2024). 30 Pabrik Tekstil RI Tutup, PHK 11.200 Buruh, Ini Nama Perusahaannya

Narasi. (2024). Jumlah Pekerja Terkena PHK Tahun Ini Capai 63.947 Orang

Okezone. (2024). PHK Ribuan Karyawan dan Tutup Kantor, Ini Penjelasan BFI Finance

Jawa Pos. (2024). BFI Finance PHK 1.167 Karyawan dan Tutup 4 Kantor Cabang Sepanjang Maret-September 2024

CNBC Indonesia. (2024). Dunia Otomotif Tak Baik-baik Saja, BFI Finance PHK Ribuan Pekerja

Tempo. (2024). Tepis Isu PHK Massal, Shopee Indonesia Relokasi Sejumlah Karyawan ke Yogyakarta dan Solo

CNBC Indonesia. (2024). Tokopedia Dilaporkan PHK 70 Karyawan, GoTo Buka Suara

Tribun News. (2024). Puluhan Ribu Pekerja Sritex Bakal di-PHK akibat Stok Bahan Baku Menipis, Ini Sikap Menaker Yassierli

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun