Mohon tunggu...
buldozer for
buldozer for Mohon Tunggu... Freelancer - Jasa Freelancer

Jasa freelancer, buzzer, influencer.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Sejarah Krisis Moneter 1998, Era Kegelapan Ekonomi Indonesia

18 November 2024   14:35 Diperbarui: 18 November 2024   14:35 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Krisis moneter 1998 menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Peristiwa ini tidak hanya membawa dampak besar pada perekonomian, tetapi juga mengguncang tatanan sosial dan politik negara. Krisis ini dimulai sebagai bagian dari krisis keuangan Asia yang melanda beberapa negara berkembang, tetapi dampaknya terhadap Indonesia jauh lebih parah. Artikel ini akan membahas secara rinci sejarah krisis moneter 1998, penyebab utamanya, dampaknya terhadap masyarakat, serta pelajaran yang dapat diambil dari salah satu era tergelap dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Latar Belakang Krisis Moneter

Pada awal 1990-an, Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun, negara ini menjadi salah satu "Macan Asia" yang menjanjikan. Kebijakan ekonomi Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dianggap berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan menarik investasi asing. Namun, di balik pertumbuhan ini terdapat sejumlah kelemahan struktural yang tidak teratasi.

Salah satu kelemahan utama adalah ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri. Perusahaan-perusahaan swasta dan pemerintah meminjam dalam mata uang asing, terutama dolar AS, dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar akan tetap stabil. Selain itu, sektor perbankan tidak diawasi dengan baik, sehingga banyak bank memiliki portofolio kredit yang berisiko tinggi.

Pemicu Krisis

Krisis moneter di Indonesia bermula dari melemahnya nilai tukar mata uang Thailand, baht, pada Juli 1997. Pemerintah Thailand memutuskan untuk melepaskan nilai tukar baht terhadap dolar AS karena tekanan spekulatif yang besar. Keputusan ini memicu kepanikan di pasar keuangan Asia dan menyebabkan depresiasi mata uang di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Nilai tukar rupiah mulai mengalami tekanan pada pertengahan 1997. Pada bulan Juli, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di kisaran Rp2.500. Namun, dalam beberapa bulan, rupiah kehilangan lebih dari 70% nilainya, jatuh hingga lebih dari Rp10.000 per dolar pada awal 1998. Depresiasi ini membawa dampak besar bagi perusahaan dan bank yang memiliki utang dalam dolar AS.

Dampak Ekonomi

1. Inflasi Tinggi

Depresiasi rupiah menyebabkan lonjakan harga barang impor, termasuk kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar. Inflasi tahunan mencapai lebih dari 70% pada puncak krisis, membuat daya beli masyarakat anjlok. Kenaikan harga ini memicu keresahan sosial, dengan banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2. Kebangkrutan Perusahaan

Banyak perusahaan besar di Indonesia memiliki utang dalam mata uang asing. Ketika rupiah terdepresiasi, beban utang mereka meningkat drastis. Banyak perusahaan tidak mampu membayar utang tersebut, sehingga mengalami kebangkrutan. Sektor-sektor seperti properti, manufaktur, dan jasa keuangan menjadi yang paling terdampak.

3. Krisis Perbankan

Sektor perbankan Indonesia mengalami guncangan besar selama krisis. Banyak bank kecil yang tidak sehat terpaksa ditutup oleh pemerintah. Bank-bank besar juga menghadapi masalah likuiditas akibat lonjakan kredit macet. Pemerintah meluncurkan program penyehatan perbankan dengan biaya yang sangat besar, yang pada akhirnya membebani anggaran negara.

4. Pengangguran dan Kemiskinan

Krisis ini menyebabkan banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya. Tingkat pengangguran melonjak drastis, sementara angka kemiskinan meningkat. Data menunjukkan bahwa lebih dari 40 juta orang jatuh ke bawah garis kemiskinan selama krisis ini.

Dampak Sosial dan Politik

Krisis moneter 1998 tidak hanya berdampak pada perekonomian tetapi juga memicu perubahan besar dalam struktur politik dan sosial Indonesia. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah Soeharto yang sudah berkuasa selama lebih dari 30 tahun memuncak selama krisis ini. Demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya menuntut reformasi total dalam sistem pemerintahan.

Puncak dari keresahan sosial ini adalah lengsernya Soeharto pada Mei 1998 setelah rangkaian demonstrasi besar dan kerusuhan di berbagai kota. Kerusuhan ini, yang dikenal sebagai Tragedi Mei 1998, menelan banyak korban jiwa dan merusak berbagai infrastruktur, termasuk pusat-pusat perdagangan di Jakarta dan kota lainnya.

