Berbeda dengan pemerintah, serikat buruh melihat bahwa Omnibus Law memberikan keuntungan besar kepada pengusaha dengan mengorbankan perlindungan bagi pekerja. Serikat buruh mengkritik fleksibilitas PHK dan pengurangan hak pekerja sebagai pemicu ketidakamanan kerja (job insecurity) yang lebih tinggi.
Ekonom
Beberapa ekonom menilai bahwa Omnibus Law tidak sepenuhnya buruk, tetapi implementasinya perlu diawasi ketat. Mereka menyarankan agar pemerintah memastikan bahwa perusahaan yang mendapatkan insentif juga berkomitmen untuk menciptakan lapangan kerja yang stabil, bukan justru melakukan PHK massal.
Apakah Omnibus Law Memicu Lonjakan PHK?
Lonjakan angka PHK seperti yang dilaporkan di tahun 2024 memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan pada Omnibus Law. Beberapa faktor lain juga memengaruhi, seperti:
Tekanan Ekonomi Global: Perlambatan ekonomi global akibat inflasi, konflik geopolitik, dan menurunnya permintaan ekspor memukul sektor manufaktur dan teknologi.
Efisiensi dan Digitalisasi: Banyak perusahaan mengurangi tenaga kerja manual karena beralih ke teknologi otomatisasi dan efisiensi operasional.
Krisis di Sektor Tertentu: Beberapa sektor, seperti tekstil dan otomotif, mengalami tekanan akibat meningkatnya biaya bahan baku dan persaingan internasional.
Namun, tidak dapat disangkal bahwa Omnibus Law memberikan perusahaan alat hukum yang lebih fleksibel untuk mengurangi jumlah pekerja dengan biaya yang lebih rendah. Kebijakan ini, meskipun dirancang untuk meningkatkan efisiensi, justru dapat memperburuk kondisi tenaga kerja dalam situasi ekonomi yang sulit.
Untuk mengurangi dampak negatif Omnibus Law, pemerintah perlu:
Memperketat Pengawasan: Pastikan perusahaan yang menggunakan fleksibilitas Omnibus Law tetap mematuhi hak-hak pekerja.
Memberikan Insentif Bagi Perusahaan yang Menciptakan Lapangan Kerja: Insentif pajak dan kemudahan perizinan harus diberikan kepada perusahaan yang berkomitmen untuk tidak melakukan PHK.