Sedikit catatan dari catatannya Mata Najwa yang saya saksikan 'pertunjukannya' malam itu di stasiun TV Trans 7 (Rabu, 7 Februari 2018). Walau terkesan terlambat, tapi mungkin cukuplah untuk dibaca-baca sambil minum kopi.
Saya sebut pertunjukkan, karena memang kemasannya menjadi semacam pertunjukkan atau show saja, bukan diskusi, karena kurang berimbang -- tentang laiknya sebuah diskusi, antara data dan informasi yang diajukan dari para pembicara. Namun demikian, saya salut kepada Najwa Shihab dan stasiun TV tersebut yang mempertemukan berbagai unsur dalam acara tersebut.
Saya mulai dari orasi yang dilakukan para adik-adik mahasiswa di awal acara. Untuk orasi ini, saya acungi jempol, semangatnya...bolehlah, tapi kok, tapinya ya, masih terlihat minimnya data/referensi yang disampaikan.
Hanya berhenti pada euphoria semangat yang membangkitkan rasa kemahasiswaannya. Bahkan ada satu ketua BEM yang mengajak audiens untuk mengikrarkan sumpah mahasiswa. Hati-hati de' ya kalau mengucapkan sumpah, karena sumpah itu tidak untuk main-main, tetapi harus dengan kesungguhan hati. Apalagi pengertian sumpah itukan agung - berkaitan dengan janji terhadap Tuhan YME. Terlihat juga kok di layar kaca itu, banyak yang tidak sepertinya semangat saat diminta harus berdiri dan bersama-sama mengucapkan sumpah itu.
Tadinya, saya mengharapkan bahwa orasi adik-adik mahasiswa yang sangat bersemangat itu, akan berlanjut terus menjiwai diskusi selanjutnya. Tapi kok tidak ya. Semangat orasinya menjadi 'fading away' - berangsur turun, terlebih setelah pak Moeldoko, yang mengaku juga sebagai 'mantan mahasiswa' menyajikan informasi-informasi (baca: data-data) terkait capaian atau achievements yang sudah dilakukan oleh pemerintahan pak Jokowi.
Di facebook malah sampai ada status yang menyatakan ini:
"Oo, baru dalam tahap hebat orasi saja toh, saat 'debating the achievements' kok malah amburadul. *goodjobnajwa*goodjobmoeldoko"
Yang terlihat tetap dan terus bersemangat, seperti biasa, adalah anggota-anggota dewan yang ikutan gabung di acara tersebut. Semangatnya tetap terjaga, walau banyak yang tercampur antara semangat yang hanya mengritik dengan asumsi (berandai-andai) tanpa solusi - kecuali mendukung tindakan kartu kuning tersebut.
Catatan kecil ini lebih berupa pertanyaan dan saran, serta tidak mengulas keseluruhan, hanya sebagian saja yang saya anggap penting untuk menjadi catatan pribadi saya, yaitu antara lain:
Catatan 1
Di awal menyaksikan pertunjukan ini, saya berharap bahwa setelah orasi yang berapi-api (dan dengan diimbuhi adegan bersumpah pula), saya akan menyaksikan bahwa adik-adik mahasiswa ini akan banyak mengajukan (baca: komplain) tentang apa yang sudah diklaim (oleh pemerintah) sebagai capaiannya dan apa yang belum atau bahkan melenceng.
Tetapi tentunya dengan penyajian data dan fakta. Wajar saya kira mahasiswa mengajukan evidences berupa data dan fakta, bukan asal ngomong, asal bunyi dan omong doang - dengan statusnya mahasiswa - dengan ke-maha-annya. Lihat saja yang disampaikan Ketua BEM UI, dalam salah satu pernyataannya menyebutkan bahwa pembangunan jalan-jalan tol di Papua hanya menguntungkan orang-orang kaya dan tidak berpihak kepada kaum miskin. Pernyataan ini disampaikan dengan keyakinan yang tinggi, hanya TANPA DATA PENDUKUNG.
Ia mahasiswa lho, ia ketua BEM UI lho. Apakah sudah ada data (penelitian) yang menyatakan bahwa jalan tol tersebut lebih menguntungkan kaum kaya dan bukan kaum miskin. Mahasiswa (kalau betul mahasiswa) harus menyajikan data tersebut, data yang bukan ucapan lisan ya, tetapi berupa hasil analisa. Kalau tidak, berarti yang disampaikannya itu hanya sebuah asumsi. Bila hanya asumsi, tidak seharusnya dijadikan kesimpulan. Seharusnya, sebagai mahasiswa
Namun tidak demikian rupanya. Data dan fakta malah di acara Mata Najwa itu disampaikan oleh yang mengaku mantan mahasiswa, yaitu pak Moeldoko. Mungkin pak Moeldoko ingin mengajarkan kepada para adik-adiknya yang mahasiswa itu agar berbicara atas dasar data dan fakta.
Catatan 2
Ketua BEM IPB, di acara tersebut sempat menyatakan bahwa beban perkuliahan sangat padat, kuliah dan praktek, sehingga tidak 'bisa' untuk melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan Bahkan di akhir pernyataannya, yang dipertegas oleh Najwa Shihab, beban tersebut sepertinya memang 'dibuat' untuk menghindari mahasiswa dari berkegiatan kemasyarakatan.
Owalah dik ... dik, kalau tidak menonton sendiri acara tersebut, nggak percaya saya bahwa ada pendapat seorang mahasiswa seperti itu. Adik mahasiswa ketua BEM dari IPB, bukankah para mahasiswa, dengan sistem pendidikan sekarang ini, diminta untuk merancang sendiri perkuliahan yang dikehendakinya? Ambil berapa SKS, teori & praktik serta ingin lulus dalam berapa lama, itu semua direncanakan oleh si mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswapun dapat memilih mata kuliah yang ingin diambilnya. Termasuk, saat masuk kuliah di jurusan yang dipilih, sudah tahu kan resikonya kira-kira mengikuti perkuliahan eksakta itu seperti apa, tentu agak berbeda dari mereka yang mengambil jurusan-jurusan sosial. Kalau sudah demikian, dimana 'settingan' seperti yang anda buruk sangkakan itu?
Tolonglah, ketidak mampuan membag waktu antara kegiatan perkuliahan dengan kegiatan kemasyarakatan, jangan dialihkan dengan alasan yang tidak masuk akal/buruk sangka. Tidak mampu ya tidak mampu saja. Sekali lagi, mahasiswa, hindarilah mengambil suatu kesimpulan berdasarkan suka atau tidak suka, prasangka-prasangka buruk, fokuskan sebagai senjata kalian itu data, fakta dan referensi yang akurat.
Catatan 3
Saya menganggap, sebelumnya, bahwa para ketua BEM itu akan menampilkan keunikan masing-masing sebagai suatu BEM dari universitas yang berdaulat dan memiliki integritasnya sendiri-sendiri (seperti telah dikatakan oleh Najwa sebelumnya), tetapi fenomena yang terjadi dalam acara Mata Najwa malam itu adalah sepertinya BEM-BEM yang lain itu menjadi BEM yang subordinat dari BEM UI, hanya mengekor kepada apa yang dikatakan dan telah dilakukan oleh BEM UI. Sebagai contoh adalah, tidak ada satupun dari BEM-BEM tersebut yang melakukan kritik terhadap penyampaian kartu kuning BEM UI.
Yang saya sampaikan ini didasarkan kepada dua hal, pertama adalah pendapat beberapa mahasiswa yang diwawancarai di awal acara Mata Najwa tersebut yang menyatakan bahwa tindakan ketua BEM UI tidak pantas. Kedua adalah hasil polling yang dilakukan oleh detik.com yang menyajikan data tentang 'apa pendapatmu terkait aksi mahasiswa beri kartu kuning untuk Presiden Jokowi?' Hasil polling menunjukkan bahwa 62,56% menyatakan tidak pantas, 19,21% menyatakan wajar dan 18,23% menyatakan kreatif.
Dilihat dari tingginya persentase yang menyatakan tidak pantas tersebut, apakah para ketua BEM tersebut menjadi makhluk yang tidak peka, karena tidak ada satupun ketua BEM yang hadir saat itu yang merepresentasikan jumlah yang menyatakan tidak pantas ini? Atau 'mereka 'takut' terhadap ketua BEM UI? Atau bentuk rasa solidaritas saja? Kalau yang terakhir yang menjadi pilihan, sangat disayangkan sekali, mereka ber-solidaritas untuk sesuatu yang kurang baik. Semoga tidak demikian adanya.
Catatan 4
Para ketua BEM tersebut di acara Mata Najwa, kok di acara Mata Najwa itu seperti sekelompok kecil kaum Salawi ya (Salawi: apa-apa salah Jokowi) Moga-moga saya salah. Saya berpendapat demikian karena kok sepertinya mereka mengarahkan arah tembaknya hanya ke satu orang saja, yaitu Jokowi, persis seperti partai-partai oposan tersebut. Seolah-olah tidak ada pihak lain yang pantas disalahkan kecuali Jokowi. Padahal, dengan adanya undang-undang tentang otonomi daerah, maka peran pemerintah pusat (baca: Jokowi) berkurang secara signifikan & proporsional dengan sendirinya.
Pengurangan peran ini bukan hanya akan berdampak kepada pemerintahan pak Jokowi sekarang ini, tetapi kepada pemerintahan-pemerintahan selanjutnya di Indonesia ini. Karena seperti demikianlah undang-undangannya. Setelah jelas tanggung jawab terbesar berada di tangan Presiden, namun masih ada Gubernur, masih ada Bupati/Walikota dan seterusnya dengan spesifikasi tupoksi (tugas - pokok dan fungsi)nya masing-masing.
Tentu evaluasi (analisa) oleh adik-adik mahasiswa perlu memperhatikan hal-hal yang memang diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang yang ada, sehingga masukan para mahasiswa akan menjadi masukan yang solutif dan tidak asbun ataupun omdo atau berprinsip, yang penting Jokowi 'tertembak' dengan asksi-aksi agitatif (tapi minim isi) seperti aksi kartu kuning tersebut.
Walau, tetap nampak kesegaran dari pemikiran mereka yang cukup terwakili oleh pernyataan-pernyataan mas Obed, ketua BEM UGM yang mengedepankan kondisi real, kekhawatirannya tentang perpecahan dan lain sebagainya.
Harapan
Dari catatan-catatan yang saya buat dengan rasa kritis tetapi penuh cinta terhadap adik-adik mahasiwa ini, saya banyak berharap para mahasiswa dapat berperilaku sebagai mahasiswa saat menyampaikan kritik-kritiknya bukan dengan euphoria semata, bukan dengan sistem omdo (omong doang) semata, bukan karena sentimen ketidak sukaan atas dasar sikap 'yang penting berseberangan' dengan pemerintah atau bahkan mengarahkan arah 'tembak'nya hanya kepada satu orang, yaitu Presiden Jokowi.
Saya masih mengharapkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia menyampaikan kritik yang berimbang dan fair. Pengertiannya adalah bahwa mereka patut pula menyampaikan apresiasinya terhadap apa-apa yang sudah menjadi capaian pemerintahan pak Jokowi ini plus melakukan evaluasi kritis terhadap apa-apa yang belum dilakukan atau belum tercapai atau bahkan bila terlihat ada yang melenceng.
Lakukan hal seperti itu dengan data-datayang akurat dan referensi-referensi yang sesuai, termasuk melihatnya dari unsur sistem pemerintahan sekarang yang berada dalam naungan sistem otonomi daerah. Lakukan ini pula bersama rekan-rekan mahasiswa dari beragam universitas agar lebih luas pandangannya. Hasilnya nanti serahkan kepada pemerintah, DPR dan informasikan secara terbuka melalui dunia maya atau sosial media.
Dengan model seperti ini, nggak perlu ketemu secara in person dengan pak Presiden juga nggak apa-apa, intinya kan menyampaikan masukan dan ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Karena akan terasa lucu atau janggal bahkan kekanak-kanakkan, seperti yang terlontar dalam acara tersebut, menjadi blunder ke satu kesimpulan bahwa Presiden tidak mau mendengar masukan mahasiswa karena Presiden sulit ditemui -- padahal belum tentu juga para mahasiswa pernah secara serius untuk berusaha bertemu dengan pak Jokowi.
Untuk kasus BEM UI - sebagai contoh, selepas acara dies natalis itu sebetulnya Jokowi sudah menyediakan waktu khusus untuk berdialog dengan mahasiswa, tetapi BEM UI lebih mengedepankan melakukan insiden kartu kuning dan hal ini malah berakibat Presiden membatalkan acara pertemuan tersebut. Berdasarkan kasus ini, seyogyanya memang kurang tepat disebut sulit mau bertemu/berdialog dengan Presiden. Whose fault is this, ya?
Harapan saya selanjutnya, kembali, gunakan data dan referensi yang akurat (berdasarkan kondisi lapangan) untuk menghindari penyampaian yang dapat menjadi hanya didasari kepada prasangka buruk saja. Ingat lho, mahasiswa itu bukan oposan (berada seperti dalam posisi partai oposisi). Mahasiswa adalah calon-calon agen perubahan yang (harus) bersifat analis krits. Sehingga apa yang dilakukannya dapat dipertanggung jawabkan dan bukan malah menjadi bahan tertawaan. Dengan mahasiswa tetap menjadi mahasiswa yang kritis ini, dan bukan oposan, mahasiswa akan lebih mendapat acungan jempol dan apresiasi dari banyak pihak dan membuktikan bahwa kalian memang mahasiswa dan bukan oposan.
Semoga bermanfaat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H