Langkah Penanganan Krisis

1. Bantuan dari IMF

Untuk menghadapi krisis ini, pemerintah Indonesia meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF). IMF memberikan paket bantuan keuangan sebesar 43 miliar dolar AS, tetapi dengan syarat bahwa Indonesia harus melakukan reformasi ekonomi yang signifikan. Reformasi ini mencakup penutupan bank-bank yang tidak sehat, penghapusan subsidi, dan liberalisasi sektor ekonomi tertentu.

2. Restrukturisasi Utang

Pemerintah juga memfasilitasi restrukturisasi utang perusahaan-perusahaan swasta melalui badan khusus bernama Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA). Selain itu, pemerintah menegosiasikan restrukturisasi utang luar negeri dengan para kreditur.

3. Penyehatan Perbankan

Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menangani masalah kredit macet dan memperkuat sektor perbankan. Banyak bank yang sebelumnya tidak sehat diambil alih atau digabungkan untuk mengurangi risiko sistemik.

Pelajaran dari Krisis

Krisis moneter 1998 memberikan sejumlah pelajaran penting bagi Indonesia:

Pentingnya Stabilitas Makroekonomi

Krisis ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga stabilitas makroekonomi, termasuk nilai tukar dan inflasi. Ketergantungan pada utang luar negeri yang berlebihan harus dihindari.

Kebutuhan Reformasi Struktural

Ketidakseimbangan dalam struktur ekonomi, seperti lemahnya sektor perbankan dan ketergantungan pada sumber daya alam, harus diperbaiki untuk menciptakan ekonomi yang lebih tangguh.

Peran Transparansi dan Akuntabilitas

Krisis ini juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan ekonomi. Sistem yang korup dan tidak efisien hanya akan memperburuk dampak krisis.

Pentingnya Diversifikasi Ekonomi

Ketergantungan pada sektor tertentu membuat ekonomi lebih rentan terhadap guncangan eksternal. Diversifikasi ekonomi dapat menjadi salah satu langkah untuk mengurangi risiko ini.

Awal mula krisis Dimulai dari kolapsnya lembaga financial

Awal mula krisis moneter 1998 yang memicu kolapsnya lembaga-lembaga keuangan di Indonesia tidak terlepas dari serangkaian faktor struktural dan eksternal yang saling memperparah. Krisis ini bermula dari ketidakseimbangan ekonomi yang sudah lama tertanam dalam sistem, kemudian dipicu oleh guncangan eksternal yang berasal dari krisis keuangan Asia. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai awal mula krisis hingga kolapsnya lembaga-lembaga keuangan:

1. Fondasi Rapuh Sektor Keuangan

Pada awal 1990-an, sektor keuangan di Indonesia berkembang pesat, didukung oleh deregulasi perbankan yang dilakukan oleh pemerintah sejak akhir 1980-an. Langkah ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membuka celah bagi praktik-praktik yang tidak sehat:

  • Pertumbuhan Pesat Bank Baru
    Deregulasi memungkinkan banyak pendirian bank baru, termasuk bank-bank kecil yang dimiliki oleh kelompok bisnis swasta. Bank-bank ini sering kali tidak dikelola secara profesional dan memiliki pengawasan yang lemah.

  • Kredit Bermasalah
    Banyak bank memberikan pinjaman besar kepada perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pemilik bank itu sendiri (praktek connected lending). Hal ini meningkatkan risiko kredit bermasalah, terutama karena proyek-proyek yang didanai tidak selalu menghasilkan keuntungan yang cukup.

  • Ketergantungan pada Utang Asing
    Sektor swasta dan bank di Indonesia memanfaatkan utang luar negeri dalam mata uang asing, terutama dolar AS. Pinjaman ini dianggap menarik karena suku bunga internasional yang rendah dibandingkan dengan suku bunga domestik. Namun, ini menciptakan risiko nilai tukar yang besar apabila rupiah melemah.

2. Krisis Keuangan Asia sebagai Pemicu

Krisis keuangan Asia yang dimulai di Thailand pada Juli 1997 menjadi titik awal kejatuhan lembaga-lembaga keuangan di Indonesia:

  • Devaluasi Baht Thailand
    Krisis dimulai ketika pemerintah Thailand melepaskan nilai tukar tetap baht terhadap dolar AS. Hal ini memicu devaluasi tajam baht, menimbulkan kepanikan di pasar keuangan Asia.

  • Efek Domino ke Indonesia
    Investor asing, yang khawatir akan stabilitas negara-negara berkembang di Asia, mulai menarik dana dari pasar negara-negara seperti Indonesia. Rupiah yang sebelumnya relatif stabil terhadap dolar AS mulai melemah.

  • Spekulasi di Pasar Valuta Asing
    Tekanan spekulatif terhadap rupiah semakin besar, memaksa Bank Indonesia menghabiskan cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar. Pada akhirnya, pemerintah memutuskan untuk membiarkan rupiah mengambang bebas pada Agustus 1997, yang menyebabkan depresiasi tajam.

3. Dampak pada Lembaga Keuangan

Depresiasi rupiah memiliki dampak langsung yang menghancurkan pada sektor keuangan, terutama perbankan dan perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS:

  • Meningkatnya Beban Utang
    Lembaga-lembaga keuangan yang memiliki pinjaman luar negeri dalam dolar AS tiba-tiba harus membayar lebih banyak dalam rupiah untuk melunasi utang mereka. Dengan nilai tukar yang merosot dari sekitar Rp2.500 menjadi lebih dari Rp10.000 per dolar AS, banyak lembaga keuangan tidak mampu memenuhi kewajibannya.

  • Kredit Macet Melonjak
    Perusahaan-perusahaan yang juga mengalami tekanan finansial tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka ke bank. Hal ini menyebabkan lonjakan kredit macet (non-performing loans), yang merusak neraca keuangan bank.

  • Kepanikan Penarikan Dana
    Masyarakat, yang kehilangan kepercayaan terhadap perbankan, mulai menarik dana mereka secara besar-besaran. Fenomena ini memicu krisis likuiditas di banyak bank, terutama bank-bank kecil yang sudah rapuh sebelumnya.

4. Kolapsnya Bank dan Lembaga Keuangan

Pada akhir 1997 dan awal 1998, banyak bank dan lembaga keuangan di Indonesia runtuh:

  • Penutupan Bank-Bank Bermasalah
    Pada November 1997, pemerintah menutup 16 bank yang dianggap tidak sehat. Namun, langkah ini justru memicu kepanikan lebih besar, karena masyarakat mulai meragukan stabilitas bank lainnya.

  • Krisis Kepercayaan pada Perbankan
    Kolapsnya beberapa bank menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan secara keseluruhan. Banyak bank mengalami bank run, di mana nasabah menarik uang mereka dalam jumlah besar.

  • Keterlibatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
    Pemerintah mendirikan BPPN untuk mengambil alih bank-bank yang kolaps dan membantu menyelamatkan sistem perbankan. Namun, langkah ini membutuhkan dana yang sangat besar, sebagian besar berasal dari utang publik.

5. Contoh Kolaps Lembaga Keuangan Besar

Beberapa bank besar yang menjadi simbol kejatuhan sektor keuangan Indonesia selama krisis ini antara lain:

  • Bank Central Asia (BCA)
    Bank terbesar di Indonesia ini menghadapi tekanan besar akibat penarikan dana oleh nasabah. Pemerintah akhirnya mengambil alih BCA untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan.

  • Bank Lippo dan Bank Danamon
    Kedua bank ini juga mengalami krisis likuiditas yang parah. Pemerintah melalui BPPN mengambil alih dan merekapitalisasi bank-bank ini.

  • Kasus Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)
    Bank ini adalah salah satu yang ditutup pemerintah. Skandal pengelolaan utang dan aset bank ini menjadi contoh buruknya pengelolaan perbankan selama era tersebut.

Faktor Lain yang Memperburuk Situasi

  • Korupsi dan Kolusi
    Sistem perbankan di Indonesia pada saat itu sarat dengan praktik korupsi dan kolusi, di mana pemilik bank sering menggunakan dana bank untuk kepentingan pribadi atau perusahaan mereka sendiri.

  • Ketiadaan Regulasi yang Kuat
    Pengawasan Bank Indonesia terhadap sektor perbankan lemah, sehingga banyak bank bisa beroperasi meskipun secara finansial tidak sehat.

  • Ketergantungan pada Ekonomi Global
    Ketergantungan pada investasi asing membuat Indonesia sangat rentan terhadap perubahan sentimen global. Ketika investor asing menarik dana mereka, sistem keuangan domestik tidak cukup kuat untuk menahan guncangan.

Kesimpulan

Kolapsnya lembaga-lembaga keuangan selama krisis moneter 1998 menunjukkan kerentanan struktural ekonomi Indonesia saat itu. Sistem perbankan yang tidak sehat, ketergantungan pada utang luar negeri, dan lemahnya pengawasan menjadi kombinasi fatal yang mempercepat kehancuran sektor keuangan. Krisis ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia untuk memperkuat regulasi, meningkatkan transparansi, dan mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. Meskipun masa itu sangat sulit, langkah-langkah reformasi yang dilakukan setelahnya menjadi fondasi bagi stabilitas ekonomi yang lebih baik di masa depan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun