Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aurel

3 April 2022   07:00 Diperbarui: 3 April 2022   08:41 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menundukkan wajah. Memikirkan cara untuk bertemu Aurel. Namun yang terlihat hanyalah lantai keramik putih. Kepalaku kosong. Tidak mampu berpikir apapun. Rudi yang berada di sebelahku mengajak bicara. Namun aku tak dapat mendengarnya kecuali suara yang samar tanpa arti.

"Tenanglah, Tasya. Kita pasti menemukan Aurel."

Mungkin itu yang dikatakan Rudi. Pelan-pelan suaranya mulai terdengar jelas. Namun tak begitu nyaring.

"Ayolah, jangan menangis. Kamu seharusnya tahu kondisinya. Aku tidak mungkin meninggalkan toko saat ini sekalipun hari libur," kata Ardi.

Suara langkah kaki terdengar mendekati. Ardi terlihat jengkel dan menghindar dari seorang perempuan.

"Kamu sudah janji mengajakku pergi. Sudah satu tahun kita menunggu dan tidak jadi? Apa kamu sungguh mencintaiku?" Seorang perempuan terdengar marah pada Ardi.

"Tapi saat ini situasinya berbeda. Baru terjadi masalah di sini. Seharusnya kamu bisa mengerti, Diana."

"Maksudmu? Kita benar-benar tidak akan berangkat setelah mempersiapkannya selama ini? Pantai!"

Ardi menunduk tak menjawab. Dan setelah itu hanya isak tangis yang terdengar dari perempuan bernama Diana. 

Ardi menempelkan tangannya ke pundak, namun Diana tidak terima dan ganti menghindar. Ardi mengejar, meski kelihatannya tidak akan mengabulkan permintaan perempuan itu.

"Toko ini bakal libur selama seminggu. Setidaknya itu perkiraan pemilik toko setelah kejadian buruk di sini. Aku memaklumi Ardi yang menolak pacarnya untuk pergi. Meski toko tidak buka, karyawan di sini tetap sibuk."

"Tapi Rud. Kita belum menemukan Aurel. Hari ini hari kedua setelah kita sampai di sini. Tidak ada kemajuan. Kita harus mencarinya," kataku.

"Di mana kalian biasa bertemu? Setidaknya, tempat yang berkesan diantara kamu, Niken dan Aurel?"

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak ingin berpikir aneh-aneh. Nanun mencari Aurel di tempat yang biasa kalian kunjungi bersama lebih baik daripada kita hanya diam di sini tanpa petunjuk. Setidaknya itu yang bisa kita usahakan saat ini."

"Jika Aurel diculik, seharusnya kita mencarinya di markas-markas preman. Bukannya akan lebih mudah ditemukan?"

"Tidak, Tasya, itu sulit. Menghadapi lima begal saja kita hanya bisa kabur. Dan akhirnya kita hanya berhadapan satu orang saja dan itu membuatku terluka. Aku tidak bisa bayangkan jika peegi ke markas preman. Apalagi tanpa persiapan," ucap Rudi.

Mungkin yang dikatakan Rudi memang benar. Itu lebih baik daripada kami berdiam di sini tanpa melakukan apa-apa.

"Pantai ..., apakah tempat ini dekat pantai?"

"Ya."

"Mungkin kita bisa pergi ke pantai untuk mencari Aurel? Kita pergi sore hari saat matahari tenggelam. Karena biasanya saat aku, Niken dan Aurel sangat senang dan sangat sedih, atau bingung melakukan sesuatu. Satu-satunya tujuan kami adalah pantai. Di pantai melihat pemandangan alam membuat pikiran kami tenang."

"Kita tunggu agak siang untuk berangkat. Saat ini, tenangkan dirimu dulu," kata Rudi terlihat perhatian.

Keadaan cabang lima toko sparepart ini kacau. Meski bangunannya dua lantai. Lantai satu dipenuhi dengan barang-barang dan kardus-kardus yang tidak rapi. Tentu, ini semua disebabkan kejadian lalu. Pembuhunan yang mana Niken sahabatku menjadi korban. Tidak hanya itu, CCTV dirusak dan semua uang hilang.

Meski di daerah sini sering terjadi kekacauan. Maling berani masuk ke rumah sangat jarang terjadi. Biasanya mereka hanya mengambil helm dan motor yang ada di depan rumah-rumah dan toko-toko. Setidaknya itu yang kutahu dari Ardi.

"Berusahalah tetap tenang, Tasya," kata Rudi.

Aku menatapnya.

"Wajahmu terlihat sangat tegang. Kamu perlu mendinginkan kepalamu agar tidak meledak. Wajahmu terlihat kebingungan sejak tadi."

"Maaf."

"Aku tahu kamu sedang bersedih. Kita memang perlu meledakkan emosi."

Aku hanya diam mendengarkan Rudi berbicara.

"Meledakkan emosi secara positif disebut katarsis. Bisa dengan cara melakukan aktivitas yang kita sukai. Sedangkan meledaknya emosi secara negatif adalah hilang kontrol. Aku ingin kamu tidak kehilangan kendali karena sedih."

"Maafkan."

"Kehilangan kontrol akan menyebabkan kamu melakukan hal yang seharusnya tidak kamu lakukan. Aku benci mengatakannya, namun ini persis seperti pacar Ardi yang merengek mengajak mengajak jalan. Padahal situasi di toko sedang ada masalah besar."

Aku tidak begitu paham dengan apa yang dikatakan Rudi. Hanya mengiyakannya dan kami bersiap-siap berangkat ke pantai setelahnya.

"Kalian mau ke mana?" Pertanyaan itu keluar dari Ardi saat aku dan Rudi mengambil motor.

"Pantai. Kami ingin mencari Aurel."

"Keadaanmu masih belum baik dan kamu tidak begitu paham daerah sini. Aku saja yang menemani Tasya. Lagian, pantai adalah tempat yang diinginkan Diana. Aku masih bisa tetap membantu meski mengabulkan keinginan Diana."

"Tidak, aku bisa melakukannya."

"Jika memaksa, aku akan ikut bersama kalian. Aku lebih tahu daerah sini," kata Ardi.

Dan kami pun pergi ke pantai, tempat yang biasa menjadi tujuanku, Aurel dan Niken saat senggang. Meski sebenarnya perjalanan kali ini tidak begitu berarti. Namun lebih baik daripada tersiksa oleh pikiran.

Seiring waktu, Ardi banyak bercerita tentang pergerakan yang dilakukan preman daerah sini. Berada di kota yang terkenal berbahaya membuatnya selain bekerja di dalam toko juga bekerja di "belakang toko": melakukan negosiasi dengan preman agar penjualan dan keamanan toko tetap lancar.

Hanya saja, tidak ada kabar mengenai Aurel dan ini membuatku kecewa.

Setibanya di pantai, Ardi dan Diana segera mencari penginapan. Mereka ingin menginap saja daripada pulang larut malam. Lalu aku dan Rudi mengiyakannya lalu berjalan-jalan untuk mencari Aurel.

Pantai selalu tampak indah di saat sore. Cahaya matahari perlahan dilahap bumi, dan ini hanya bisa dilihat di pantai pada sore hari. Warnanya kekuningan membuat suasana menjadi hangat dan menyenangkan.

Jika aku bersama Aurel dan Niken. Kami akan duduk di tepi pantai sambil memakan camilan. Bercengkrama dan berkelakar membunuh waktu hingga magrib tiba. Hanya saja saat ini keadaannya berbeda. Sunset yang menyedihkan.

Putus asa menghantui pikiranku. Sejak tadi menyisir pantai, namun yang terlihat hanyalah alam dan orang-orang asing.

"Tasya!! Tasya!! Kami melihat Aurel!" Teriakan Diana terdengar dari kejauhan. Sontak membuat kesadaranku utuh. Dan secepat kilat, kakuku berlari ke arah jari Diana menelunjuk.

"Aurel!"

Samar-samar terlihat Aurel dari kejauhan. Dia berlari! Itu Aurel! Persis! Aku hafal gerakan tubuhnya.

"Aurel!! Aurel!! Ini aku! Tasya! Aku mencarimu! Jangan takut!"

Tak ada yang kulakukan lagi selain berlari di atas pasir untuk menemui Aurel. Jarak kami hanya enam puluh meter. Aku akan bertemu Aurel.

Hanya saja semakin aku mendekat pada Aurel. Semakin pula dia mempercepat gerakannya! Tunggu? Aurel menjauhiku? Dia berlari semakin kencang ke arah pohon-pohon yang lebat. Seakan tubuhnya hampir hilang dilahap Hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun